Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

PENDAPAT FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan BELUM DAPAT MENYETUJUI Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk ditetapkan menjadi Undang-undang, karena Fraksi PKS menilai masih diperlukan pengkajian yang mendalam terhadap substansi perubahan undang-undang dimaksud.

 PENDAPAT

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011

TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

==============================================================

Disampaikan oleh      :

Nomor Anggota          :

 

Bismillahirrahmanirrahiim;

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Salam Sejahtera untuk kita semua

 

Yang kami hormati:

  • Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI;
  • Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI;
  • Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menkoperekonomian) RI;
  • Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI;
  • Rekan-rekan wartawan; serta
  • Hadirin yang kami muliakan;

 

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu WaTa’ala atas limpahan kasih sayang dan rahmat-Nya, kita bisa menghadiri Rapat Pleno sebagai bentuk tugas mulia kita dalam menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘AlaihiWassallam, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan.

Pimpinan dan Anggota Baleg DPR, Menkopolhukam, Menkoperekonomian, Menkumham, rekan-rekan wartawan serta hadirin yang kami hormati;

Menyikapi hasil Panja Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan oleh Panja Badan Legislasi bersama dengan Pemerintah, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyampaikan catatan-catatan sebagai berikut:

Pertama; Berkaitan dengan Metode Omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Fraksi PKS menegaskan bahwa metode apapun yang akan digunakan haruslah bertujuan untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih baik, berkualitas, dan berpihak kepada kepentingan rakyat dan Negara. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan problem tumpang tindih peraturan perundang-undangan, baik dari sisi konten/muatan, maupun teknis penataannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya metode yang pasti, baku, dan standar untuk menjadi pedoman yang sudah ditentukan serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengalaman penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan Metode Omnibus, alih-alih mengejar percepatan dan kepentingan penciptaan lapangan kerja, hal itu justru mengabaikan kualitas hasilnya karena kurangnya partisipasi dari masyarakat dan para stakehorders. Upaya untuk akselerasi pencapaian tujuan undang-undang tidak boleh dilakukan dengan menyimpangi tata cara dan pedoman baku yang berlaku demi mencapai tujuan tersebut karena hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis yang konstitusional. Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 perihal Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUDNRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: telah terbukti secara hukum bahwa tata cara pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta menyimpangi sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUDNRI Tahun 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan Metode Omnibus yang mempunyai sifat kekhususan tersebut.

 

 

Kedua; Fraksi PKS mengusulkan sejumlah prasyarat penggunaan Metode Omnibus untuk menjamin adanya kepastian hukum, meningkatkan kualitas legislasi, dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan undang-undang. Fraksi PKS mengusulkan prasyarat penggunaan Metode Omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:

  1. Bahwa Metode Omnibus hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang atau satu topik khusus tertentu (Kluster). Penggabungan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan Metode Omnibus dapat dilakukan untuk mengubah dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama terhadap satu bidang atau satu topik khusus tertentu (Kluster), agar penyusunan peraturan perundangan tersebut fokus hanya berkaitan dengan satu tema spesifik tertentu.

 

  1. Penggunaan Metode Omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus ditetapkan dalam tahapan Perencanaan. Pentingnya menetapkan penggunaan Metode Omnibus dalam dokumen perencanaan adalah untuk menjelaskan perihal urgensi, ruang lingkup peraturan perundang-undangan terdampak, serta kompleksitas kebutuhan hukum sehingga memerlukan penggunaan Metode Omnibus untuk menyusun peraturan perundang-undangannya. Hal ini agar penggunaan Metode Omnibus didasarkan pada pertimbangan yang matang mengingat penyusunannya melibatkan lebih dari 1 (satu) peraturan perundang-undangan dengan jenis dan hierarki yang sama.

