Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Kenapa RUU Minuman Beralkohol Harus Ada (?)

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Bukhori Yusuf, Lc., M. A. (Anggota Komisi VIII DPR RI dan Anggota Baleg FPKS)

Terdapat tiga pertimbangan utama kami yang membuat urgensi RUU Minuman Beralkohol (Minol) menjadi relevan untuk dikemukakan saat ini. Pertama, adalah pertimbangan filosofis. Kedua, pertimbangan sosiologis. Ketiga, adalah pertimbangan yuridis. Lebih lanjut, penjelasan dari masing-masing pertimbangan tersebut akan penulis jabarkan melalui sejumlah poin di bawah ini.

Baca Juga: Pendapat Fraksi PKS DPR RI Terhadap Prolegnas Prioritas Tahun 2021

Pertimbangan Filosofis

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan esensi warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi.

Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat mengamanatkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

“Melindungi” dan “memajukan” adalah dua kata kunci yang merepresentasikan perlunya perhatian negara pada aspek kesehatan hingga kemudian diterjemahkan dalam wujud peraturan turunan, yakni UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4).

Di dalam Pasal 28H UUD 1945 ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Sedangkan di dalam Pasal 28I ayat (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Baca Juga : Indonesia Darurat Minuman Beralkohol, Bukhori: Selamatkan Masa Depan Generasi Muda

Dengan demikian, eksistensi kedua pasal di atas menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat dalam memperoleh kehidupan yang sejahtera secara lahir dan batin serta lingkungan hidup yang baik adalah bagian dari hak warga negara dimana pemerintah bertanggung jawab dalam pemenuhannya. Karena itu, pemerintah berkepentingan dalam usaha pencegahan kemerosotan derajat kesehatan masyarakat.

Salah satunya, melalui pembentukan regulasi yang mengatur secara spesifik mengenai minuman beralkohol. Berbagai literatur kesehatan telah mengemukakan bahwa dampak negatif dari penyalahgunaan minuman beralkohol telah memberikan andil yang signifikan pada merosotnya derajat kesehatan fisik maupun mental masyarakat yang mengonsumsi.

Tidak hanya itu, ekses dari penyalahgunaan minuman beralkohol juga berdampak serius pada terusiknya kondusivitas di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, pembentukan RUU Minol adalah bagian dari upaya untuk membawa penyelenggaraan kehidupan masyarakat sejalan dengan tujuan negara sebagaimana termaktub pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni untuk melindungi dan memajukan mereka.

Baca juga : Fraksi PKS Konsisten Perjuangkan RUU Larangan Minuman Beralkohol

Pertimbangan Sosiologis

Berdasarkan laporan WHO Global Status Report on Alcohol and Health 2014 dari 241 juta penduduk Indonesia, prevalensi gangguan karena penggunaan alkohol adalah 0,8% sedangkan prevalensi ketergantungan alkohol sebesar 0,7%. Meskipun angka persentase tersebut terbilang kecil, apabila angka tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia maka akan diperoleh sebanyak 1,9 juta orang penduduk Indonesia mengalami gangguan karena penggunaan alkohol sementara yang mengalami ketergantungan alkohol sebesar 1,1 juta orang.

Hal ini diperparah dengan tingkat konsumsi minuman beralkohol di kalangan remaja yang telah mencapai taraf mencemaskan. Kementerian Kesehatan dalam laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mengemukakan, dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan terhadap proporsi konsumsi minuman beralkohol pada penduduk berumur di atas 10 tahun jika dibandingkan pada tahun 2007.

Sementara dari 34 provinsi yang disurvei, hanya 3 provinsi saja yang berkurang, yakni Kepri, Sumatera Selatan, dan Jambi. Artinya, peningkatan konsumsi minuman alkohol terjadi hampir secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
Baca juga : UU Cipta Kerja dan Potensi Ancaman bagi Moral Bangsa

Masih dalam riset yang sama, minuman beralkohol yang paling banyak dikonsumsi antara lain miras tradisional, bir, anggur-arak, hingga oplosan. Sedangkan dalam survei lain oleh Kemenkes bertajuk Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 mengungkapkan sebanyak 70 persen pria dan 58% wanita mulai minum alkohol pada usia 15-19 tahun.

