Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Otokritik DPR

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Ketua Fraksi PKS DPR RI Dr. Jazuli Juwaini (Fpto: Gilang/ Humas Fraksi PKS DPR RI)

Oleh: Dr. Jazuli Juwaini, MA

Ketua Fraksi PKS DPR RI

 

Mungkin tidak banyak yang menyadari jika kita mempunyai satu hari yang diperingati sebagai hari parlemen Indonesia yakni jatuh setiap tanggal 16 Oktober. Bagaimana cara terbaik kita memaknai hari parlemen—sebagaimana hari-hari bersejarah lainnya—selain melakukan refleksi guna perbaikan di masa depan. Terlebih, parlemen kita mengalami perubahan dan pengembangan format dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia. Dinamika peran parlemen juga mengalami naik turun berkelindan dengan perubahan langgam sistem politik serta relasinya dengan cabang kekuasaan lain. Jika ada satu hal yang tidak berubah adalah harapan publik agar parlemen dapat lebih aspiratif dan representatif dalam mewakili kepentingan rakyat, apalagi kita telah bersepakat untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem politik dalam berbangsa dan bernegara.

Pasca amandemen UUD 1945 sejatinya kedudukan parlemen (baca: DPR) semakin kuat, ia tegas disebutkan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sebelumnya berada di tangan Presiden. Perubahan mandat ini menegaskan prinsip “trias politika” yang memisahkan tiga kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Amandemen UUD juga menegaskan satu prinsip dasar berdemokrasi, yang dalam langgam sebelum reformasi tidak berjalan alias mandul, yaitu prinsip checks and balances. Inilah prinsip yang lazim berlaku dalam negara demokratis di dunia yang pada intinya menghendaki bukan hanya pemisahan kekuasaan tapi juga bagaimana antarcabang kekuasaan dapat memainkan peran optimal sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuasaan lain agar tidak terjadi abuse of power. DPR yang dilengkapi dengan tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan diharapkan menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang yang efektif bagi kekuasaan eksekutif (presiden) sejalan dengan aspirasi rakyat (fungsi representasi).

Refleksi Tiga Fungsi

Dalam konteks perjalanan DPR pasca reformasi, khususnya DPR periode 2014-2019 ini, kita dapat melakukan refleksi pada tiga fungsi utama plus sejauh mana DPR mampu menjalankan peran representasinya sebagai wakil rakyat.

Dalam aspek legislasi, kita mengkin masih ingat statemen Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa DPR telalu banyak membuat undang-undang. Kata Presiden waktu itu, DPR tidak perlu membuat banyak undang-undang, cukup beberapa undang-undang saja yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat. Pernyataan Presiden ini sempat menghangat dan menimbulkan respon kritis baik dari kalangan dewan maupun publik. Sebagian respon kritis mengingatkan Presiden bahwa banyaknya undang-undang sejatinya tidak terlepas dari andil pemerintah yang (juga) mengusulkan banyak undang-undang. Oleh karena itu, kritik Presiden harusnya dimulai dari lingkungan kementeriannya sendiri.

Di sisi lain, tidak sederhana untuk menentukan mana rancangan undang-undang yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat, ini yang menyebabkan daftar RUU dalam prolegnas relatif banyak. Pemerintah sendiri misalnya, begitu aktif mendorong sejumlah RUU beberapa waktu ini, padahal mengkin saja menurut sebagian pihak usul tersebut tidak benar-benar dibutuhkan (penting dan mendesak). Bahwa ada kebutuhan untuk merasionalisasi jumlah RUU dalam prolegnas dengan parameter yang semakin objektif hal itu memang menjadi catatan kritis bagi DPR, termasuk upaya untuk mengefektifkan mekanisme pembentukan undang-undang sehingga capaian prolegnas semakin meningkat.

Dalam aspek anggaran, kita juga mungkin tidak lupa dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indriawati tidak berapa lama setelah dilantik menggantikan Menkeu sebelumnya. Sri Mulyani mengatakan anggaran negara selama dua tahun berjalan tidak kredibel. Pernyataan ini sejatinya merupakan otokritik bagi pemerintah khususnya menteri keuangan sebelumnya karena proposal anggaran datang dari pemerintah. Namun dalam perspektif lain, tak pelak pernyataan menteri keuangan ini juga menyasar DPR karena pembahasan RAPBN dilakukan bersama sebelum disetujui oleh DPR. Artinya DPR dituntut untuk semakin cermat dalam proses pembahasan dan persetujuan RAPBN sehingga benar-benar kredibel meskipun dengan logika penyusunan RAPBN porsi terbesar akuntabilitas anggaran sesungguhnya ada pada pemerintah. Sementara peran DPR sesungguhnya lebih dominan pada aspek politik anggaran. Di sinilah DPR dituntut untuk semakin efektif mendesakkan dan memperjuangkan politik anggaran yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.