 

  1. Bahwa diperlukan pengaturan tentang alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus agar penyusunannya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik. Belajar dari pengalaman penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 yang berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77 (tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1 (satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang yang dibahas dalam waktu relatif singkat (sejak 20 April s.d. 3 Oktober 2020) sehingga pembahasannya tidak optimal karena minimnya akses partisipasi publik. Ketika pengesahan RUU tentang Cipta Kerja pada Rapat Paripurna 5 Oktober 2020, tidak ada kejelasan perihal draft RUU cipta Kerja hasil pembahasan Panja Badan Legislasi, bahkan beredar beberapa versi draft RUU yang berbeda-beda. Hal ini membuktikan betapa serampangannya dalam melakukan pembahasan UU tentang Cipta Kerja tersebut.

 

Ketiga; Fraksi PKS TIDAK SEPAKAT jika materi muatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus HANYA dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan tersebut (Pasal 97A). Hal ini karena ketentuan tersebut membatasi adanya revisi suatu materi muatan langsung di peraturan perundang-undangan asal (induk) yang terdampak oleh peraturan perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus. Padahal sejatinya materi muatan tersebut juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistematika peraturan perundang-undangan asal (induk) nya, sehingga sudah semestinya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan asal (induk). Dalam pembentukan undang-undang, ekses dari pemberlakuan ketentuan ini nantinya bisa menyandera pembentuk undang-undang karena TIDAK memiliki kebebasan untuk melakukan revisi materi muatan yang terdapat dalam undang-undang dengan Metode Omnibus pada undang-undang asalnya (induk).

 

Keempat; Fraksi PKS menolak ketentuan tentang perbaikan Rancangan Undang-undang setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam Rapat Paripurna DPR, karena hal ini membenarkan praktik legislasi yang tidak baik sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang. Meskipun dalam Pasal 72 Ayat (1a) Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa perbaikan hanya meliputi perbaikan terhadap kesalahan teknis penulisan yang dilakukan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut, namun pada praktiknya ketentuan ini rawan untuk disalahgunakan. Seperti yang terjadi pada saat pengesahan RUU tentang Cipta Kerja dimana terdapat perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan, termasuk juga mengubah substansi dan terdapat salah dalam pengutipan. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terdapat perubahan atas Pasal 46 yang menyatakan:

Pasal 46

  • Pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa dilakukan oleh Badan Pengatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
  • Fungsi Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi yang ditetapkan Pemerintah Pusat dapat terjamin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta meningkatkan pemanfaatan Gas Bumi di dalam negeri.
  • Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan dan penetapan mengenai:
  1. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak:
  2. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional;
  3. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak;
  4. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;
  5. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil; dan
  6. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.
  • Tugas Badan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tugas pengawasan dalam bidang-bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”

Namun, pada halaman 227-228 UU Nomor 11 Tahun 2020 (setelah disahkan/diundangkan) Pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2001. Selain itu, masih terdapat banyak perubahan substansial lainnya pasca pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut yang menunjukkan adanya ketidaksinkronan, adanya perubahan yang menghilangkan kepastian hukum, serta terdapat pula kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal sehingga tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Kelima; Fraksi PKS menegaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan pihak yang pro dan kontra secara seimbang serta partisipasi masyarakat secara bermakna, baik dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum. Selain itu, untuk mengoptimalkan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, Fraksi PKS mendorong agar setiap rancangan peraturan perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas sehingga memberikan kesempatan kepada publik untuk turut mengkritisi dan memberikan masukan. Sejatinya sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, masyarakat memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) dalam proses penyusunan kebijakan publik yang akan berdampak kepada masyarakat. Belajar dari penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menggunakan Metode Omnibus, dalam persidangan Mahkamah Konstitusi terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, namun pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. Terlebih lagi Naskah Akademik dan Rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Hal ini tentu bertentangan dengan asas keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang yang mengakibatkan RUU tersebut dapat dibatalkan secara hukum.