Dengan demikian, riset tersebut menampilkan potret bahwa ada cukup banyak anak dan remaja di Indonesia yang terpapar oleh perilaku mengonsumsi miras. Padahal, dalam Permendag No. 20 Tahun 2014 mensyaratkan konsumen harus telah berusia 21 tahun atau lebih.

Baca Juga : Pendapat Fraksi PKS DPR RI Terhadap Prolegnas Prioritas Tahun 2021

Perilaku konsumsi minuman beralkohol juga berdampak terhadap kesehatan fisik, psikis, hingga relasi sosial. Laporan WHO pada tahun 2018 menyebutkan sekitar 20% kematian akibat gangguan pencernaan, gangguan jantung, dan insiden kecelakaan dipicu oleh minuman beralkohol.

Dari segi kesehatan fisik, mereka yang telah terpapar alkohol juga memiliki risiko tinggi terserang kerusakan hati, ginjal, kemampatan paru-paru, hingga kerusakan syaraf kognitif yang menyebabkan pelemahan daya ingat dan konsentrasi.

Tidak hanya itu, kerusakan syaraf kognitif juga turut berpengaruh terhadap kondisi psikis atau mental si peminum. Kerusakan jaringan otak secara permanen membuat pecandu memiliki gangguan daya ingat, lemahnya kemampuan penilaian hingga gangguan jiwa tertentu.

Untuk diketahui, gangguan daya ingat merupakan ciri awal demensia. Pada tahap yang lebih kritis, pasien demensia mempunyai waham paranoid sehingga membuat mereka kerap berhalusinasi dan meledak-ledak atau dengan kata lain mengalami perubahan kepribadian.

Selain itu, perilaku mengonsumsi alkohol pada periode remaja juga dapat berpengaruh pada terhambatnya pertumbuhan dan pematangan sel sehingga menyebabkan ketergantungan alkohol di masa dewasa.

Kondisi ketergantungan ini akan mengakibatkan mereka mudah depresi ketika menghadapi persoalan sehingga membuat mereka rentan untuk bunuh diri bila tidak ada pendampingan atau penanganan yang serius.

Di sisi lain, perilaku mengonsumsi minuman beralkohol/minuman keras turut memunculkan bahaya bagi orang lain selain merugikan diri sendiri. Salah satunya adalah sebagai faktor pemicu masalah sosial.

Secara statistik, Mabes Polri mengungkapkan telah terjadi sebanyak 223 kasus tindak pidana yang dilatarbelakangi karena alkohol dalam kurun waktu 3 tahun terakhir sejak tahun 2017.

Selain itu, tercatat sekitar 58% angka kriminalitas di sejumlah wilayah di Indonesia juga terjadi akibat pengaruh minuman beralkohol.

Baca juga : HNW Dukung Disahkannya RUU Larangan Minuman Alkohol Sebagaimana yang Dilakukan DPRD Papua

Keterangan ini senada dengan hasil riset Pusat Kajian Kriminologi UI tahun 2011 yang mengungkapkan sebanyak 72% napi mengamini bahwa minuman beralkohol adalah penyebab terjadinya tindak kejahatan yang mereka lakukan.

Lebih lanjut, riset tersebut menyimpulkan bahwa miras membuat emosi dan cara pikir tidak stabil sehingga membuat pelaku kehilangan kontrol sosial maupun kontrol spiritual (ajaran agama).

Sebab, perilaku konsumsi minuman beralkohol memiliki pengaruh dominan dalam mendorong pelaku bertindak agresif sehingga mengabaikan norma sosial dan moralitas yang berlaku di masyarakat akibat menurunnya fungsi akal dan kesadaran.

Alhasil, perilaku eksesif tersebut berdampak pada gangguan terhadap ketertiban, ketentraman, dan keamanan di masyarakat. Gangguannya pun beragam, mulai dari tindak kejahatan pencurian dengan kekerasan, tawuran, pemerkosaan, hingga pembunuhan.

Berdasarkan data dari WHO Global Status Report on Alcohol and Health 2018 menunjukan lebih dari 3 juta orang meninggal akibat bahaya minuman beralkohol pada tahun 2016. Bahkan, sekitar 9% dari kematian itu terjadi pada usia 15-29 tahun alias usia produktif.

