Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pendapat FPKS DPR RI terhadap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pembicaraan Tingkat I Baleg)

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Dibacakan Oleh: Al-Muzzammil Yusuf

 

Bismillahirrahmanirrahiim;

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh;

Salam Sejahtera untuk kita semua;

 

Yang Kami hormati:

Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR;

– Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

– Menteri Dalam Negeri;

– Menteri Sosial;

– Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia;

– Rekan-rekan Wartawan; serta

– Hadirin yang Kami muliakan;

 

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan kasih sayang dan rahmat-Nya, Kita bisa menghadiri Rapat Pleno ini sebagai bentuk tugas mulia kita dalam menjalankan amanah sebagai Wakil Rakyat. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan.

Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rekan-rekan Wartawan serta Hadirin yang Kami hormati;

Menyikapi hasil Panja Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) oleh Panja Badan Legislasi bersama dengan Pemerintah, Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyampaikan catatan-catatan sebagai berikut:

PERTAMA; Fraksi PKS mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual, mendukung terhadap upaya-upaya pemberatan pidana termasuk pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual, serta mendukung terhadap upaya-upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual. Fraksi PKS sangat menaruh perhatian terhadap upaya-upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual yang meliputi layanan pengaduan, layanan kesehatan, bantuan hukum, pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban, serta pemulihan untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban. Hal ini dibuktikan dengan PKS memiliki lembaga khusus yaitu Rumah Keluarga Indonesia (RKI) dengan 1000 Konsultan, yang berfokus untuk memberikan advokasi, pendampingan, dan konsultasi yang berkaitan dengan kejahatan seksual yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia, bahkan jauh sebelum RUU TPKS ini dibahas.

Di sisi lain, Fraksi PKS juga sangat prihatin dengan semakin maraknya tindakan perzinaan, gaya hidup seks bebas, serta perilaku penyimpangan seksual. Sejak awal penyusunan RUU TPKS di Badan Legislasi DPR, Fraksi PKS mendorong agar Rumusan Tindak Pidana dalam RUU TPKS ini memasukkan secara lengkap jenis-jenis Tindak Pidana Kesusilaan yaitu segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Perzinaan, dan Penyimpangan Seksual, sehingga pembahasan RUU TPKS ini TIDAK menggunakan satu paradigma yaitu Kekerasan Seksual saja. Fraksi PKS menilai bahwa pembahasan RUU TPKS ini harus dilakukan dengan paradigma berfikir yang lengkap, integral, komprehensif serta pembahasannya dilakukan secara cermat, hati-hati, dan tidak terburu-buru agar pelaksanaan RUU TPKS nantinya dapat secara efektif mencegah dan mengatasi seluruh Tindak Pidana Kesusilaan.

KEDUA; Pembentukan undang-undang yang mengatur tentang Tindak Pidana Kesusilaan, termasuk di dalamnya Kekerasan Seksual, Perzinaan, dan Penyimpangan Seksual harus memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016. Dalam Pertimbangan Hukumnya, Hakim Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa diperlukan langkah perbaikan untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang Tindak Pidana Kesusilaan oleh Pembentuk Undang-undang. Dalam Permohonan Uji Materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP yang diajukan oleh Prof.Dr.Ir. Euis Sunarti, M.Si. bersama sejumlah pihak tersebut, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memperjelas rumusan Delik Kesusilaan. Pemohon dalam gugatannya meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan. Terkait Pasal 285, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Sementara, pada Pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa “belum dewasa”, sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik belum dewasa atau sudah dewasa.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Pemohon karena pembentukan norma baru BUKAN merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator. Lima Hakim Konstitusi berpendapat bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang mengubah secara mendasar, baik subjek yang dapat dipidana, perbuatan yang dapat dipidana, sifat melawan hukum perbuatan tersebut, maupun sanksi/ancaman pidananya. Hal itu berakibat pada perubahan hal prinsip atau pokok dalam hukum pidana dan konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan suatu perbuatan pidana. Jadi, hal itu sesungguhnya telah memasuki wilayah “criminal policy” yang kewenangannya ada pada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden sebagai positive legislator.

