Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Naskah Lengkap Pandangan Fraksi PKS terhadap RUU Pertangungjawaban Pelaksanaan APBN 2015

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam membacakan pandangan Fraksi PKS terhadap keterangan pemerintah mengenai RUU Tentang Pertanggung Jawaban Atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2015 dalam Rapat Paripurna DPR ke 33 Masa Persidangan V TS 2015-2016, Rabu (21/7).

PANDANGAN

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

 KETERANGAN PEMERINTAH MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG

 TENTANG

PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN

ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 2015

Disampaikan Oleh: H. Ecky Awal Mucharam

No. Anggota: A-100

Dibacakan Pada Sidang Paripurna DPR RI

Jakarta, 20 Juli 2016

 

 

 

PANDANGAN

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

 KETERANGAN PEMERINTAH MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG

 TENTANG

PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN

ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 2015

Disampaikan Oleh: H. Ecky Awal Mucharam

No. Anggota: A-100

 

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

 

Pimpinan dan Anggota DPR RI, Saudara Menteri beserta jajaran, serta hadirin yang kami hormati.

Dalam menyikapi Keterangan Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pertangungjawaban Atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2015, yang telah disampaikan pemerintah kepada DPR pada Rapat Paripurna DPR-RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memandang perlu memberi beberapa catatan penting.

Secara umum, Fraksi PKS memandang bahwa kinerja Pemerintah dalam pelaksanaan APBN 2015 kurang memuaskan, sehingga berdampak pada tidak optimalnya pembangunan ekonomi dan peningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 Ayat 1.

Selain itu, Fraksi PKS memandang bahwa kualitas akuntabilitas keuangan Negara juga mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP/qualified opinion) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2015 dengan peningkatan temuan permasalahan menjadi 6, sedangkan permasalahan LKPP tahun 2014 hanya 4. Selain itu opini atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) juga tidak mengalami perbaikan. Opini atas LKKL yang merupakan elemen utama LKPP, menunjukkan jumlah LKKL yang memperoleh opini “Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)” dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terus menurun menjadi 56 pada tahun 2015 (dari 65 pada tahun 2013 dan 62 pada tahun 2014). Selain itu jumlah LKKL yang mendapat opini “Tidak Menyatakan Pendapat (TMP)” atau “Disclaimer” mecapai 4 KL. Fraksi PKS mendesak pemerintah untuk terus meningkatkan penyajian 29 LKKL yang belum memperoleh opini “Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)”.

 

Fraksi PKS memberikan catatan secara lebih khusus sebagai berikut:

