Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

POINTER KONFERENSI PERS PENOLAKAN FPKS TERHADAP RUU HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH (HKPD)

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Bahan Konferensi Pers atas Sikap Fraksi PKS terhadap Pembahasan RUU HKPD

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD) berlangsung sejak masa sidang sebelumnya hingga kemarin tanggal 23 November 2021 yang merupakan acara puncak setelah dibacakannya pendapat akhir dari masing-masing fraksi. Fraksi PKS menolak RUU HKPD karena banyak hal signifikan yang memengaruhi secara negatif terhadap sistem desentralisasi, kemandirian fiskal, serta keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pada kesempatan yang baik ini, Fraksi PKS akan memaparkan sikap terkait dengan hal-hal krusial tersebut di atas.

  1. Dalam perkembangannya hasil pembahasan RUU HKPD belum sepenuhnya memenuhi amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Hal ini juga sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 dimana “hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang”.

 

  1. Fraksi PKS menolak RUU HKPD karena memperkuat arah “re-sentralisasi” dan mereduksi semangat “desentralisasi”. Beberapa contohnya yaitu: pada Pasal 169 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat mengendalikan APBD pada tiga kondisi yaitu: (i) penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah; (ii) penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan Utang Daerah dan (iii) pengendalian dalam kondisi darurat. Ketentuan ini menyebabkan daerah tidak bebas dalam mengelola fiskalnya sehingga hilangnya semangat reformasi, otonomi daerah, dan desentralisasi fiskal. Selain itu, program-program daerah juga bisa diarahakan untuk sejalan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) sehingga daerah berpotensi tidak dapat berinovasi. Hal itu juga terlihat dari alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang salah satunya ditujukan untuk pemenuhan target layanan yang menjadi prioritas nasional. Faktanya, tidak semua prioritas nasional sejalan dengan kebutuhan daerah.

 

  1. Fraksi PKS konsisten memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Usulan FPKS mengenai keberpihakan terhadap Rakyat Kecil dengan pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) untuk kendaraan roda 2 dengan CC kecil (di bawah 155 CC) tidak diakomodasi. Sebagian besar kendaraan bermotor ber-CC rendah dimiliki oleh masyarakat bawah. Selain itu, kendaraan tersebut dijadikan moda untuk aktivitas mata pencaharian rakyat bawah. Artinya masyarakat banyak bergantung dari kendaraan bermotor roda dua. Pembebasan kewajiban atas pemilikan kendaraan bermotor ber-CC rendah akan meringankan beban hidup rakyat terlebih dimasa pandemi. Hal ini sangat penting sebagai kebijakan dengan semangat keadilan ditengah insentif pembebasan pajak untuk pembelian kendaraan roda empat yang sedang diobral pemerintah dan banyaknya insentif pajak untuk korporasi.

 

  1. Fraksi PKS mendorong penyusunan Undang-Undang ini sebagai upaya untuk menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang telah berjalan selama ini. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal memiliki tujuan untuk meningkatkan layanan publik agar kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat meningkat signifikan, belum tercapai. Ironinya, anggaran TKDD sebagai konsekuensi desentralisasi fiskal terus meningkat, namun belum diikuti dengan peningkatan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang signifikan.

 

  1. Fraksi PKS menolak hasil pembahasan RUU HKPD karena tidak meyakinkan untuk mampu mengurangi ketimpangan wilayah, di mana indikator ketimpangan tidak diakomodir dalam formula Dana Alokasi Umum (DAU). Beberapa faktor yang menjadi penyesuaian DAU adalah luas wilayah, karakteristik wilayah dan indeks kemahalan konstruksi. Sementara itu, faktor-faktor seperti ketimpangan wilayah (indeks wiliamson/ indeks gini) dan kepadatan penduduk kami belum menemukannya. Faktor-faktor tersebut sangat penting karena menjadi acuan untuk menentukan bagaimana ketimpangan muncul sebagai dampak dari pendapatan rendah, sehingga biaya penyediaan layanan publik tinggi (dibandingkan daerah lain). Situasi yang demikian jamak terjadi di luar Jawa dan Bali.

