Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Penuhi Hak Anak, Lindungi Masa Depan Indonesia

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

 

Oleh Netty Prasetyani (Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang KESRA)

 

 

“Saya menjemput seorang pekerja anak di Batam berusia 14 tahun dan dalam keadaan hamil 5 bulan. Dan juga saya juga bertemu dengan anak berusia 12 tahun, pada hari pertama dilacurkan melayani 5 laki-laki hidung belang. Potret buram dari pekerja anak di Indonesia”

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), merilis jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah sebanyak 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah. Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332 jiwa.

TNP2K mengungkap anak Indonesia yang tidak bersekolah atau putus sekolah terkonsentrasi berada di Provinsi Jawa Barat (958,599 anak), Jawa Tengah (677,642 anak) dan Jawa Timur (609,131 anak). Jumlah putus sekolah ini sebagian besar diakibatkan oleh faktor kemiskinan, pernikahan dini dan disabilitas.

Aktivitas yang dilakukan anak putus sekolah tersebut sebagian besar adalah bekerja. Menjadi pekerja dianggap sebagai solusi yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan melanjutkan kehidupan keluarga. Terlepas hal itu adalah keinginan mereka, permintaan orang tua maupun keadaan yang memaksa mereka.

Jumlah Pekerja Anak
International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pekerja anak sebagai buruh anak yang tidak bersekolah dan pekerjaan tersebut merampas masa kecil, potensi dan martabat anak-anak, serta membahayakan perkembangan fisik, mental maupun sosial.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa pada tahun 2018 tercatat pekerja anak usia 5 – 17 tahun sebesar 981,9 ribu atau 2,65 persen dari total anak umur 5-17 tahun. Dari jumlah tersebut masih didominasi pekerja anak di Pedesaan (550.078 anak) dan perkotaan (431.832 anak).

Selain itu, kementrian PPA mencatat ada 5,6 juta anak yang bekerja. Dari 5,6 juta pekerja anak itu, hanya 52 persen atau separuhnya yang masih bersekolah. Separuh sisanya putus sekolah, atau bahkan belum pernah sekolah.

Fenomena atau Standar Kerja Pekerja anak
Selain itu jumlah pekerja anak yang masih banyak, fenomena lain yang menghantui pekerja anak antara lain anak-anak diharuskan bekerja dengan durasi yang panjang dan tidak wajar, tidak mendapatkan gaji yang layak, alat dan sektor kerja juga berat dan berbahaya, serta tidak adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja.

Pekerja anak tersebut bekerja dengan durasi kerja yang beragam mulai dari di bawah 20 jam per minggu bahkan sampai lebih dari 40 jam per minggunya. Sungguh beban kerja melebihi standar jam kerja orang dewasa sekalipun.

Selain itu, sektor kerja pekerja anak tersebar di berbagai sektor antara lain pertanian, perkebuanan dan perhutanan; industrsi pengolahan dan pabrik; dan sektor lainnya baik itu jasa, perdagangan, konstruksi dan lain-lain. Bahkan yang lebih memilukan lagi masih banyak anak yang bekerja dalam kondisi berbahaya, seperti membawa beban berat, terpapar kimia dan berhadapan dengan api dan gas.

Beratnya beban kerja yang dihadapi pekerja anak, tidak berbanding lurus dengan gaji yang layak. Kementerian PPPA tahun 2018 menuturkan, pekerja anak mendapat upah berkisar Rp684 ribu sampai Rp1,8 juta per bulan. Namun, banyak juga yang tidak mendapat bayaran.

Maraknya fenomena pekerja anak ini, membuat pemerintah menetapkan berbagai strategi untuk menghapuskan pekerja anak. Mulai dari penguatan kerja sama pemerintah pusat dan daerah, mengeluarkan kebijakan baru, pengaturan perusahaan, sampai pelibatan pengawasan masyarakat.

Dengan fenomena pekerja anak yang masih terjadi di lapangan, saya menilai pemerintah belum memprioritaskan dan menunjukan political will yang baik terhadap upaya pengentasan pekerja anak di Indonesia. Hal ini ditandai dengan kurangnya realisasi program pencegahan terhadap potensi lahirnya pekerja anak baru. Mengingat jumlah usia di bawah 17 tahun cukup besar dari demografis penduduk Indonesia. Terang saja, diantara factor penyebab lahirnya pekerja anak adalah kemiskinan dan akses pendidikan.

Sebagaimana kita ketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kisaran 5 persen. Kondisi ini menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit, daya beli berkurang, pekerjaan semakin sulit didapatkan sehingga timbul pengangguran. Pada aspek pendidikan, DPR sudah mengamanatkan pada pemerintah melalui undang-undang dasar (UUD) untuk menyediakan 20 persen dari APBN nya khusus untuk sector pendidikan. Baik itu penyediaan akses pendidikan, perlengkapan pendidikan bahkan ketersediaan layanan pendidikan di seluruh penjuru Indonesia sampai wilayah terluar, terjauh dan terdepan.

Selain itu, upaya pengawasan dan penindakan juga menunjukan kurang sinergis antar intitusi terkait. Tercatat dari rilis kemnaker, bahwa 11 institusi yang harus bersinergi meminimalisir pekerja anak, seperti kemnaker, kemendikbud, pemprov dan pemkot, bahkan asosiasi pengusaha dan serikat buruh. Faktanya, pada tahun 2015 – 2017 BPS dalam statistic criminal (2018) melaporkan rata-rata pertumbuhan tahunan tindak criminal berupa kejahatan mempekerjakan anak di bawah umur tumbuh sebesar 14,34 persen. Hal ini menandakan masih kurangnya koordinasi dari instansi terkait.

Padahal, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberi kelonggaran dan mengamanatkan pada pengusaha bahwa anak bisa dipekerjakan apabila sudah berumur 13 hingga 15 tahun. Namun, itu pun perlu syarat pekerjaannya ringan dan tidak mengganggu perkembangan mental serta kesehatan fisiknya. Serta pengusaha harus mendapat izin dari orang tua dari pekerja anak, serta harus ada perjanjian kerja yang jelas.

Jika kita meyakini bahwa Indonesia sedang dan akan menuai bonus demografi di tahun 2025-2030, maka ada anak-anak kita hari ini di sana. Anak-anak yang harus dipenuhi dan dijamin hak-hak dasarnya oleh negara. Hak untuk mendapatkan gizi yang cukup, hidup yang layak, bahkan pendidikan dan kesehatan yang dapat diakses.

Saat hak-hak itu terpenuhi, pemerintah sudah melakukan amanat negara dan kesepakatan dunia. Anak dapat melalui dan menikmati masa kecilnya untuk bermain, belajar dan bersekolah, sampai bercengkrama dengan teman dan keluarga. Sejatinya, dengan pemerintah memenuhi hak anak, pemerintah telah melindungi masa depan Indonesia.