  1. Fraksi PKS memberikan catatan khusus terkait Realisasi Belanja Negara hanya mencapai 91,05 persen dari pagu APBNP tahun 2015 atau sebesar Rp1.806,5 triliun, menurun dari Realisasi tahun 2014 yang mencapai 94,69 persen. Realisasi belanja modal pada tahun 2015 hanya sebesar Rp 215 triliun atau 78,12 persen dibanding pagu APBNP 2015, secara persentase realisasi jauh menurun jika dibandingkan dengan realisasi belanja modal tahun 2014 yang mencapai Rp147,35 triliun atau 91,4 persen. Realisasi belanja Negara dan belanja modal yang kurang optimal telah berdampak pada rendahnya kualitas infrastruktur nasional, menghambat pembangunan serta pencapaian pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang menurun ke angka 4,8 persen, dari pertumbuhan 5,3 persen tahun 2014, angka ini jauh dari target pertumbuhan dalam APBN-P 2015 yang sebesar 5,5 persen. Tidak tercapainya target tersebut secara umum juga disebabkan karena Pemerintah belum optimal dalam memanfaatkan besarnya potensi ekonomi nasional, selain memacu laju pembangunan melalui optimalisasi belanja negara. Fraksi PKS berpandangan pemerintah perlu mengambil terobosan agar belanja pemerintah, khususnya belanja modal mampu menjadi stimulus pertumbuhan dan pembangunan. Untuk itu pemerintah perlu memperbaiki eksekusi belanja modal, dan terus menjaga serta mengoptimalkan investasi sebagai sumber pertumbuhan penting.
  2. Fraksi PKS prihatin dengan penurunan kualitas pertumbuhan sehingga menyebabkan kesenjangan ekonomi masih sangat tinggi. Data terakhir BPS (per Februari 2016) memang menunjukkan bahwa tingkat pengangguran berhasil diturunkan hingga 5,5 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama satu tahun lalu yang mencapai 5,81 persen, akan tetapi ada sejumlah hal yang perlu diwaspadai. Jumlah tenaga kerja penuh waktu (di atas 35 jam) justru menurun sebesar hampir 800 jiwa, sedangkan jumlah tenaga kerja paruh waktu (di bawah 35 jam) justru mengalami peningkatan sebesar 200 ribu jiwa dan pekerja setengah menganggur mengalami peningkatan hingga 410 ribu jiwa. Hal ini menjadi indikasi bahwa struktur tenaga kerja kita justru jauh dari ideal. Lapangan pekerjaan yang tercipta malah lebih banyak menyerap tenaga kerja paruh waktu.
  3. Melemahnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya kualitas pertumbuhan selama ini juga telah menyebabkan berkurangnya kesempatan untuk menurunkan angka kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan. Oleh karena itu, Fraksi PKS berpandangan pemerintahan perlu untuk lebih serius memperbaiki kinerja belanja pemerintah, meningkatkan daya saing dan investasi, membangun sektor pertanian, maritim dan industri nasional secara terintegrasi. Secara khusus pemerintah juga perlu meningkatkan realisasi belanja modal dan investasi terutama yang berkaitan dengan sektor pertanian, maritim dan industri manufaktur serta infrastruktur energi dan konektivitas, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas, meningkatkan ketahanan pangan, menciptakan lapangan kerja dan menurunkan tingkat kemiskinan.
  4. Fraksi PKS memberikan catatan atas pencapaian Lifting minyak sebesar 778 Ribu Barel/Hari dibawah dari target APBNP 2015 sebesar 825 Ribu Barel/Hari atau hanya sebesar 94,2 persen dari target serta di bawah realisasi lifting 2014 yang mencapai 794 ribu Barel/Hari. Pemerintah perlu mengatasi tren penurunan lifting minyak yang sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir dengan kebijakan hulu migas yang lebih komperhensif. Selain itu, pelemahan rupiah yang signfikan sehingga kurs rupiah berada pada Rp13.392,- per dollar jauh dari asumsi APBNP 2015 sebesar Rp12.500,- per dollar.
