Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Jauh Panggang Dari Api: Respon Atas Pidato Kenegaraan

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Oleh: Bukhori Yusuf, Lc., M.A.
(Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS)

Sebelumnya, saya perlu menyampaikan apresiasi kepada segenap pihak atas keberhasilan penyelenggaraan sejumlah agenda besar kenegaraan yang diselenggarakan di Gedung DPR/MPR pada Jumat lalu. Agenda berlangsung khidmat dan aman meskipun di tengah situasi pandemi.

Sesi penyampaian pidato kenegaraan Presiden merupakan salah satu agenda kenegaraan yang menjadi sorotan publik. Dengan mengenakan pakaian khas Nusa Tenggara Timur, Presiden Jokowi tampil menyampaikan sejumlah pesan positif kepada masyarakat sekaligus melaporkan beberapa capaian kinerja pemerintah yang telah dilakukan sejauh ini.

Pada bagian ini, saya benar-benar mencermati betul setiap kata dan kalimat yang Presiden sampaikan sekaligus menggali secara mendalam terkait kebenaran atas apa yang Presiden sampaikan dalam pidatonya. Atau lebih tepatnya, atas apa yang disuguhkan oleh orang-orang di sekeliling Presiden sebagai bahan dari teks pidato tersebut.

Sebab, dalam satu dua hal, saya tidak bisa menerima klaim yang disampaikan oleh Presiden sepenuhnya jika dikontekstualisasikan dengan kondisi faktual di lapangan.

Merespon atas pidato kenegaraan tersebut, saya berhasil menghimpun sejumlah catatan kritis pada berbagai aspek yang sempat disinggung oleh Presiden dalam pidatonya.

Hal ini dilakukan dalam rangka menguji kebenaran yang disampaikan sekaligus bagian dari fungsi pengawasan kami (legislatif) untuk memastikan penyajian informasi yang lurus dan berimbang kepada publik agar tidak menjadi misleading di masyarakat. Sehingga, melalui catatan kritis ini kita bisa mengetahui sejauh mana keberpihakan pemerintah kepada kepentingan masyarakat melalui sejumlah kebijakan yang sudah diselenggarakan selama ini.

Catatan kritis pertama adalah terkait narasi berikut;
“Pada usia ke-75 ini kita telah menjadi negara Upper Middle Income Country. Dan 25 tahun lagi pada usia seabad RI kita harus mencapai kemajuan yang besar, menjadikan Indonesia menjadi negara maju.. ”

Bank Dunia memang secara resmi telah menaikan peringkat Indonesia dari Lower Middle Income Country menjadi negara Upper Middle Income Country. Narasi ini terkesan fantastis di permukaan. Apalagi, pencapaian ini diraih di tengah pandemi, tepatnya ketika perekonomian dunia tengah lesu.

Kendati demikian, perlu dicermati bahwa pencapaian ini turut menyimpan sejumlah konsekuensi serius dibaliknya. Menyadur pada analisis dari Bhima Yudistira, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kenaikan peringkat ini setidaknya membawa dua konsekuensi serius bagi Indonesia;

Pertama, Indonesia semakin dianggap sebagai negara yang mampu membayar bunga dengan rate lebih mahal sehingga biaya utang pemerintah bisa lebih mahal. Sementara itu, kreditur akan lebih memprioritaskan negara dengan pendapatan yang lebih rendah dari Indonesia. Alhasil, pembiayaan murah yang biasa diandalkan pemerintah jadi terbatas.

Kedua, sejumlah negara akan memiliki alasan kuat untuk menghapus faslitas perdagangan ke Indonesia. Misalnya fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) AS, yakni pemotongan tarif bea masuk ke pasar negara AS.

Perlu diketahui, model kebijakan ini dilakukan oleh negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang. Sejauh ini kebijakan tersebut cukup memberikan keuntungan bagi produk lokal seperti tekstil, pertanian, perikananan, dll.

Namun, jika fasilitas ini dicabut akibat naiknya peringkat Indonesia tersebut, maka berpotensi memberikan tantangan baru bagi ekonomi Indonesia di tahun 2020 yang, mengutip pidato Presiden, di kuartal kedua menunjukan minus 5,32%.

