Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Program PEN, Sudahkah Menjadi Solusi Ditengah Pandemi ?

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Anis Byarwati Anggota Komisi XI DPR RI

 

Oleh : Dr. Anis Byarwati
(Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS)

Ketidaksiapan Indonesia menghadapi Pandemi Covid-19

Awal kasus Covid-19 merebak di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Tiongkok sejak Desember 2019 tercatat telah menginfeksi 571 orang dan menyebabkan 17 kematian, mengutip laman Channel Newsasia, Kamis (23/1/2020).

Sementara pada 30 Januari 2020, WHO menetapkan
wabah virus corona sebagai global health emergency. Pada saat itu, lebih dari 9.000
masyarakat global dari 18 negara telah terinfeksi virus ini. Kemudian 11 Februari 2020, WHO mengumumkan penyakit yang disebabkan oleh virus corona terbaru bernama Covid-19, artinya coronavirus disease 2019.

Kejadian yang sudah terprediksi banyak pihak bahwa Indonesia menjadi negara yang tidak
siap dengan pandemi Covid-19. Bahkan banyak statemen pejabat negara yang terkesan
meremehkan dengan melontarkan kata-kata yang seolah virus ini tidak akan masuk ke Indonesia.

Sementara itu di akhir Februari 2020, justru Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Wishnutama Kusubandio memproyeksi Indonesia bakal kedatangan tambahan wisatawan mancanegara sebesar 736 ribu orang dalam bulan Maret-Mei 2020.

Menurutnya, hal ini
seiring dengan insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk mendatangkan wisatawan
mancanegara sebesar Rp298 miliar di tengah penyebaran virus Covid-19.

Saat itu yang terpikir adalah mengapa di tengah penyebaran COVID-19 Indonesia masih membuka akses dari Luar Negeri, sementara penyebaran virus ini kian masif?

Pemerintah Indonesia sendiri baru mengumumkan dua WNI positif COVID-19 dimana
keduanya menjadi kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sementara itu, WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020.

Tanggal 31 Maret 2020 akhirnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19).

Pada Tanggal 11 Mei 2020, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 (PP 23/2020) tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Untuk Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Untuk Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).

Awalnya pada Mei 2020, anggaran alokasi untuk penanganan Covid-19 hanya sebesar Rp 405,1 triliun. Kemudiannya tiba-tiba angkanya naik menjadi Rp641,1 triliun. Lalu tak lama
berselang, anggaran ini naik lagi menjadi Rp677,2 triliun. Dan kemudian kenaikannya
membengkak menjadi Rp695,2 triliun.

Sejak anggaran ini diumumkan dan angkanya berubah-ubah bahkan ada yang dalam
hitungan hari tentu memunculkan persepsi bahwa pemerintah tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengelola anggaran negara.

PEN sudahkah menjadi solusi di tengah pandemi?

Sebagai bagian krusial dari penanganan Covid-19 pada kesehatan dan kondisi sosio-ekonomi masyarakat, penerbitan PP 23/2020 menjadi langkah awal pelaksanaan program PEN.

Peraturan ini yang merupakan turunan peraturan perundang-undangan mengenai penanganan Covid-19 ini secara umum mengatur mengenai mekanisme intervensi
pemerintah dalam pelaksanaan Program PEN.

Basis koordinasi dan komunikasi antara kementerian dan lembaga.

Ini menjadi salah satu faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya program PEN. Sinergi
antar kementerian dan lembaga terkait dalam rangka tercapainya program PEN sangat penting.

Harus ada basis yang kuat dalam koordinasi dan komunikasi antara Kementerian Keuangan dengan Kemenko Perekonomian, OJK, BI, dan LPS supaya program PEN menjadi
efektif dan tepat sasaran.

Kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) butuh dukungan bersama lintas
sektoral untuk bisa bertahan di tengah pandemi.

Sebagaimana tujuan dari Program PEN dalam PP 23/2020 yaitu untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

UMKM selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi nasional. Setidaknya terdapat lebih dari 64 juta unit UMKM yang berkontribusi 97 persen terhadap total tenaga kerja dan 60 persen PDB nasional.

Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk UMKM sebesar Rp123 triliun dan realisasi yang terserap hingga 26 Oktober 2020 mencapai Rp84,85 triliun atau
68,23% (Kementerian KUKM).

Penempatan dana pemerintah pada perbankan anggota
Himbara, bank pembangunan daerah, dan bank syariah yang telah didistribusikan Rp64,5
triliun.

Adapun subsidi bunga KUR, realisasinya baru mencapai Rp1,69 triliun atau 34,1% dari
total Rp4,96 triliun.

Sementata itu dana PEN yang belum ada realisasinya adalah penjaminan modal kerja yang, menurut hasil survei BPS, sangat dibutuhkan oleh UMKM. Untuk dana di luar KUR, realisasinya jauh lebih kecil, hanya terealisasi sekitar 7% dari Rp30 triliun.

Dari data debitur yang memperoleh bantuan dana PEN subsidi bunga (KUR dan non KUR) atau restrukturisasi kredit baru sekitar 27% (17 juta debitur) dari total UMKM yang tercatat 64 juta (2018).

Memperhatikan realisasi dana PEN, serapan tertinggi ada pada bank-bank Himbara.
Penyerapan dana PEN secara keseluruhan perlu pula memperhatikan rasio jumlah debitur UMKM yang terlayani dan target capaian angka pertumbuhan ekonomi di triwulan III dan IV untuk melihat apakah program yang disampaikan sudah tepat.

Pentingnya evaluasi terhadap
realisasi pencairan dan UMKM yang telah mendapat bantuan dana PEN, baik restrukturisasi
atau subsidi bunga terhadap sekitar 17 juta debitur.

Bagaimana kondisi setelah menerima bantuan dana PEN, apakah ada perbaikan atau justru sebaliknya dan bagaimana solusinya?

Untuk itu sangat penting adanya pendampingan terhadap UMKM yang menerima bantuan.
Pentingnya evaluasi sebaran sektor yang telah memperoleh bantuan dana PEN.

Jangan sampai hanya menumpuk pada sektor tertentu sehingga perbaikan sektor-sektor lainnya
belum terlihat.

Lambatnya penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi masalah di tengah Pandemi yang tak kunjung usai.

Data Kementerian Keuangan per 4 November 2020 menunjukkan bahwa realisasi anggaran penanganan Covid-19 dan PEN senilai Rp376,17 triliun atau 54,1 persen dari pagu anggaran
senilai Rp695,2 triliun.

Tren penyerapan anggaran PEN masih di bawah 60 persen karena belum optimalnya serapan beberapa program penanganan Covid-19.

Anggaran kesehatan
misalnya dari pagu senilai Rp97,26 triliun yang terserap hanya Rp32,15 triliun atau 33,1
persen. Angka ini dihitung dengan menambahkan alokasi untuk vaksin senilai Rp29,23 triliun.

Program lain yang penyerapannya di bawah 50 persen adalah sektoral dan pemda yang baru terserap Rp32,21 triliun atau 48,8 persen dari pagu senilai Rp65,97 triliun, insentif usaha yang masih sebesar 31,6 persen dari pagu senilai Rp38,13 triliun dan pembiayaan korporasi yang
terserap sebesar 3,2 persen atau Rp2 triliun dari pagu senilai Rp62,22 triliun.

Sementara itu, program penanganan Covid-19 dan PEN yang terserap lebih dari 60 persen diantaranya
program perlindungan sosial yaitu telah mencapai 75,6 persen dari pagu senilai Rp234,3 triliun dan dukungan UMKM 82,4 persen dari pagu senilai Rp114,81 triliun.

Serapan anggaran di bidang kesehatan sangat rendah, sementara penanganan Covid-
19 tidak bisa dipisahkan dengan proses Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Ada perbedaan mencolok yang terjadi dari serapan anggaran. Serapan di bidang kesehatan
yang baru Rp7,1 trilun dari total alokasi dana mencapai Rp87,55 triliun.

Sedangkan pada pos perlindungan sosial, serapannya telah mencapai Rp86,45 triliun dari Rp203,9 triliun.

