Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Menyoal Kelanjutan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Anggota Komisi IV DPR RI Mahfudz Siddiq

oleh: Drs. Mahfudz Siddiq, M.Si

Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS

 

Pemerintah Indonesia, melalui Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, telah resmi melanjutkan megaproyek reklamasi Teluk Jakarta, pasca adanya moratorium oleh Menko Maritim Rizal Ramli sebelum terkena reshuffle.

Pemerintah bersikeras untuk melanjutkan proyek 4000 triliun tahun jamak (multiyears) tersebut dengan anggapan bahwa sudah disepakati oleh seluruh kementerian dan telah lama diatur sejak era Orde Baru melalui Keppres Nomor 52 Tahun 1995.

Seharusnya pemerintah memahami, proses formulasi kebijakan pemerintah tidak hanya didasarkan input dari segelintir kelompok (oligarki), baik yang berasal dari kaum pengusaha maupun dari elit penguasa. Aspirasi yang datang dari masyarakat luas bahkan yang berlawanan terhadap kebijakan tersebut, adalah bagian yang perlu diakomodir, sebagai konsekuensi pemerintahan demokratis yang lahir dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

Dengan logika berpikir seperti itu, pemerintah akan menjadi arif untuk tidak terburu-buru melanjutkan proses reklamasi. Terlebih, hingga saat ini, pemerintah belum pernah menyusun studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang bersifat kawasan dan regional, baik yang berkenaan dengan 17 pulau maupun tanggul raksasa (giant sea wall), sebagaimana amanat dari Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M/2007 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2013.

Memahami Reklamasi

Pada prinsipnya, tujuan reklamasi adalah sarana alternatif dalam rangka pemenuhan kebutuhan lahan di perkotaan dikarenakan semakin sempitnya wilayah daratan. Menurut Permenhub Nomor 52 tahun 2011, reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan atau kontur kedalaman perairan.
Reklamasi ini tak hanya di Jakarta, di berbagai kota di Indonesia, bahkan di dunia, reklamasi selalu menjadi persoalan dan banyak menyedot perhatian publik.

Misalnya, di Provinsi Bali, reklamasi Teluk Benoa direncanakan meliputi kawasan seluas 700 hektar di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Di Kota Manado, Sulawesi Utara juga ada proyek reklamasi yang akan dibangun Central Business District (CBD) di sepanjang wilayah pesisir pantai Sindulang hingga Tumumpa (Boulevard Dua). Bahkan, di Kota Mamuju, Sulawesi Barat, lahan pantai seluas 8.3 Hektar juga direncanakan untuk direklamasi atas sebab pembangunan fasilitas pelayanan publik dan keindahan kota.

Di sisi lain, menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), dari 17.480 pulau di Indonesia, hanya 4.891 di antaranya telah diberi nama dan telah didaftarkan ke badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan kata lain, jika pemerintah memiliki political will untuk memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan publik dan peningkatan ekonomi, bukankah seharusnya lebih kepada memanfaatkan pulau-pulau yang belum optimal tersebut?

Reklamasi Tabrak Hukum

Dalam konteks hukum, proyek reklamasi Teluk Jakarta dilakukan dengan penuh ketidakpastian hukum. Bahkan, penuh kecacatan. Meskipun demikian, Pemprov DKI Jakarta malah telah berulang kali melakukan upaya agar proses pengerjaan reklamasi memiliki izin pelaksanaan sehingga menjadi payung hukum di level daerah. Tercatat, setelah dilantik pada 19 November 2014 menggantikan Jokowi, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama langsung mengeluarkan setidaknya 4 (empat) izin pelaksanaan reklamasi.

Pertama, Kepgub DKI Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra. Kedua, Kepgub DKI Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo. Ketiga, Kepgub DKI Nomor 2269 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I Kepada PT Jaladri Kartika Pakci. Dan, keempat, Kepgub Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.

Semua pemberian izin tersebut menekankan pada substansi yang sama bahwa Pemprov DKI melalui Gubernur Basuki Tjahaha Purnama memberikan izin pelaksanaan bagi pulau-pulau di Teluk Jakarta seluas 2.700 hektare untuk melakukan reklamasi.