Tidak hanya itu, yang menjadi sumber kecemasan selanjutnya adalah kebijakan negara maju tersebut serta merta membuka kemungkinan bagi negara maju lainnya untuk mengikuti langkah sama terhadap Indonesia.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana kesiapan pemerintah dalam mengantisipasi situasi ekonomi tersebut?

Catatan selanjutnya adalah terkait narasi berikut;
“Kita harus cepat bergerak. Memberi bantuan sosial bagi masyarakat melalui bantuan sembako, bansos tunai, subsidi & diskon tarif listrik, BLT Desa, subsidi gaji. Membantu UMKM memperoleh restrukturisasi kredit, banpres produktif berupa bantuan modal darurat & membantu pembelian produk-produk mereka. Membantu tenaga kerja korban PHK antara lain melalui Bantuan Sosial dan Program Prakerja..”

Langkah sigap pemerintah menggelontorkan sejumlah paket bantuan untuk atasi pandemi cukup banyak menuai apresiasi. Namun, dibalik besarnya kuantitas bantuan tersebut sesungguhnya masih tersimpan banyak masalah, khususnya dalam hal tata kelola dan efektivitas bantuan kepada korban terdampak.

Hasil survei nasional yang dirilis oleh Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan (LKSP) pada Mei 2020 menyebutkan, sebanyak 74,56% masyarakat menunjukan ketidakpuasannya kepada kinerja pemerintah pusat dalam menangani pandemi. Bahkan, ketidakpuasan publik terhadap pemerintah dari level pusat sampai sampai daerah menunjukan angka di atas 50%.

Di samping itu, mayoritas alasan publik menyatakan tidak puas dilandasi sejumlah faktor. Misalnya, ketidaktegasan aturan, koordinasi yang kurang antar instansi dan kurang terbukanya informasi.

Sementara itu, dalam survei berbeda yang dilakukan oleh Indikator Politik menunjukan, sebanyak 60,3% masyarakat menganggap bantuan sosial yang diberikan untuk warga kurang mampu dinilai kurang atau tidak tepat sasaran sama sekali.

Bahkan sebanyak 48,9% menyatakan tidak setuju sebagian dana di program prakerja digunakan untuk pelatihan online. Mereka menilai pembagian sembako dan bantuan tunai lebih bermanfaat ketimbang pelatihan online pada program prakerja.

Temuan dalam survei tersebut juga semakin dipertajam dengan sejumlah polemik yang kami temui di lapangan. Praktik penyelewengan terhadap bansos cukup marak terjadi di hilir. Penyelewengan tersebut salah satunya dilakukan dalam bentuk penetapan sepihak item sembako oleh oknum pejabat di daerah sehingga menyalahi ketentuan dari Pedoman Umum Program Sembako yang telah disusun oleh pemerintah pusat.

Selain itu, Polri setidaknya menemukan 102 kasus penyelewengan dana bansos di 20 daerah di seluruh Indonesia. Kasus penyelewengan tersebut dilakukan dengan berbagai motif seperti pemotongan dana oleh oknum perangkat desa, pengurangan timbangan paket sembako, sampai pembagian yang tidak merata.

Masalah lain yang cukup krusial adalah penyerapan anggaran oleh sejumlah kementerian yang masih minim. Pada 3 Agutus silam Presiden sendiri menyampaikan secara terbuka bahwa dari anggaran stimulus penanganan Covid-19 sebesar Rp 695 Triliun, baru 20% saja yang terserap. Penyerapan anggaran yang diklaim tertinggi sampai saat itu baru pada aspek perlindungan sosial (38%) dan UMKM (25%) semata.

Sedangkan di luar itu, realisasi anggarannya sangat kecil sekali,sambungnya. Ironisnya, sektor kesehatan yang menjadi domain krusial dalam situasi pandemi ini baru menyerap anggaran sebesar 5,12% dari total alokasi sebesar Rp 87,75 Triliun.

Artinya, sejumlah kebijakan Presiden di tengah pandemi masih menyisakan lubang besar yang harus segera diperbaiki. Pemerintah tidak boleh berbangga diri dengan kuantitas program yang telah dicanangkan berikut triliunan rupiah yang telah dikucurkan selama ini. Tata kelola dan efektivitas bantuan di akar rumput masih menjadi rapor merah pada tataran implimentasi.