  5. Fraksi PKS juga memberikan catatan khusus atas tidak tercapainya target penerimaan perpajakan tahun 2015, yang hanya tercapai sebesar 83,2 persen atau setara dengan Rp1.240 triliun dari target APBN-P 2015. Hal ini lebih rendah dari pencapaian penerimaan perpajakan tahun 2014 yang mencapai 92,04, dan 2013 yang mencapai 93,81 persen serta tahun 2012 yang mencapai 94,4 persen. Hal ini harus menjadi pelajaran berharga, dimana optimalisasi penerimaan perpajakan masih membutuhkan langkah-langkah terobosan yang kuat. Untuk meningkatkan penerimaan perpajakan secara signifikan kedepan, Fraksi PKS memandang pemerintah harus bersungguh-sungguh menjalankan kebijakan-kebijakan baru yang direncanakan. Pemerintah perlu secara serius dan tegas dalam menggali sektor-sektor yang masih under-tax. Pemerintah perlu meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta menurunkan tingkat tax evasion. Pemerintah juga harus bersungguh-sungguh untuk mereduksi praktik transfer pricing khususnya oleh perusahaan asing. Fraksi PKS memandang reformasi Dirjen Pajak, sistem perpajakan dan pemenuhan kebutuhan SDM harus mendapat prioritas yang tinggi.
  6. Secara khusus, Fraksi PKS menyayangkan melesetnya target PNBP pada tahun 2015, dimana realisasinya hanya mencapai 95 persen dari target APBNP 2015. Hal ini melupakan langkah mundur mengingat pencapaian PNBP tahun 2014 yang mencapai 103,01 persen atau sebesar Rp398,59 triliun, lebih tinggi dari target dalam APBNP 2014. Fraksi PKS tetap memandang bahwa optimalisasi PNBP masih membutuhkan pembenahan yang serius terutama untuk meningkatkan efektifitas Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Selain itu, Pemerintah juga harus segera melakukan audit pada sektor mineral dan batubara agar meningkatkan akuntabilitas yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan PNBP secara keseluruhan.
  7. Fraksi PKS juga memberikan catatan khusus terkait Realisasi Belanja Negara hanya mencapai 90,5 persen dari pagu APBNP tahun 2015 atau sebesar Rp 1.797,58 triliun. Realisasi ini mengalami penurunan dibandingkan realisasi belanja negara 2014 dan 2013 yang berturut-turut sebesar 94,69 persen dan 95,62 persen. Pemerintah perlu dengan seksama membuat langkah-langkah kongkret untuk mengoptimalkan peran Belanja Negara sebagai stimulus pertumbuhan dan mendorong pembangunan serta kesejahteraan rakyat.
  8. Fraksi PKS juga mencermati dampak kekurang-optimalan dalam penerimaan Negara menyebabkan realisasi defisit yang semakin besar. Defisit anggaran tahun 2015 mencapai Rp 298 triliun atau sebesar 2,53 persen dari PDB, meningkat signifikan dibandingkan tahun 2014 yang sebesar Rp226,69 triliun dan tahun 2013 mencapai sebesar Rp 211,67 triliun. Seharusnya jika penerimaan Negara tercapai lebih baik, maka realisasi defisit dan realisasi pembiayaan atau utang Negara juga bisa ditekan lebih rendah.
  9. Fraksi PKS memberikan catatan penting atas temuan permasalahan yang menyebabkan BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKPP Tahun 2015, yaitu: (a) Ketidakpastian nilai Penyertaan Modal Negara (PMN) pada PT PLN (Persero) yang seharusnya disajikan dalam LKPP sehubungan dengan tidak diterapkannya Kebijakan Akuntansi ISAK 8 pada Laporan Keuangan PT PLN (Persero) Tahun 2015; (b) Pemerintah menetapkan Harga Jual Eceran Minyak Solar Bersubsidi lebih tinggi dari Harga Dasar termasuk Pajak dikurangi Subsidi Tetap sehingga membebani konsumen dan menguntungkan badan usaha sebesar Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana tersebut; (c) Piutang Bukan Pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan RI dan sebesar Rp33,94 miliar dan USD206.87 juta dari Iuran Tetap, Royalti, dan Penjualan Hasil Tambang (PHT) pada Kementerian ESDM tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar; (d) Persediaan pada Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun belum sepenuhnya didukung penatausahaan, pencatatan, konsolidasi dan rekonsiliasi Barang Milik Negara (BMN) yang memadai serta Persediaan untuk Diserahkan ke Masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya; (e)Pencatatan dan penyajian catatan dan fisik Saldo Anggaran Lebih (SAL) tidak akurat sehingga BPK tidak dapat meyakini kewajaran transaksi dan/atau saldo terkait SAL sebesar Rp6,60 triliun; (f) Koreksi langsung mengurangi ekuitas sebesar Rp96,53 triliun dan transaksi antar entitas sebesar Rp53,34 triliun, tidak dapat dijelaskan dan tidak didukung dokumen sumber yang memadai. Fraksi PKS memandang peningkatan temuan permasalahan atas LKPP Tahun 2015 menjadi 6 yang menyebabkan BPK memberikan opini WDP dibanding tahun sebelumnya, harus menjadi perhatian serius pemerintah (temuan permasalahan atas LKPP 2014 yaitu 4 dan LKPP Tahun 2013 yaitu 2). Berkaitan dengan berbagai temuan tersebut Fraksi PKS mendesak pemerintah agar bersungguh-sungguh melaksanakan rencana yang sudah disusun untuk melakukan perbaikan manajemen, sistem, prosedur dan mekanisme pelaporan hal-hal terkait.