Permasalahan dana PEN kesehatan yang berjalan lambat justru menimbulkan pertanyaan besar karena program “PEN ini muncul karena dampak dari adanya pandemi Covid-19”.

Seharusnya serapan dari pos kesehatan paling tinggi. Bagaimana evaluasi dari Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)?

Seharusnya hasil evaluasi
tersebut dapat dijadikan dasar untuk merevisi atau pun membuat aturan baru agar
penyerapan PEN berjalan cepat dan tepat sasaran.

Karena harus diketahui apa yang menghambat realisasi dan bagaimana solusinya. Sejak pengumuman pertama, angka pasien yang dinyatakan positif Covid-19 di Indonesia terus meningkat.

Dikutip dari worldometers,
hingga Jumat,18 Desember 2020, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai
643.508 kasus.

Dari angka tersebut, jumlah yang berhasil sembuh sebanyak 526,979 pasien, dan 19.390 di antaranya meninggal dunia.

Angka tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 20 dari seluruh negara di dunia yang terpapar sebaran Covid-19.

Posisi Indonesia juga masih rawan karena angka penularan per hari masih tinggi, yaitu di atas 5000 kasus per
hari. Dan angka kematian akibat Covid-19 juga masih berada pada kisaran 100 kematian.

Namun, angka yang besar tak berbanding lurus dengan penyerapan. Anggaran besar yang disiapkan oleh negara ternyata tak terserap maksimal nyaris di semua sektor. Serapan paling rendah justru terjadi pada sektor anggaran kesehatan.

Realisasi anggaran Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN), khususnya pada perlindungan sosial memang dinilai mampu
mendorong perbaikan ekonomi di kuartal III.

Tetapi pemerintah harus segera mengevaluasi sejumlah program perlindungan sosial yang digulirkan agar semakin efektif mendongkrak
perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat.

PEN “andalan” yang tidak maksimal di tengah pandemi

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan hingga 18 November 2020, PEN telah terealisasi sebesar Rp408,66 triliun atau 58,8 persen dari pagu sebesar Rp695,2 triliun. Atau tersisa Rp283,84 triliun.

Perinciannya, realisasi anggaran untuk program perlindungan sosial telah mencapai Rp193,07 triliun atau 82,4 persen dari pagu anggaran Rp234,33 triliun.

Realisasi anggaran untuk UMKM telah mencapai Rp96,61 triliun atau 84,1 persen dari pagu anggaran Rp114,81 triliun.

Sedangkan program untuk sektoral, kementerian atau lembaga (K/L), dan pemerintah daerah telah mencapai Rp35,33 triliun atau 53,6 persen dari pagu anggaran Rp65,97 triliun. Sementara itu serapan anggaran program kesehatan hingga 18 November 2020 baru mencapai Rp37,31 triliun atau sebesar 38,4 persen dari pagu anggaran sebesar Rp97,26 triliun.

Program insentif dunia usaha juga masih tercatat rendah, mencapai Rp44,29 triliun atau 36,7 persen dari pagu anggaran Rp120,6 triliun.

Realisasi anggaran untuk
pembiayaan korporasi masih sangat kecil, baru mencapai Rp2 triliun atau 3,2 persen dari
pagu anggaran Rp62,2 triliun.
Berdasarkan informasi terakhir dari Ketua Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) I Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (16/12) menyebutkan bahwa realisasi penggunaan anggaran PEN sampai 14 Desember 2020 baru Rp481,61 triliun, atau 69,3% dari alokasi anggaran sebesar Rp695,2 triliun.

Ini tentu saja menunjukkan ketidaksiapan konsep dan
design PEN apabila dibandingkan dengan anggaran yang berubah-ubah di awal program PEN.

Bagaimana Pemerintah memastikan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tetap relevan dan mengakomodir kebutuhan masyarakat sesuai kondisi ekonomi terkini?

Program PEN pada 2020 ini masih kurang efektif dalam mendorong konsumsi masyarakat yang tertekan, tercermin dari konsumsi makanan masih -0,69 persen pada kuartal III/2020.

Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) hingga saat ini masih belum berjalan secara
optimal. Dengan melihat realisasi anggaran program PEN yang masih rendah diperkirakan anggaran program PEN tidak akan terserap habis hingga akhir tahun 2020.

Program PEN pada 2020 masih kurang efektif dalam mendorong konsumsi masyarakat yang tertekan,
tercermin dari konsumsi makanan masih -0,69 persen pada kuartal III/2020.

Ini karena kebutuhan konsumsi masyarakat sebetulnya jauh lebih tinggi sehingga nilai bantuan tidak setara dengan kebutuhan disaat pandemi Covid-19 ini.

Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2020 tidak terserap habis.
Anggaran PEN diperkirakan tidak bisa terserap habis dan ini pastinya menjadi catatan penting ketika semua sangat berharap PEN akan bisa menyelesaikan masalah dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Apalagi melihat struktur anggaran program PEN tahun
2021 juga menjadi tidak tepat karena berkurang hampir separuh dari anggaran 2020, padahal untuk bantuan sosial dan UMKM tetap dibutuhkan dengan jumlah yang sama untuk menciptakan permintaan bagi perekonomian.

Desain PEN 2021 belum membuat sisi permintaan secara optimal karena ada penurunan yang cukup drastis untuk perlindungan
sosial dan UMKM, dimana kita tahu bahwa itu bisa menjadi penggerak ekonomi di 2021.

Munculnya dugaan kasus suap di tengah rendahnya serapan anggaran dan Pandemi
Covid-19 yang belum juga selesai.

Keniscayaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, justru ternodai.

Pandemi Covid-19 yang sudah memicu krisis daya tahan perekonomian dimana masyarakat sangat
membutuhkan peran negara ternodai dengan ditetapkannya Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara sebagai tersangka atas dugaan kasus suap bantuan sosial (bansos) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagaimana diketahui bahwa anggaran pemulihan nasional
(PEN) sebesar Rp695,2 triliun tersebar ke enam klaster yang salah satunya program
perlindungan sosial.

Program ini mendapat alokasi anggaran Rp204,9 triliun untuk tahun 2020. Sebagian dari anggaran tersebut, yaitu sebesar Rp127,2 triliun merupakan anggaran
Kementerian Sosial.

Keluhan masyarakat terkait penyaluran dana bantuan sosial (bansos).

KPK sudah menerima 118 keluhan terkait penyaluran dana bansos melalui aplikasi JAGA
yang ditujukan kepada 78 pemerintah daerah yang terdiri dari 7 pemerintah provinsi dan 71 pemerintah kabupaten/kota.

Mayoritas keluhan soal banyaknya mereka yang tidak menerima bantuan walau sudah mendaftar, termasuk kurangnya jumlah bantuan dana yang diterima dari yang seharusnya.

Keluhan lain yakni bantuan yang tidak dibagikan oleh aparat kepada penerima bantuan, penerima fiktif, memperoleh bantuan lebih dari satu, bantuan yang
berkualitas buruk, seharusnya menerima bantuan tetapi tidak menerima.

Akuntabilitas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ditengah besarnya
anggaran dan tuntutan kecepatan respon Pemerintah.

Penanganan pandemi Covid-19 dan PEN tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri terutama
menyangkut persoalan akuntabilitas dan pertanggungjawaban Keuangan.

Disinilah pentingnya sinergi dan kolaborasi antara pengawas internal dan pemeriksa eksternal. Tuntutan kecepatan respon pemerintah menjadi berisiko mempengaruhi aspek akuntabilitas.

Untuk menghindari adanya kebocoran uang negara, peran BPKP sebagai pengawas internal dan juga BPK menjadi sangat dominan.

Apalagi dengan adanya temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk penanganan Covid-19 yang telah menjerat Menteri Sosial.

Dugaan kasus suap di tengah kesulitan masyarakat akibat pandemi Covid-19 adalah hal yang sangat memalukan
dan tentu saja memancing reaksi keras publik.

Disinilah peran BPK untuk melakukan pemeriksaan secara berkala sebagai langkah pengawalan baik kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam penyelenggaraan program penanganan dampak
kesehatan, program-program bantuan sosial, maupun program pemulihan ekonomi.