Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Catatan Kritis terhadap PP No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Oleh: Bukhori Yusuf, Lc., M.A. (Anggota Badan Legislasi DPR RI)

Pada tanggal 2 Februari 2021, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Peraturan Pemerintah (PP) ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sehingga secara otomatis mengganti PP sebelumnya, yakni PP No. 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Tulisan ini adalah untuk menyorot apakah perubahan mengenai regulasi jaminan produk halal dalam PP terbaru ini terjabarkan dengan tepat selaras dengan aturan induknya, yakni UU Cipta Kerja, dimana UU kontroversial ini turut berdampak pada UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

Di samping itu, penulis juga mencermati sejumlah isu krusial pada PP ini yang perlu dikritisi sebagai bahan masukan demi peningkatan penyelenggaraan jaminan produk halal.

Pertama, aspek struktur. Bila disandingkan antara PP No. 39/2021 dengan PP No 33/2014, maka akan kita dapati perbedaan mencolok pada PP PP No. 39/2021, dimana PP ini mencantumkan penjabaran peraturan pelaksanaan terkait Pelaku Usaha, Pengajuan Permohonan dan Perpanjangan Sertifikat Halal, Label Halal dan Keterangan Tidak Halal, Peran Serta Masyarakat, Layanan Berbasis Eletronik, serta Penjabaran Sanksi Administratif. Muatan PP ini lebih kompleks ketimbang PP sebelumnya.

Kedua, aspek substansi. Semua perubahan dalam UU Cipta Kerja telah tertuang dalam PP No. 39/2021. Misalnya, pasal 42 UU Cipta Kerja ihwal perpanjangan sertifikat halal diatur penyelenggaraannya dalam Pasal 82-83 PP No. 39/2021.

Kemudian, Pasal 44 UU Cipta Kerja terkait biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil diatur penyelenggaraanya dalam PP Pasal 81 dan Pasal 86. Selain itu, aturan mengenai jangka waktu permohonan sertifikat halal yang diatur dalam Pasal 29 UU Cipta Kerja, penyelenggaraannya diatur dalam PP Pasal 50 sampai dengan Pasal 58.

Masih terkait aspek substansi, penulis juga mencermati bahwa terdapat sejumlah isu krusial yang perlu dikoreksi sehingga dalam implementasinya, PP ini bisa bekerja memadai dalam mendukung penyelenggaraan jaminan produk halal.

Pertama, perihal LPH dan Auditor Halal. Dalam PP terbaru, turut ditambahkan pengaturan mengenai pembentukan Tim Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), tugas, dan unsur-unsur Tim Akreditasi LPH.

Namun sayangnya, PP terbaru ini membatasi Auditor Halal sehingga hanya dapat terdaftar pada satu LPH (Pasal 39 ayat (2)). Padahal, Auditor Halal adalah profesi khusus dan semestinya tidak membatasi mereka hanya pada 1 LPH semata.

Artinya, regulasi ini membatasi ruang aplikasi profesi bagi para Auditor Halal. Sebagai perbandingan, profesi pengacara, dokter, bidan, arsitek, psikolog dan lain-lain tidak mengenal pengaturan pembatasan hanya pada satu institusi pemberi kerja.

Sehingga, bila hendak membatasi, sebenarnya bisa dilakukan cukup dengan menetapkan jumlah maksimal di atas 1 (satu).
Dengan demikian, dalam Paragraf 4 terkait Registrasi Auditor Halal semestinya langsung dilakukan oleh Auditor Halal kepada BPJPH dengan mencantumkan nama-nama LPH tempat bekerja, bukan oleh LPH kepada BPJH.

Adapun pencabutan registrasi Auditor Halal tetap dilakukan oleh BPJPH dengan mengirimkan salinan berita pencabutan registrasi kepada LPH-LPH tempat Auditor Halal bekerja. Sebagai tambahan, penambahan jumlah izin/registrasi bagi Auditor Halal pada lebih dari 1 (satu) LPH akan memungkinkan penambahan jumlah yang dapat beroperasi.

Hal ini penting untuk mengakselerasi penyelenggaraan JPH mengingat jumlah Auditor Halal yang masih terbatas, khususnya mereka yang memiliki sertifikat kompetensi.

Kedua, terkait pengajuan permohonan dan perpanjangan sertifikat halal. Pasal 83 PP menetapkan persyaratan dokumen untuk perpanjangan sertifikat halal tidak menyertakan persyaratan dokumen laporan Penyelia Halal yang menguatkan bahwa tidak ada perubahan PPH dan komposisi dalam suatu produk.

Padahal, dokumen ini sesungguhnya perlu dipersyaratkan sebagai bukti dari surat pernyataan Pelaku Usaha bahwa benar tidak ada perubahan PPH dan komposisi.
Kemudian, substansi UU Cipta Kerja Pasal 44 dimaknai bahwa pemerintah dalam ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menanggung biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Akan tetapi, Pasal 81 dan 86 PP No. 39/2021 memiliki tafsir yang bias sehingga potensi penundaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil selalu terbuka.