  10. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk bersungguh-sungguh menindak-lanjuti temuan BPK, dimana Pemerintah menerapkan perlakuan yang tidak konsisten terkait kewajiban perpajakan PKP2B Generasi III, yaitu memperlakukan penyerahan batubara sebagai penyerahan BKP yang terutang PPN untuk beberapa PKP2B dan sebagai penyerahan non BKP untuk PKP2B yang lain sehingga tidak terutang PPN. Perbedaan tersebut disebabkan tidak adanya penegasan Pemerintah terhadap perlakuan penyerahan batubara oleh PKP2B Generasi III sebagai penyerahan BKP atau non BKP. Hal tersebut mengakibatkan ketidakpastian dalam penerapan basis regulasi pemberian restitusi atas PPN Masukan WP PKP2B Generasi III.
  11. Pemeriksaan BPK atas pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dan denda menunjukkan bahwa: (1) DJP belum menagih sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan sebesar Rp327,61 miliar; dan (2) DJP belum menagih sanksi administrasi berupa bunga atas pembayaran PPh, PPN, dan PPnBM yang melewati jatuh tempo sebesar Rp8,12 triliun. Penagihan atas sanksi administrasi baru bisa dilakukan setelah penerbitan STP. Sampai dengan pemeriksaan berakhir, DJP belum menerbitkan STP atas sanksi administrasi tersebut. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk bersungguh-sungguh menindak-lanjuti temuan BPK tersebut.
  12. Dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2010 s.d. 2014, BPK telah mengungkapkan penggunaan tarif pajak dalam perhitungan PPh Migas dan Bagi Hasil Migas yang tidak konsisten. Pemerintah belum melakukan amandemen atas Production Sharing Contract (PSC), sehingga dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015 BPK masih menemukan masalah yang sama. Selama Tahun 2015, terdapat pembayaran PPh Migas dengan tarif yang lebih rendah dari tarif PPh yang dipergunakan dalam menyusun PSC karena penggunaan tarif tax treaty. Oleh karena itu, Pemerintah kehilangan penerimaan Negara dari PPh Migas minimal sebesar USD66.37 juta ekuivalen Rp915,59 miliar. Hal ini disebabkan Pemerintah belum melakukan amandemen PSC terkait. Mengingat hal ini adalah temuan yang berulang, Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk bersungguh-sungguh melakukan amandemen PSC terhadap KKKS yang menggunakan tax treaty.
  13. Dalam temuan BPK, pemeriksaan atas piutang pajak dengan kualitas macet menunjukkan permasalahan piutang pajak yang belum dilakukan penagihan yang memadai yaitu: (1) piutang pajak yang belum daluwarsa sebesar Rp23,53 triliun namun belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai yang terdiri atas 5.450 ketetapan pajak sebesar Rp1,43 triliun belum dilakukan tindakan penagihan, 11.411 ketetapan pajak sebesar Rp11,50 triliun belum dilakukan tindakan penyitaaan, dan 12.167 ketetapan pajak sebesar Rp10,59 triliun telah disampaikan surat perintah melakukan penyitaaan, namun pelunasan piutang belum optimal; dan (2) piutang pajak telah daluwarsa sebesar Rp14,68 triliun belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai, diantaranya 62.668 ketetapan pajak sebesar Rp3,34 triliun telah daluwarsa penagihan pada Tahun 2015 tanpa tindakan penagihan seperti penerbitan Surat Paksa (SP). Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk bersungguh-sungguh menindaklanjuti temuan tersebut.
  14. Selanjutnya dalam temuan BPK, Mutasi lain-lain sebesar Rp1,27 triliun yang berasal dari Investasi Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMN Persero dan BUMN Perum dibawah Kementerian Keuangan masih belum dapat diyakini akurasinya yang berdampak pada nilai Dampak Perubahan Kebijakan pada pos lain-lain LPE, Pendapatan LO, dan Beban LO sebesar Rp1,27 triliun. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan terkait hal ini.