Namun 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yaitu Prof.Dr. Arif Hidayat, S.H., M.S., Dr. Anwar Usman, S.H., M.H., Dr.H. Wahiduddin Adams, S.H., M.A. dan Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., D.F.M. memiliki Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion). Keempat Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa dalam menafsirkan Tindak Pidana Kesusilaan dalam Pasal 284, 285, dan 292 KUHP harus memberi tempat bagi nilai Agama, sinar Ketuhanan, dan nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dalam memandang sifat ketercelaan suatu perbuatan. Bahwa jika eksistensi Pasal 284 KUHP yang mempersepit makna zina tetap dipertahankan sebagaimana adanya, maka kewibawaan supremasi konstitusi dan hukum di Indonesia akan sangat terancam karena mencantumkan norma yang bertentangan atau setidak-tidaknya mempersempit dan mereduksi ruang lingkup ketercelaan suatu perbuatan yang telah digariskan secara tegas menurut Hukum Tuhan. Sejalan dengan argumentasi Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut, Fraksi PKS menilai bahwa dalam menyusun suatu rumusan delik tidak bisa membebaskan suatu perbuatan bukan sebagai Tindak Pidana, semata-mata hanya karena perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur delik, padahal perbuatan tersebut jelas dilarang dan bersifat sangat tercela menurut nilai Agama dan nilai-nilai hukum yang hidup masyarakat Indonesia (living law).

KETIGA; Setelah menerima banyak masukan dari masyarakat terkait RUU TPKS (Adapun masukan dari Organisasi dan Lembaga Kami lampirkan dalam Pandangan Fraksi ini), Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap Perzinaan dan Penyimpangan Seksual sebagai salah satu bentuk Tindak Pidana Kesusilaan. Norma Perzinaan dalam KUHP bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain. Pengaturan tentang Tindak Pidana Perzinaan ini perlu diatur dengan memperluas rumusan delik Perzinaan dalam Pasal 284 KUHP yang mencakup perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik yang keduanya terikat perkawinan dengan orang lain, salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain, maupun yang keduanya sama-sama belum terikat perkawinan. Sebaiknya, memasukkan rumusan dan ruang lingkup Tindak Pidana Perzinaan sesuai dengan RKUHP yang sudah mengakomodasi ruang lingkup Perzinaan secara komprehensif, yaitu yang dilakukan oleh:

  1. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
  2. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan lakilaki yang bukan suaminya;
  3. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
  4. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan lakilaki, padahal diketahui bahwa lakilaki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
  5. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

KEEMPAT; Fraksi PKS juga mengusulkan untuk memasukan ketentuan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT)/Penyimpangan Seksual dalam RUU TPKS, dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa, melarang segala bentuk kampanye penyimpangan seksual, dengan memberikan pengecualian bagi pelaku penyimpangan seksual karena kondisi medis tertentu yang harus direhabilitasi. Mengingat adanya kekosongan hukum perihal pengaturan LGBT di Indonesia, karena tidak ada satu pun hukum positif Indonesia yang secara eksplisit-normatif melarang perilaku LGBT, maka pembentuk undang-undang perlu segera mengaturnya. Selain itu, Fraksi PKS juga mengusulkan untuk menambahkan kategori pemberatan pidana (ditambah 1/3) sebagaimana diatur dalam RUU TPKS ini yaitu apabila Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan secara Penyimpangan Seksual.

KELIMA; Fraksi PKS memberikan masukan bahwa dalam perumusan jenis-jenis Tindak Pidana, sebaiknya disesuaikan dengan Tindak Pidana Kesusilaan yang telah Dibahas dalam RKUHP agar rumusan Tindak Pidananya lengkap, integral, komprehensif, dan tidak menimbulkan pemaknaan lain yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945. Dalam Bab XV RKUHP yang telah selesai dibahas periode lalu dan merupakan RUU carry over, telah dimasukkan jenis-jenis Tindak Pidana Kesusilaan yaitu sebagai berikut: (1) Larangan Pornografi; (2) Larangan Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Penggugur Kandungan; (3) Larangan Perzinaan (Larangan melakukann persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, Larangan melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, Larangan melakukan persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah); (4) Larangan Percabulan (Larangan melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya).