Pasal 81 ayat (1) berbunyi:
“Dalam hal permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, tidak dikenai biaya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.”

Pasal 81 ayat (1) mensyaratkan adanya kemampuan keuangan negara, sehingga bila terjadi kesulitan fiskal, maka pelaku usaha mikro dan kecil kemungkinan tidak bisa mendapatkan pembiayaan sertifikasi halal.

Kemudian dalam Pasal 86 berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), pembiayaan dapat dilakukan juga dengan:
a. anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pembiayaan alternatif untuk usaha mikro dan kecil;
c. pembiayaan dari dana kemitraan;
d. bantuan hibah pemerintah atau lembaga lain;
e. dana bergulir; atau
f. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.”

Sebagaimana dipaparkan, Pasal 86 menjabarkan sumber lain untuk pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Walaupun demikian, ada yang luput dari PP No. 39/2021 ini. PP ini tidak mencantumkan dengan jelas aturan mengenai tata cara pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro ataupun memandatkan pengaturannya melalui Peraturan BPJPH, sebagaimana ditetapkan untuk pembayaran biaya sertifikasi halal bagi Pelaku Usaha (non-Mikro dan Kecil), seperti yang tercantum pada Pasal 85 ayat (6).

Supaya tidak bias, selayaknya Pasal 86 ditambahkan ayat yang mengatur tata cara pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil melalui Peraturan BPJPH. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kebingungan di kalangan pelaku usaha mikro dan kecil mengenai sumber pembiayaan.
Ketiga, perihal label halal dan keterangan tidak halal.

Kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang berasal dari bahan yang diharamkan adalah penting (Pasal 93 dan 94). Sayangnya, hal ini tidak diikuti dengan pemberian kewenangan yang kuat bagi BPJPH untuk menjatuhkan sanksi administratif yang tegas terhadap pelaku usaha (Pasal 150).

Sebaliknya, BPJPH hanya berwenang menjatuhkan sanksi administratif berupa peringatan tertulis bagi Pelaku Usaha yang tidak mencantumkan keterangan tidak halal pada produk. Sementara, BPJPH tidak berwenang menjatuhkan sanksi penarikan barang maupun denda administratif atas pelanggaran Pasal 93.

Dalam Pasal 93 PP PP No. 39/2021 disebutkan:
“Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal berupa gambar, tulisan, dan/atau nama Bahan dengan warna yang berbeda pada komposisi bahan,”

Keempat, ihwal peran serta masyarakat dan sanksi administratif. Dalam UU Cipta Kerja bidang Jaminan Produk Halal (perubahan pada Pasal 55) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah. Namun demikian, tidak ditemukan penjabaran dari Pasal 55 UU Cipta Kerja melalui PP No. 39/2021 ihwal pengaturan penyelenggaraan tata cara peran serta masyarakat.

Anehnya, beleid dalam PP hanya memuat pengulangan isi UU Cipta Kerja Pasal 55.
Sementara, perihal sanksi administratif pada Pasal 149 dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal dikenakan sanksi administratif.

Kemudian dalam Pasal 56 UU Cipta Kerja juga dinyatakan bahwa pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produknya setelah memperoleh sertifikat halal, terancam dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Sementara, dalam PP No. 39/2021 Pasal 149 ayat (6) tercantum bahwa denda administratif paling banyak Rp. 2 miliar.

Artinya, antara pidana denda dan sanksi administrasi dalam bentuk denda bisa dikatakan tidak ada perbedaan.
Penutup dan Rekomendasi
PP No. 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal sudah cukup jelas menjabarkan mandat dari UU Jaminan Produk Halal dan UU Cipta Kerja.

Meskipun demikian, masih ada sedikit yang perlu dipertimbangkan untuk peningkatan penyelenggaraan JPH ke depan, antara lain:
a. Pembatasan jumlah registrasi Auditor Halal perlu dinaikkan untuk memberi kesempatan Auditor Halal menjalankan profesinya secara maksimal, tidak hanya pada 1 (satu) LPH saja.
b. Menambah jumlah LPH yang dapat beroperasi untuk memungkinkan akselerasi penyelenggaraan JPH. Hal ini penting mengingat jumlah Auditor Halal masih terbatas, apalagi Auditor Halal yang memiliki sertifikat kompetensi
c. Pada Pasal 86 perlu ditambahkan ayat yang mengatur tata cara pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil melalui Peraturan BPJPH.

Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kebingungan di kalangan pelaku usaha mikro dan kecil mengenai prosedur yang harus dilalui untuk bisa memenuhi persyaratan “pernyataan halal” tersebut.
d. BPJPH perlu menjembatani Lembaga LPH negara non-muslim yang menggunakan jalur B-to-B.