  15. Berikutnya, terdapat permasalahan pada pencatatan transaksi dan/atau saldo yang membentuk SAL sehingga penyajian catatan dan fisik SAL tersebut tidak akurat, yaitu: (1) pengendalian terhadap pencatatan saldo kas tidak memadai sehingga terdapat koreksi saldo awal SAL yang mempengaruhi validitas SAL tahun berjalan; (2) SAL LKBUN dan LKPP berbeda sebesar Rp1,71 miliar; (3) perhitungan catatan SAL tidak memadai sehingga saldo catatan SAL sebesar Rp2,51 triliun tidak dapat diyakini kewajaranya; (4) fisik SAL tahun 2015 sebesar Rp2,13 triliun tidak sepenuhnya akurat; (5) Penyesuaian Fisik SAL tahun 2015 sebesar Rp1,95 triliun tidak sepenuhnya akurat; dan (6) pemindahbukuan SAL dari Rekening KUN Rupiah ke Rekening Kas SAL di Tahun 2015 belum memperhitungkan SAL likuid yang berasal dari pemindahbukuan saldo Kas BLU ke rekening Kas Negara sebesar Rp3,17 triliun. Fraksi PKS mendorong Pemerintah untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh upaya pembenahan dan menjalankan langkah-langkah yang efektif untuk menindaklanjuti temuan yang berulang terkait dengan SAL.
  16. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang berulang terkait dengan PNBP: terkait PNBP yang terlambat disetor dan belum disetor ke Kas Negara, dan yang kurang/tidak dipungut; serta penggunaan langsung PNBP dan pungutan lainnya di luar mekanisme APBN serta permasalahan PNBP lainnya. Dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2014, BPK mengungkapkan adanya PNBP yang terlambat disetor dan belum disetor ke Kas Negara, dan yang kurang/tidak dipungut. Selain itu, pemeriksaan LKPP Tahun 2014 juga mengungkapkan adanya penggunaan langsung PNBP dan pungutan lainnya di luar mekanisme APBN serta permasalahan PNBP lainnya. Pemerintah belum selesai menindaklanjuti permasalahan tersebut sehingga dalam pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015 BPK masih menemukan masalah yang sama. Dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2015, BPK masih menemukan permasalahan pengelolaan PNBP sebesar minimal Rp436,20 miliar pada 26 KL, antara lain: (1) PNBP yang terlambat disetor sebesar Rp45,81 miliar yang terjadi pada 13 KL, telah dipungut dan belum disetor ke Kas Negara sebesar Rp23,7 miliar terjadi pada 7 KL; (2) PNBP yang kurang/belum/tidak dipungut sebesar Rp163,67 miliar terjadi pada 12 KL; (3) PNBP yang digunakan langsung sebesar Rp89,3 miliar pada 5 KL; (4) pungutan lainnya yang belum didukung dengan dasar hukum sebesar Rp88,78 miliar pada dua KL; dan (5) permasalahan PNBP Lainnya sebesar Rp24,84 miliar yang terjadi pada tiga KL. Selain itu, BPK juga menemukan adanya penatausahaan Piutang PNBP yang kurang memadai pada lima KL minimal sebesar Rp2,32 triliun dan USD206.87 juta, diantaranya (1) Piutang PNBP sebesar Rp1,82 triliun pada Kejaksaan RI tidak didukung dokumen sumber yang memadai karena hilangnya 51 berkas putusan piutang uang pengganti tindak pidana korupsi yang terdiri dari Seksi Pidana Khusus sebanyak 25 perkara senilai Rp12,60 miliar dan Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara sebanyak 26 perkara senilai Rp1,81 triliun; dan (2) nilai piutang bukan pajak dari Iuran Tetap, Royalti dan PHT pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebesar sebesar Rp33,94 miliar dan USD206.87 juta tidak didukung dengan rincian dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.
  17. Fraksi PKS juga mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan terkait Restitusi Pajak. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) kepada Wajib Pajak terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Restitusi akan diberikan setelah diminta oleh Wajib Pajak dengan dilakukan serangkaian prosedur atau pengujian sebelumnya. Salah satu prosedur yang ditempuh yaitu kompensasi dimana restitusi diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang Wajib Pajak yang diadministrasikan di KPP domisili dan/atau KPP lokasi. Berdasarkan hasil pengujian pada kompensasi utang Wajib Pajak melalui potongan SPMKP, diketahui terdapat permasalahan yaitu pengembalian kelebihan pembayaran pajak Tahun 2015 belum memperhitungkan utang Wajib Pajak domisili dan cabang sebesar Rp580,57 miliar.
