Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Tambah Utang di Tengah Penurunan Pendapatan Negara, Sangat Berisiko!!!

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (14/07) — Penambahan utang dengan skala jumbo dinilai akan berisiko pada kondisi keuangan negara. Terlebih jika berutang di tengah turunnya pendapatan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Menambah utang dengan kondisi penerimaan negara yang tidak berkelanjutan tentu sangat beresiko,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati kepada Media Indonesia, Sabtu (13/07/2024).

Pendapatan Indonesia selama ini banyak ditopang oleh komoditas unggulan. Ketika harga komoditas-komoditas dalam negeri mengalami kenaikan di level internasional, maka pendapatan bakal menggunung melalui penerimaan pajak.

Sebaliknya, ketika harga-harga komoditas unggulan mengalami penurunan, maka pendapatan negara juga akan turun. Hal itu, menurut Anis, merupakan gambaran dari kondisi pendapatan yang tak berkelanjutan.

Kantung pendapatan negara juga berpotensi bakal kempis lantaran Bank Dunia memprediksi adanya potensi penurunan indeks harga komoditas dunia pada tahun 2024 menjadi 105,3 dan 2025 sebesar 101,6.

Indeks tersebut jauh di bawah indeks harga pada tahun 2022 yang bahkan mencapai 142,5 dan 2023 yang berada di angka 108. Bahkan, kata Anis, harga komoditas-komoditas mineral dan batu bara yang menjadi tumpuan ekspor dan penerimaan negara diprediksi akan mengalami penurunan yang drastis.

Selain pendapatan yang tak berkelanjutan, tumpukan utang Indonesia juga disebut berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. Per April 2024, misalnya, utang jatuh tempo yang mesti dibayar negara hingga 2030 mencapai Rp4.615,26 triliun.

“Ini baru utang jatuh tempo, belum kalau berbicara soal total utang,” kata Anis.

Secara nalar, hal itu dinilai berbanding terbalik dengan pernyataan pemerintah yang menyatakan posisi utang saat ini berada dalam kondisi aman.

“Klaim ini didasarkan pada rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), yang tidak menggambarkan secara akurat kondisi penerimaan negara yang digunakan untuk membayar utang,” jelas Anis.

PDB, kata dia, hanya menggambarkan nilai tambah ekonomi secara nasional, bukan kemampuan membayar utang. Mestinya, profil risiko utang dapat dilihat dengan rasio yang lebih ideal, seperti Debt to Service Ratio (DSR).

DSR menggambarkan bagaimana utang dibandingkan dengan kemampuan devisa untuk membayar utang tersebut. Jika utang meningkat tanpa diikuti peningkatan ekspor dan penerimaan devisa lain, maka ketersediaan dolar untuk membayar utang akan semakin terbatas, yang pada akhirnya berdampak pada nilai tukar.

Rasio DSR yang aman adalah 20 persen. Namun sejak 2015, imbuh Anis, rasio DSR Indonesia konsisten di atas 24%. Dia tak menampik terjadi penurunan saat terjadi boom commodity pada 2020-2022, namun kondisi ini tidak berkelanjutan.

“Ini merupakan alarm nyata bagi kondisi fiskal dan perekonomian Indonesia,” terangnya.

“Jadi, klaim pemerintah mengenai kondisi utang yang aman tidak tepat karena tidak melihat pada rasio yang lebih ideal, yaitu DSR, yang menunjukkan risiko yang lebih tinggi bagi perekonomian,” pungkas Anis.