Sementara, berdasarkan rilis Bappenas, Indonesia diprediksi mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030-2040. Dengan kata lain, jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mencapai 64% dari total keseluruhan penduduk.

Mirisnya, proyeksi bonus demografi tersebut dibayangi oleh fakta tingginya tingkat konsumsi minuman beralkohol pada kelompok remaja atau milenial.

Lantas, bagaimana bangsa ini bisa merespons bonus demografi tersebut dengan optimal bila sumberdaya manusianya, khususnya penduduk usia produktif, rentan diisi oleh mereka yang memiliki ketergantungan terhadap minuman beralkohol?

Dengan demikian, fakta sosial di atas menggambarkan betapa rentannya kelompok remaja yang terpapar oleh minuman beralkohol akibat lemahnya aturan hukum yang telah ada. Tidak hanya itu, dampak minuman beralkohol selain membahayakan diri sendiri juga berefek pada dampak sosial yang luas.

Karenanya dibutuhkan produk hukum yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, khususnya terkait aturan minuman beralkohol. Selain itu, instrumen hukum ini juga diperlukan untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar dari segi sumberdaya manusia maupun biaya sosial akibat dampak negatif minuman beralkohol.

Pertimbangan Yuridis
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur ketentuan mengenai minuman beralkohol dalam Pasal 160. Ketentuan Pasal 160 ayat (1) menyebutkan “Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan”.

Baca Juga : HNW Dukung Disahkannya RUU Larangan Minuman Alkohol Sebagaimana yang Dilakukan DPRD Papua 

Selanjutnya di ayat (2) menjelaskan “Faktor risiko tersebut antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu lintas yang tidak benar”.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengatur mengenai standar keamanan pangan yang layak untuk dikonsumsi. Dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan “Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.

Secara umum, pengaturan terkait minuman beralkohol sebenarnya juga telah tersebar di UU lain seperti di UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal dan KUHP. Sedangkan untuk tataran regulasi di daerah, setidaknya kami mencatat terdapat 13 daerah yang memiliki perda yang mengatur minuman beralkohol dimana tiga diantaranya dengan tegas melarang, yakni Provinsi Papua, Jambi, dan Kabupaten Kolaka Utara. Namun, pengaturan terkait minuman beralkohol dalam sejumlah peraturan eksisting tersebut nyatanya masih berserakan.

Baca Juga :Nasir Djamil : RUU Minuman Beralkohol Menjadi Rujukan Daerah

Di sisi lain, karakter dari regulasi yang telah ada tersebut masih bersifat parsial, sektoral, dan belum komprehensif. Misalnya dalam KUHP, ketentuan mengenai minuman beralkohol diatur dalam Pasal 300, 492 ayat (1), dan 536 ayat (1). Sayangnya, salah satu kelemahan dari sejumlah beleid tersebut memberikan tafsir bahwa minuman beralkohol masih dibolehkan sepanjang tidak menimbulkan kerugian atau bahaya bagi orang lain. Padahal telah disampaikan pada paparan sebelumnya bahwa minuman berakohol juga memiliki pengaruh negatif terhadap relasi sosial di masyarakat.

Berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut, penulis memandang RUU tentang Minuman Beralkohol menjadi relevan untuk segera diwujudkan dengan tujuan;

Pertama, RUU ini untuk menyatukan sejumlah ketentuan terkait minuman beralkohol yang berserakan di sejumlah peraturan eksisting dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan secara spesifik mengisi kekosongan hukum terkait aturan minuman alkohol. Sehingga ke depan, RUU ini akan menjadi payung bagi pelbagai peraturan di UU maupun perda yang menyangkut aturan minuman beralkohol.

Kedua, RUU ini diharapkan menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam mengemban tanggungjawab untuk pelaksanaan fungsi pengawasan, sosialisasi, hingga rehabilitasi korban minuman beralkohol. Hal ini dengan tegas dicantumkan dalam Pasal 9 ayat (1) RUU Minol.

Ketiga, RUU ini disusun semata-mata untuk memastikan keselamatan, ketertiban, dan keamanan masyarakat dari dampak negatif minuman alkohol melalui ketentuan larangan minuman alkohol, mulai sejak produksi, distribusi, hingga konsumsi. Kendati demikian, RUU ini tetap memberikan ruang khusus sepanjang untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, dan farmasi.