Keenam; Fraksi PKS memberikan catatan perihal pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan berbasis elektronik untuk diperjelas mengenai ruang lingkup dan pembatasannya agar dalam praktiknya tidak menimbulkan multitafsir. Perlu diperjelas mengenai apa yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan berbasiselektronik, apakah meliputi proses pembahasan dalam rapat-rapat di DPR yang dapat dilakukan secara virtual tanpa kehadiran fisik di ruang rapat. Dalam Pasal 97B Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hanya disebutkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan berbasis elektronik. Pembubuhan tanda tangan dalam proses pengesahan atau penetapan dan pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik menggunakan tanda tangan elektronik yang harus tersertifikasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik berkekuatan hukum sama dengan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dalam bentuk tercetak. Fraksi PKS menilai pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Kesiapan sumber daya manusia dan fasilitas untuk menunjang optimalnya pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik;
  2. Dalam praktiknya, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik jangan sampai melemahkan hak Anggota DPR untuk berpendapat karena keterbatasan ruang virtual dibandingkan dengan ruang nyata dalam rapat-rapat di DPR;
  3. Pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik ini harus dibatasi pelaksanaannya jangan sampai dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat yang membabi buta agar suatu peraturan perundang-undangan segera disahkan di tengah kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya saat Pandemi Covid 19 seperti sekarang ini.

 

Ketujuh; Fraksi PKS mengkritisi perihal pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang diambil alih menjadi dikoordinasikan oleh Menteri atau Kepala Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam Pasal 58 Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, disebutkan bahwa Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dan dari Gubernur dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Ketentuan ini telah menghilangkan kewenangan dari Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BAPEMPERDA) dalam melakukan pengharmonisasian terhadap Rancangan Peraturan Daerah, yang kemudian kewenangannya diberikan kepada instansi pusat. Ketentuan ini menegasikan peran dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena pengambilalihan kewenangan tersebut sangat sarat dengan upaya sentralisasi yang mencederai semangat otonomi daerah yang telah diperjuangkan selama ini.

 

Kedelapan; Fraksi PKS mengusulkan agar dilakukan pembahasan yang lebih mendalam terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan mengundang para pakar hukum, akademisi di bidang Ilmu Perundang-undangan, serta praktisi untuk mendapatkan pandangan yang lebih jernih dan komprehensif. Pembahasan RUU ini terasa dilakukan secara tergesa-gesa dan kejar tayang untuk segera disahkan. Padahal seharusnya, DPR dapat menjalankan fungsi legislasi yang telah dijamin dalam Konstitusi dengan lebih cermat dan hati-hati karena menyangkut keberlakuan suatu undang-undang dalam waktu yang panjang dan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Selain itu, sebaiknya revisi ini TIDAK dimaksudkan semata-mata untuk memberikan payung hukum terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun sebagai upaya untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dan menyelesaikan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang ada dalam rangka perbaikan kualitas legislasi agar memihak kepada kepentingan rakyat. Dengan disahkannya perubahan undang-undang ini, maka tetap harus ada pembahasan ulang secara benar terhadap UU tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan cacat formil/inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 perihal Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUDNRI Tahun 1945.

 

Pimpinan dan Anggota Baleg DPR, Menkopolhukam, Menkoperekonomian, Menkumham, rekan-rekan wartawan serta hadirin yang kami hormati;

Berdasarkan catatan kami tersebut, dengan memohon taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan BELUM DAPAT MENYETUJUI Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk ditetapkan menjadi Undang-undang, karena Fraksi PKS menilai masih diperlukan pengkajian yang mendalam terhadap substansi perubahan undang-undang dimaksud.

Demikian Pendapat Fraksi PKS ini kami sampaikan. Semoga Rapat Pleno hari ini memperoleh kesimpulan yang terbaik, sebagai ikhtiar kita untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi dan mencatat ikhtiar kita bersama dalam Rapat ini sebagai bagian dari amal terbaik kita untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Atas perhatian Pimpinan dan Anggota Baleg DPR, Menkopolhukam, Menkoperekonomian, Menkumham, rekan-rekan wartawan serta hadirin  sekalian kami ucapkan terima kasih.

Billahi taufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Dokumen Pandangan FPKS DPR RI resmi :