Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Hari Konstitusi: Momentum Penegasan Arah Perjalanan Bangsa dan Negara

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Oleh: H. Ahmad Syaikhu

Sehari usai HUT Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia, ada hari bersejarah yang tak kalah pentingnya. Yakni, Hari Konstitusi 18 Agustus.

Bisa jadi, banyak di antara kita yang tak mengetahui hal ini. Padahal, posisinya sangat strategis bagi sebuah bangsa dan negara.

Tanggal 18 Agustus memang selalu diperingati sebagai Hari Konstitusi, mengingat pada sidang tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI)I telah menetapkan dua hal.

Pertama, mengangkat Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kedua, mengesahkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi negara.

Hari Konstitusi sendiri kali pertama dideklarasikan pada 18 Agustus 2008. Payung hukumnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Hari Konstitusi.

Konsideran menimbang huruf (a) Keppres tersebut menyebutkan pada 18 Agustus 1945 PPKI telah menetapkan UUD Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hari Konstitusi digagas oleh Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) periode 2004-2009. Sebagaiman dikutip dari berbagai sumber, kala itu yang menandatangani deklarasi perancangan 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi ialah Ketua MPR Hidayat Nur Wahid bersama Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita di Gedung MPR/DPR/DPD Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.

Saat itu Hidayat yang didampingi dua wakil ketua MPR, AM Fatwa dan Aksa Mahmud, sedangkan Ginandjar didampingi wakil ketua DPD Irman Gusman.

Dikatakan Hidayat, dirinya mengaku telah membicarakan secara infomal perancangan Hari Konstitusi tersebut dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta ketua DPR Agung Laksono

Dinamika Konstitusi

Dalam perjalanannya, bangsa dan negata kita telah mengalami empat konstitusi. Yakni UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara, dan UUD 1945 yang diamandemen. Namun ada satu hal istimewa yang tidak pernah berubah dari berbagai macam bentuk konstitusi yang pernah bangsa ini alami, yaitu Pembukaannya atau mukadimahnya.

Konstitusi boleh berubah sesuai dinamika politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Tapi pembukaan ‘haram’ diganggu gugat. Sebab didalamnya terkandung falsafah dan arah tujuan perjalanan bangsa serta ideologi negara.

Konstitusi dalam bentangan sejarah telah menjadi dokumen nasional yang berfungsi untuk menegaskan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia, Piagam Kelahiran bangsa Indonesia, cita-cita Indonesia merdeka, tujuan pembentukan pemerintah NKRI, dan Dasar Negara Pancasila.

Konstitusi, juga merupakan suatu dokumen hukum yang khas. Sebab, bukan hanya sebagai jenis norma khusus yang berdiri di puncak piramida normatif, akan tetapi di dalamnya termaktub komitmen dan orientasi bangsa Indonesia. Konstitusi juga dirancang untuk mengarahkan perilaku bangsa Indonesia dalam mengarungi kehidupan di masa yang akan datang.

Dan makna konstitusi bagi bangsa merupakan norma sistem politik dan hukum dalam pemerintahan yang biasanya berbentuk dokumen tertulis. Dalam suatu negara, konstitusi pastinya berisi aturan dan prinsip-prinsip entitas politik hukum.

Sehingga konstitusi ini dibentuk dengan bertujuan membatasi kekuasaan pengusaha agar tidak bertindak sewenang-wenang. Maka dengan adanya konstitusi tertulis, mereka ini harus tunduk dan patuh kepada aturan serta prinsip-prinsip dalam konstitusi yang berlaku.

Arah Perjalanan Bangsa dan Negara

Muncul pertanyaan besar, di saat usia bangsa dan negara kita sudah 75 tahun, apakah arah perjalanan kita sudah sesuai konstitusi?

Tentu saja akan lahir banyak perdebatan soal ini. Tergantung pada posisi mana kita berada. Namun, jika mau objektif menilai, dengan berkaca pada situasi politik, ekonomi dan sosial hari ini, maka kita harus mengakui masih adanya hal yang bertentangan dengan konstitusi.

1. Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2020. Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/ Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/atau Stabiltas Sistem Keuangan.

Kandungan UU tersebut kontroversial dan tidak sesuai konstitusi kita. Pertama, Pasal 12 ayat 2 menyatakan bahwa Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

Hal ini telah menghilangkan kewenangan serta peran DPR dan membuat APBN tidak diatur dalam Undang-Undang atau yang setara. UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23 ayat 1 telah menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun.

Kedua, Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ini bertentangan dengan prinsip supremasi hukum dan prinsip negara hukum yang berkeadilan. Padahal, perubahan pertama UUD tahun 1999 sampai perubahan keempat tahun 2002, menjamin tegaknya prinsip-prinsip supremasi hukum.

Ketiga, Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara dan meniadakan adanya peran BPK untuk menilai dan mengawasi.

2. RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).

Kata pembuat Omnibus Law, RUU ini dimaksudkan untuk memangkas birokrasi. Sehingga investasi bisa deras masuk ke Indonesia dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Isinya beraneka rupa. Tak cuma soal tenaga kerja. Dari dihapuskannya Amdal, sertifikasi halal yang bisa dilakukan oleh ormas Islam, pers, hingga presiden yang bisa mengganti UU dengan Peraturan Presiden (PP). Walau katanya ini cuma salah ketik.

Yang paling menghangat soal aturan ketenagakerjaan. Sangat merugikan buruh. Misalnya dimudahkannya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting seperti cuti haid dan melahirkan, jumlah pesangon yang diturunkan, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya yang bikin mereka rentan diputus kontrak begitu saja, sampai tidak leluasa untuk berserikat karena merasa harus terus menerus bekerja agar mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan.

Jika dicermati, kandungan RUU ini banyak yang tak sesuai dengan amanat konstitusi kita. Karena itu tak heran jika banyak pihak yang menolaknya.

3. RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP)

PKS sendiri sejak awal sudah sangat jelas. Menolak RUU HIP ini dengan alasan yang bersifat filosofis, ideologis, sejarah dan konsepsional serta urgensitas.

Sedikitnya ada dua hal penting yang mengindikasikan RUU ini bertentangan dengan konstitusi kita.

Pertama, TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Komunisme, Marxisme dan Lenisisme tidak dimasukan dalam pertimbangan.

Kedua, penguraian Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila tidak perlu diungkapkan kembali karena sudsh tuntas dibahas oleh para Founding Father kita.

Kita berharap, Hari Konstitusi bisa jadi momentum evaluasi. Sekaligus menegaskan arah perjalanan bangsa dan negara. Agar sesuai dengan rel konstitusi yang telah disepakati bersama.

Semoga Harapan Menjadi Kenyataan.