Sementara itu dari aspek pengawasan, aktualiasi pengawasan DPR banyak ditentukan pada sejauh mana DPR secara efektif melaksanakan prinsip checks and balances terhadap eksekutif. Sayangnya peran pengawasan ini sangat dipengaruhi dinamika relasi kekuasaan antara DPR dan Presiden khususnya terkait pola koalisi dan oposisi partai politik di DPR. Semakin kuat kekuatan oposisi semakin kuat checks and balances yang ditunjukkan DPR, sebaliknya semakin kecil kekuatan opisisi (semakin banyak partai yang masuk koalisi pemerintah) maka kencenderungan checks and balances DPR melemah. Inilah gambaran DPR 2014-2019 pada satu tahun pertama pasca Pilpres yang terlihat ‘garang’ dalam menggunakan hak-hak lembaga, namun kemudian berubah signifikan pada tahun kedua seiring masuknya sejumlah partai politik ke dalam koalisi pemerintah. Fenomena ini normal dan wajar saja mengingat DPR adalah lembaga politik, namun hendaknya seluruh fraksi dan anggota DPR tetap mengedepankan objektifitas apalagi jika terkait dengan kepentingan rakyat banyak.

Tidak kalah penting untuk direfleksikan adalah peran representasi DPR. Peran ini sesungguhnya termanifestasikan dalam pelaksanaan fungsi utama di atas, namun secara spesifik biasanya hal ini ditunjukkan dengan kemampuan/kapasitas DPR dalam menyerap, menerima, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan rakyat. Dalam konteks ini, penilaian umum yang berkembang DPR dipersepsi belum benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat khususnya dalam sejumlah isu publik yang berdampak luas. Penulis pribadi memahami bisa jadi persepsi ini muncul karena belum tersedianya mekanisme yang efektif dalam menerima dan menyalurkan aspirasi atau belum tersosialisasinya peran dan kewenangan DPR yang tidak serta merta dapat menyelesaikan semua masalah. Persepsi belum optimalnya representasi DPR ini diperparah dengan citra DPR yang cenderung konstan negatif di mata publik—yang sejatinya jika diteliti lebih dalam hal ini lebih disebabkan oleh perilaku ‘oknum anggota’ yang menciderai etika pubik dan kasus-kasus korupsi yang mencuat.

Resolusi

Dengan seluruh catatan refleksi di atas, DPR harus secara jujur dan terbuka mengakui kekurangan dan kelemahannya kepada publik serta berkomitmen untuk memperbaiki diri. Proses perbaikan sebenarnya sudah dilakukan sejak periode pertama pasca amandemen UUD 1945 dengan kebijakan DPR membentuk Tim Kajian Peningkatan Kinerja (2006) dan Tim Peningkatan Kinerja (2007), lalu dilanjutkan dengan dibentuknya Rencana Strategis DPR 2010-2014 dan Rencana Strategis DPR 2015-2019, bahkan DPR secara khusus membentuk Tim Implementasi Reformasi DPR pada periode saat ini. Dengan seluruh upaya tersebut sesungguhnya sudah dihasilkan berbagai rekomendasi dan solusi bagi peningkatan kinerja DPR, tapi seperti disadari proses perubahan memang tidak semudah membalik telapak tangan. Terdapat banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi termasuk faktor/variabel eksternal seperti relasi politik dan kekuasaan, desain sistem pemilu, desain sistem politik ketatanegaraan, dan lain sebagainya.

Secara internal DPR harus terus berusaha memperbaiki diri, mengintrodusir desain dan konsep parlemen modern, menginternalisasikan visi perubahan, memperkenalkan cara dan peralatan baru, memperkuat komitmen, dan memperbaiki berbagai prosedur dan mekanisme pelaksanaan fungsi meskipun diakui masih ada kekurangan di sana-sini menyangkut komitmen dan kualitas sumber daya manusia, baik anggota maupun sistem pendukung. Oleh karena itu, prioritas resolusi perbaikan ke depan hendaknya DPR meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. SDM anggota melalui perbaikan rekrutmen politik di internal partai politik dan proses pemilu yang semakin menekankan kualitas serta penegakan kepatuhan etik yang semakin efektif. Demikian halnya dengan SDM pendukung, DPR ke depan harus semakin otonom dalam manejemen SDM/kepegawaian, pembentukan badan-badan keahlian seperti law center dan budget house yang diharapkan memberikan dukungan bahan/materi kebijakan yang semakin kuat dan berkualitas dalam men-challenge proposal kebijakan/anggaran pemerintah.

Lebih dari itu, hendaknya DPR tetap menjaga marwah-nya sebagai cabang kekuasaan negara yang mengontrol dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya betapapun terjadi kontestasi politik koalisi vs oposisi di pemerintahan. Sikap-sikap DPR vis-à-vis Pemerintah harus berpijak pada rasionalitas dan objektivitas atas nama kepentingan rakyat bukan kepentingan parsial kelompok koalisi maupun oposisi. Harus ada demarkasi yang tegas yang membedakan mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan partisan jika memang harus berhadap-hadapan. Hanya dengan cara itulah DPR semakin berwibawa di mata rakyat dan memberikan kontribusi positif bagi proses konsolidasi demokrasi. ⁠⁠⁠⁠