 

  1. Fraksi PKS menolak hasil pembahasan RUU HKPD karena berpotensi meningkatkan risiko utang negara dengan dibukanya peluang peningkatan utang daerah. Utang negara sudah meningkat signifikan karena pandemi covid-19. Ketika opsi tersebut dibuka maka utang negara berpotensi semakin meningkat. Sumber pembiayaan pembangunan dari obligasi daerah berpotensi memunculkan lonjakan utang daerah. Padahal kapasitas fiskal daerah sangat terbatas. Beberapa daerah sangat bergantung pada dana transfer pemerintah pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah. Pada gilirannya pembiayaan obligasi daerah akan menaikkan utang pemerintah secara keseluruhan. Naiknya utang pemerintah dan daerah akan semakin meningkatkan beban negara secara keseluruhan. Pemerintah pusat semestinya dapat memberikan alternatif untuk mendorong peningkatan PAD, tidak melalui utang daerah.

 

  1. Fraksi PKS menolak hasil pembahasan RUU HKPD karena belum menjawab masalah besar terkait dengan kesenjangan kemandirian fiskal daerah. Sebagaimana laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah masih cukup tinggi. Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena menunjukkan tingkat kemampuan daerah membiayai kebutuhannya sendiri yang ternyata masih belum merata. Catatan BPK menunjukkan 443 Pemerintah Daerah (PEMDA) atau 80,7% dari 503 Pemda belum masuk kategori mandiri dari sisi fiskal. Sedangkan sebanyak 468 pemda atau 93,04% pemda tidak mengalami perubahan kategori kemandirian fiskalnya sejak 2013. Hasil pembahasan RUU HKPD belum berhasil memberikan formula yang lebih baik dan adil bagi daerah seperti pada Dana Bagi Hasil (DBH) sumberdaya alam. Misalnya pasal 115 ayat 4 DBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi di mana daerah provinsi penghasil hanya menerima 40 persen. Porsi tersebut tidak berubah dari level yang ditetapkan pada UU No 33 Tahun 2004. Juga terkait daerah penghasil perkebunan kelapa sawit yang menjadi salah sumber devisa terbesar. Indonesia gagal memberikan kesejahteraan bagi daerah penghasil. Provinsi-provinsi penghasil kelapa sawit memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari kemiskinan nasional seperti Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, Aceh, dan Bengkulu.

 

  1. Fraksi PKS menolak RUU HKPD karena mengurangi kewenangan daerah sebagai salah satu amanat penting dalam Otonomi Daerah. Hal itu terlihat dari aturan yang memungkinkan pemerintah pusat untuk mengintervensi fiskal daerah meski dalam situasi krisis.  Ketentuan ini menyebabkan daerah tidak bebas dalam mengelola fiskalnya sehingga hilangnya semangat reformasi, otonomi daerah, dan desentralisasi fiskal. Pemerintah Pusat memiliki lima kewenangan yang tidak diserahkan kepada pemerintah daerah yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Maka selain lima kewenangan tersebut adalah wewenang permerintah daerah untuk mengelolanya.

 

  1. Fraksi PKS menolak RUU HKPD karena tidak memberikan jaminan terhadap arah peningkatan kualitas belanja pemerintah daerah. Salah satu indikator tantangan selama ini adalah tingginya realisasi anggaran Pemda di akhir triwulan setiap tahunnya. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kualitas belanja dan menyebabkan tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil pembahasan RUU HKPD mengusulkan pengelolaan keuangan negara dan daerah yang saling terhubung real time sebagai upaya mempermudah monitoring dan evaluasi sulit tercapai karena ketimpangan infrastruktur antar daerah baik dari sisi teknologi informasi maupun sumberdaya manusia.

 

  1. Fraksi PKS menolak RUU HKPD dan menyoroti mekanisme top-down dalam perencanaan program daerah yang menjadi salah satu indikator sentralisasi. Pada RUU HKPD Pasal 131 ini tergambar bahwa masih tingginya intervensi Pemerintah Pusat dalam proses perencanaan dan penggunaan DAK. Sedangkan pada Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menganut prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya dalam  arti  daerah  diberikan  kewenangan  mengurus  dan  mengatur  semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Mekanisme top-down tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah yang digagas dalam UU. Dana Alokasi Khusus (DAK) menjadi salah satu dana yang berperan dalam mendukung pembangunan di daerah. Selama ini DAK bersifat top-down sehingga mismatch dengan kebutuhan daerah. Selain DAK, mekanisme top-down juga muncul dalam arah penggunaan Dana Desa. Padahal setiap desa memiliki karakteristik berbeda sehingga mekanisme top-down tidak tepat. RUU HKPD tidak sejalan dengan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang memberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa yang selanjutnya disebut “Otonomi Desa” sebagai otonomi yang asli, bulat dan utuh.Naskah Desain dapat di unduh disini : POIN PENOLAKAN FPKS PADA RUU HKPD