Rumusan Tindak Pidana Kesusilaan yang diatur dalam RKUHP ini sudah komprehensif karena meliputi perbuatan yang mengandung unsur kekerasan seksual dan yang tidak mengandung unsur kekerasan seksual, seperti perzinaan dan hubungan seksual sesama jenis. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk UU khusus terkait Tindak Pidana Kesusilaan ini, perlu untuk memasukkan jenis-jenis Tindak Pidana Kesusilaan secara lengkap. Karena materi muatan dalam RUU TPKS ini sangat berkaitan erat dengan pengaturan Tindak Pidana Kesusilaan, maka sebaiknya rumusan tindak pidananya disesuaikan dengan RKUHP. Kami Fraksi PKS mendorong agar pembahasan dan pengesahan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini dilakukan setelah RKUHP disahkan atau setidaknya dilakukan secara bersamaan dengan pembahasan dan pengesahan RKUHP. Apalagi RKUHP merupakan RUU carry over dari periode sebelumnya yang dapat langsung dibahas tanpa mengulang prosedur penyusunan RUU dari awal. Oleh karena itu, Kami menyambut baik janji yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM dalam Panja Pembahasan RUU TPKS bahwa RKUHP ditargetkan harus disahkan paling lambat pada Juni 2022.

KEENAM; Fraksi PKS menilai bahwa penyesuaian Delik Kesusilaan antara RUU TPKS dengan RKUHP penting dilakukan agar pelaksanaan RUU TPKS ini TIDAK menimbulkan penafsiran yang berbeda, mengingat dasar pemidanaan dalam RUU TPKS ini hanya menggunakan tolok ukur perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kekerasan saja, sedangkan perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent) dan segala bentuk penyimpangan seksual yang tidak mengandung kekerasan, meskipun keduanya bertentangan dengan Hukum Agama dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, tetap tidak dapat dipidana. Terutama Perzinaan antara Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah yang melakukan persetubuhan, karena masih merujuk pada Pasal 284 KUHP yang belum diubah; serta Perbuatan Seksual Sesama Jenis yang dilakukan oleh dewasa, karena masih merujuk pada Pasal 292 KUHP yang belum direvisi. Fraksi PKS menegaskan bahwa pengaturan yang komprehensif tentang Tindak Pidana Kesusilaan ini harus mempertimbangkan pengarusutamaan Hak Asasi Manusia yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945 yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang artinya nilai-nilai Ketuhanan yang bersumber dari hukum Agama dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat memiliki tempat dalam sistem norma dan perundang-undangan di Indonesia.

Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rekan-rekan Wartawan serta Hadirin yang Kami hormati;

Berdasarkan catatan Kami tersebut terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan memohon taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, Kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) MENOLAK Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi Undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, SEBELUM didahului adanya pengesahan RKUHP dan/atau pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersamaan dengan pembahasan RKUHP dengan melakukan sinkronisasi seluruh Tindak Pidana Kesusilaan yang meliputi segala bentuk Kekerasan Seksual, Perzinaan dan Penyimpangan Seksual.

Demikian Pendapat Fraksi PKS ini Kami sampaikan. Semoga Rapat Pleno hari ini memperoleh kesimpulan yang terbaik, sebagai ikhtiar Kita untuk menyusun undang-undang yang komprehensif memberikan perlindungan berkaitan dengan Tindak Pidana Kesusilaan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi dan mencatat ikhtiar Kita bersama dalam Rapat Pleno ini sebagai bagian dari amal terbaik kita untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Atas perhatian Pimpinan dan Anggota Badan Legislasi DPR, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rekan-rekan Wartawan serta Hadirin sekalian, Kami ucapkan terima kasih.

Billahi taufiq wal hidayah;

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Jakarta, 4 Ramadhan 1443 H

6 April 2022

PIMPINAN FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

H. Jazuli Juwaini, MA.

 

Sekretaris,

Hj. Ledia Hanifa, A. S.Si. M.Psi. T.

 

Simak Selengkapnya:

Pandangan_FPKS_RUU_TPKS_Pembicaraan_Tk_I_Baleg