Meskipun demikian, harus dicermati bahwa semua izin yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI tersebut memiliki 7 (tujuh) pelanggaran hukum. Pertama, Gubernur DKI telah melampaui kewenangannya dengan mengeluarkan izin pelaksanaan tersebut. Hal itu dikarenakan, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, Ibukota DKI Jakarta termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN), termasuk yang berada di Teluk Jakarta. Maka, kewenangan beserta pemanfaatan kawasan tersebut, tidak bisa terlepas dari kebijakan pemerintah pusat.

Maka konsekuensi KSN itu adalah seharusny a Pemprov DKI menghormati serta menaati moratorium yang telah diputuskan antara Komisi IV DPR RI dengan Pemerintah pada Bulan April 2016 silam. Pemprov DKI. Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan pun sudah seharusnya menaati moratorium tersebut, sehingga jika ingin melanjutkan proyek reklamasi tersebut, harus bersama DPR mencabut terlebih dahulu kesepakatan moratorium ini.

Kedua, Putusan PTUN pada Mei 2016 bernomor 193/G/LH/2015 selaras dengan moratorium di atas bahwa pengadilan memenangkan gugatan para nelayan untuk menghentikan reklamasi, khususnya Pulau G. Adanya pengajuan banding ke Mahkamah Agung yang dilakukan Menko Maritim tidak serta membatalkan putusan PTUN tersebut. Justru, sebaliknya, bahwa lahan reklamasi serta Kepgub soal izin reklamasi masih menjadi sengketa, sehingga, tidak boleh dilanjutkan.

Ketiga, Pemprov DKI menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi di atas tanpa diawali dengan adanya Perda Zonasi yang dibahas bersama dengan DPRD DKI. Diketahui, berdasarkan UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, syarat untuk melakukan reklamasi adalah adanya Izin Pengusahaan Pengelolaan Pesisir (IP3) dan Rencana Zonasi.

Sejauh ini, Pemprov DKI hanya menggunakan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 sebagai kelanjutan dari Keppres tahun 1995, tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur, sebagai landasan untuk menerbitkan izin reklamasi.
Keempat, pelanggaran hukum selanjutnya adalah penerbitan izin reklamasi tanpa didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, KLHS wajib dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan hidup.

Dengan kata lain, proyek reklamasi yang berpotensi menimbulkan dampak atau resiko bagi lingkungan hidup harus diawali dengan adanya KLHS tersebut. Pemprov DKI melakukan pelanggaran hukum karena mengabaikan penyusunan KLHS ini

Kelima, penerbitan izin reklamasi dilakukan dengan kajian AMDAL secara parsial (per pulau) bukan regional (kawasan). Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 05/2012, disebutkan bahwa jika luas lahan reklamasi lebih dari 25 hektar maka harus dilakukan AMDAL terpadu, yaitu mencakup daerah di sekitar Teluk Jakarta, termasuk di Provinsi Banten dan Jawa Barat.

Keenam, bersamaan dengan izin AMDAL parsial tersebut, Pemprov DKI tidak pernah mengumumkannya kepada masyarakat luas. Sehingga, Pemprov DKI menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi tanpa mengikuti prosedur perizinan lingkungan hidup berdasarkan PP No. 27 Tahun 2007, dimana perizinan lingkungan hidup harus menyertakan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, Izin Lingkungan, dan dokumen AMDAL.

Ketujuh, Proyek Reklamasi Teluk Jakarta Melanggar Peraturan Menteri PU No. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2013 tentang Jenis Rencana Usaha dan Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis mengenai Dampak Lingkungan.

Dalam peraturan ini, disebutkan bahwa reklamasi pantai yang memiliki skala besar atau yang mengalami perubahan bentang alam secara signifikan, wajib menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kawasan. Penyusunan RDTR kawasan tersebut dapat dilakukan jika sudah memenuhi persyaratan administratif, yaitu studi AMDAL sebagaimana pada poin pelanggaran hukum kelima dan keenam.

Oleh karena itu, dengan dilanjutkannya Reklamasi Teluk Jakarta, khususnya di Pulau G, oleh Menko Kemaritiman Luhut dan Gubernur DKI, maka Pemerintah sejatinya telah melanggar Putusan PTUN Jakarta dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, seperti yang disampaikan dalam analisa pelanggaran hukum di atas.

Hal ini membuktikan Pemerintah tidak mengakui adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena berdasarkan UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3, disebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan atas hukum.

*dimuat di Harian Cetak Republika, Selasa 4 Oktober 2016