Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Ibu Membangun Karakter Bangsa

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh: Jazuli Juwaini (Ketua Fraksi PKS DPR RI)

Setiap tanggal 22 Desember kita memperingati hari ibu. Peringatan ini kita pahami sebagai bentuk pengakuan sekaligus penghormatan terhadap peran dan arti penting ibu dalam membangun bangsa.

Meskipun tentu saja peringatan ini tidak boleh hanya sekadar seremonial dan simbolisasi semata, tapi harus menjadi momentum untuk lebih membuka ruang bagi optimalisasi peran ibu sebagi pendidik utama (dan pertama) dalam sekolah pertama yang bernama keluarga.

Ibu merupakan jantung kehidupan karena setiap orang lahir dari rahim seorang ibu. Secara hakiki rahim seorang ibu memberikan pelajaran yang luar biasa bagi seorang anak.

Rahimnya tidak saja memberikan nutrisi yang menumbuhkan janin tapi menghadirkan ikatan (bonding) cinta dan kasih sayang pada diri anak. Ketika seorang anak lahir di dunia, cinta dan kasih sayang ibulah yang membesarkannya. Cara ibu menyusui dan menyapih adalah pelajaran tentang menumbuhkan masa depan.

Sementara cara ibu menggendong dan menatahnya berjalan adalah pelajaran tentang memeluk dan mewujudkan harapan.

Dalam ajaran agama posisi dan kedudukan seorang ibu tak terbantahkan. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits Nabi bahwa keridhoan Allah terletak pada keridhoan orang tua, dan ibu adalah orang tua yang utama karena dalam hadits yang lain disebutkan bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu. Pun, Rasulullah SAW memuliakan seorang ibu tiga kali lebih besar dari seorang ayah.

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim disebutkan Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi shalallaahu alaihi wasallam menjawab, Ibumu! Dan orang tersebut kembali bertanya, Kemudian siapa lagi? Nabi shalallaahu alaihi wasallam menjawab, Ibumu! Orang tersebut bertanya kembali, Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab, Ibumu. Orang tersebut bertanya kembali, Kemudian siapa lagi, Nabi shalallahu alaihi wasallam menjawab, Kemudian ayahmu.

Ibu dan Visi Kebangsaan
Melihat kedudukan strategis seorang ibu tersebut, sudah seharusnya upaya pemuliaan, penghormatan serta pengakuan terhadap peran-peran ibu dalam mendidik generasi diafirmasi dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dan negara.

Negara harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi optimalisasi peran tersebut serta bagi pemuliaan dan penghormatan ibu sebagai jantung kehidupan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang dibangun di atas pondasi nilai dan karakter kemanusiaan yang hakiki dan nilai-karakter itu ditransformasikan sejak dini melalui peran-peran pengasuhan seorang ibu dalam sekolah keluarga. Bukan saja membangun bangsa, seorang ibu sejatinya juga mencetak pemimpin bangsa yang unggul melalui pendidikan kepribadian yang ditanamkan sejak dini.

Ahli psikologi menyatakan bahwa seorang manusia melewati masa-masa perkembangan kemampuan dan internalisasi nilai-karakter sepanjang hidupnya. Dan usia emas (the golden age) manusia itu ada pada masa anak-anak (khususnya fase usia 0-4 tahun) karena kecerdasannya terbangun 50% dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun.

Jadi by scientific masa tersebut sangat menentukan tumbuh kembangnya sebagai genarasi yang akan mengisi masa depan bangsa ini. Dan fase tersebut ada dalam peran pengasuhan seorang ibu (bersama ayah tentu saja).

Jika kita menyadari bukti ilmiah (scientific evidence) tersebut, dikaitkan dengan upaya membangun kebangsaan yang berkarakter, maka sudah semestinya kita memfokuskan energi dan kebijakan negara pada upaya optimalisasi peran ibu (orang tua) sebagai pendidik generasi.