Oleh sebab itu, Pemerintah harus berhenti membohongi publik melalui narasi yang didramatisir. Sebab, apa yang disampaikan dalam pidato kenegaraan tersebut tidak sepenuhnya merepresentasikan kondisi faktual di lapangan, khususnya selama penanganan pandemi.

Atau dalam peribahasa; Jauh Panggang Dari Api!

Catatan selanjutnya adalah terkait statement berikut:

“Penegakan nilai-nilai demokrasi juga tidak bisa ditawar. Demokrasi harus tetap berjalan dengan baik, tanpa mengganggu kecepatan kerja dan kepastian hukum, serta budaya adiluhung bangsa Indonesia..”

Saya justru melihat kalimat ini sebagai sebuah paradoks jika dibandingkan dengan kondisi penyelenggaraan negara di periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Kontrol terhadap pemerintah semakin melemah semenjak mayoritas partai politik merapat ke kubu kekuasaan.

Hal ini semakin diperparah dengan fenomena pelemahan kewenangan legislatif melalui sejumlah kebijakan anyar pemerintah seperti Omnibus Law RUU Cipta Kerja maupun Perppu No. 1 tahun 2020 (yang kini sudah menjadi UU No. 2 tahun 2020).

Tidak berhenti disitu, social control oleh masyarakat pun acapkali menerima represi melalui tindakan teror, peretasan, sampai pembubaran acara diskusi. Padahal, dalam penyelenggaraan negara dibutuhkan partisipasi yang proporsional dari segala pihak untuk mendukung kondisi check and balance yang memadai terhadap penyelenggaraan negara, baik oleh parpol di parlemen maupun social control dari masyarakat. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya, yakni sebuah kemunduran.

Kemunduran demokrasi ini semakin diperparah dengan fenomena dinasti politik yang semakin menguat, bahkan ditunjukan secara vulgar. Kasus Gibran (putra Presiden) dan Bobby Nasution (menantu Presiden) yang maju pada pilwalkot Solo dan Medan sebagai contohnya.

Mark Bovens dan Anchrit Wille dalam Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy (2017) menjelaskan bahwa sistem pemerintahan demokrasi sesungguhnya diciptakan untuk menentang sistem politik turun temurun (dinasti politik). Kelompok terdidik yang berasal dari kelas menengah mengambil alih posisi golongan tua yang memperoleh posisi elit secara pewarisan sepanjang abad ke-20. Pergeseran model pewarisan ke arah model meritokrasi akhirnya menciptakan gerakan emansipasi pada masa itu.

Artinya, dengan semakin terbukanya praktik dinasti politik saat ini menandakan bahwa negara tengah berjalan mundur ke belakang (setback). Kekuasaan hanya sedang dan akan terus berputar pada lingkaran yang statis, yakni hanya dimiliki oleh segelintir kelompok sehingga menutup ruang bagi terciptanya iklim yang demokratis. Fenomena ini semakin ironis jika kita kembali merujuk pada cita-cita penegakan nilai demokrasi yang sempat disinggung dalam pidato Presiden.

Cita-cita tersebut tidak ubahnya seperti pepesan kosong ketika berkaca dengan kondisi riil yang kita hadapi saat ini.
Sejumlah catatan di atas adalah wujud evaluasi kami terhadap kinerja pemerintah selama ini.

Pidato kenegaraan yang seharusnya menjadi pertanggungjawaban yang jujur dan berbobot tidak ubahnya hanya sebagai praktik seremonial semata.

Kita mengharapkan laku dan ucapan yang jujur, dimana kata senada dengan tindakan. Bukan sajian paradoks yang terus diulang setiap tahunnya.

Presiden memang benar, momentum pandemi adalah waktu untuk men-setting ulang semua sistem. Termasuk menyusun ulang kebijakan maupun susunan kabinet yang pernah ia susun. Dan yang terpenting adalah semua itu harus dilakukan semata-mata demi kemaslahatan rakyat, bukan demi kepentingan kelompok tertentu.

Belum terlambat untuk berubah dan mengubah, Pak Presiden!