Artinya, harus ada keberpihakan negara untuk melindungi dan mempromosikan peran ibu dan keluarga, dan itu dituangkan dalam kebijakan yang kongkrit dan bersifat masif menjadi sebuah gerakan kolektif.

Realitas hari ini bangsa kita menghadapi tantangan (sekaligus ancaman) nilai-karakter yang pada gilirannya akan mengoyak identitas kita sebagai sebuah bangsa. Masifnya budaya liberal telah menggeser sendi-sendi kehidupan sosial bahkan negara.

Masyarakat menjadi permisif, abai pada nilai-nilai luhur, yang berekses luas pada maraknya pergaulan bebas, kelahiran di luar nikah, aborsi, pornografi dan pornoaksi, narkoba, dan berbagai penyakit sosial lainnya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kemampuan keluarga untuk mentransformasi nilai-nilai luhur dan karakter kebangsaan nyatanya kalah cepat dengan masifitas budaya yang merusaknya. Hal ini harus menjadi peringatan keras bagi para pemimpin dan guru bangsa bahwa jika kita tidak mampu menghadirkan solusi yang efektif maka akan menjadi ancaman serius bagi visi kebangsaan kita ke depan. Dan solusi itu ada pada revitalisasi peran ibu dan keluarga.

Tawaran Kebijakan
Bagaimana model kebijakan negara yang mempromosikan optimalisasi peran ibu/orang tua/keluarga dalam mewujudkan generasi yang berkarakter? Bagi penulis hal itu dapat dilakukan jika negara fokus dan berpihak pada upaya untuk memperkuat ketahanan keluarga.

Secara elementer ketahanan keluarga menempatkan ibu (orang tua) sebagai pendidik dan pengasuh utama bagi anak-anaknya. Konsep ini akan memanggil setiap ibu Indonesia untuk kembali dan mengambil peran tanggung jawab penuh atas pengasuhan anak-anak mereka. Artinya para ibu dan orang tua harus mengikuti, mendampingi, mengupayakan, dan tidak bisa abai pada perkembangan anak-anak mereka.

Konsepsi tersebut secara tegas merupakan upaya mengarus-utamakan keluarga (family mainstreaming) dalam kehidupan, yang secara implementatif membutuhkan transformasi kebijakan negara terhadap dunia pendidikan secara luas. Tanggung jawab pendidikan anak tidak bisa lagi dilepas begitu saja pada institusi pendidikan formal tanpa melibatkan orang tua.

Sebaliknya orang tua diberikan ruang dan peran-peran yang optimal dalam mengetahui, mendampingi, serta mengupayakan peningkatan dan perkembangan pendidikan anak-anak mereka.

Konsepsi ini juga membutuhkan lingkungan yang kondusif bagi terlaksananya peran-peran orang tua, khususnya ibu, secara optimal. Antara lain diwujudkan dengan pemberian hak cuti hamil dan menyusui bagi ibu bekerja yang memadai untuk memberikan hak-hak anak di masa-masa golden age mereka. Perusahaan atau kantor ibu bekerja juga harus terus didorong untuk menciptakan lingkungan yang kondusif agar ikatan (bonding) antara ibu dan anak-anak mereka tetap terjaga, antara lain dengan mengupayakan tempat pengasuhan anak (day care) di lingkungan perusahaan/kantor mereka.

Terakhir, secara luas negara harus terus hadir mengkampanyekan family mainstreaming ini dengan mensosialisasikan dan memberikan bekalan pengetahuan dan wawasan kepada para ibu (dan calon ibu) tentang pentingnya pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Argumentasinya sederhana: Negara harus menjamin terwujudnya generasi bangsa yang berkarakter, dan itu lahir dari ibu yang memahami dan melaksanakan peran sebagai pendidik dan pengasuh utama generasi.

Semoga keberpihakan negara ini ke depan akan menjadi kado indah bagi ibu Indonesia. Selamat hari ibu!