  18. Pemeriksaan LKPP Tahun 2013 dan 2014 telah mengungkapkan ketidakpatuhan atas pengunaan anggaran Belanja Barang dan Belanja Modal. Pada Pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015, BPK masih menemukan permasalahan penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban Belanja Modal pada 54 KL sebesar Rp5,62 triliun dan Belanja Barang pada pada 63 KL sebesar Rp2,53 triliun tidak sesuai ketentuan. Selain itu, dalam Pemeriksaan LKPP 2006 s.d. 2014, BPK telah mengungkapkan kelemahan dalam penganggaran, penyaluran, dan pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial (Bansos). Pada pemeriksaan atas LKPP Tahun 2015, BPK masih menemukan permasalahan penyaluran dan pertanggungjawaban Belanja Bansos sebesar Rp5,46 triliun pada tujuh KL. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan terkait ketidakpatuhan atas pengunaan anggaran Belanja Barang, Belanja Modal, serta Belanja Bantuan Sosial (Bansos) tersebut.
  19. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan turunan akibat subsidi tetap untuk Solar. Sesuai dengan Perpres Nomor 191 Tahun 2014, JBT minyak solar diberikan subsidi tetap yang selanjutnya disetujui oleh DPR dan Pemerintah sebesar Rp1.000,00 per liter. Ketentuan lebih lanjut yaitu penetapan HJE Minyak Solar oleh Menteri ESDM ditetapkan dengan formula Harga Dasar ditambah PPN dan PBBKB dikurangi Rp1.000,00. Hasil pengujian menunjukkan bahwa HJE pada tahun 2015 lebih tinggi dari yang seharusnya. Permasalahan lain yang muncul atas subsidi tetap yaitu belum adanya kejelasan mengenai penyelesaian permasalahan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar Rp614,55 miliar yang menjadi hak Pemerintah Daerah atas Nilai Subsidi. Hal ini mengakibatkan masyarakat konsumen pengguna BBM Solar Bersubsidi tidak memperoleh harga jual yang tepat sesuai Harga Jual Eceran yang seharusnya, Badan Usaha memperoleh pendapatan melebihi dari yang seharusnya dari hasil transaksi penyaluran BBM Solar Bersubsidi sebesar Rp3,19 triliun dan Pemerintah Daerah tidak dapat segera mendapatkan haknya atas PBBKB tahun 2015 terhadap penjualan bahan bakar minyak tertentu di daerahnya. Pemerintah belum menetapkan status dana tersebut.
  20. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan serius terkait pinjaman kepada Lapindo Brantas Inc. (LBI) dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pada tahun 2015, Pemerintah memberikan pinjaman jangka panjang selama 4 tahun senilai Rp781,68 miliar yang merupakan Piutang Jangka Panjang Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kepada Lapindo Brantas Inc. (LBI) dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Dari nilai pinjaman tersebut sampai dengan 31 Desember 2015 telah dicairkan sebesar Rp773,38 miliar. Pinjaman diberikan dalam rangka pemberian dana antisipasi dari Pemerintah RI yang digunakan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan milik masyarakat/warga yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dalam Peta Area Terdampak (PAT) 22 Maret 2007. Pemberian dana antisipasi tersebut berdasarkan Perpres Nomor 76 Tahun 2015 tentang Pemberian Dana Antisipasi Untuk Melunasi Pembelian Tanah dan Bangunan Milik Masyarakat yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo Dalam PAT 22 Maret 2007 dan perikatan pemberian pinjaman berdasarkan Perjanjian antara Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah Republik Indonesia dengan LBI/MLJ. Hasil pemeriksaan BPK lebih lanjut atas pemberian pinjaman dan pelaporannya diketahui permasalahan sebagai berikut: (a) Jaminan Pinjaman yang diberikan oleh LBI/MLJ belum didukung dengan Surat Pelepasan Hak atas Tanah dan Bangunan serta belum dibebankan dengan hak tanggungan dan belum dilaksanakan dihadapan PPAT; (b) Jaminan senilai Rp2,79 triliun belum dilakukan appraisal dan aset lainnya milik LBI/MLJ belum dijadikan jaminan sesuai klausul perjanjian; (c) Nilai pinjaman dana antisipasi penanggulangan lumpur Sidoarjo dalam perjanjian tidak sama dengan realisasi pencairan pemberian dana; dan (d) Pemerintah belum melakukan rekonsiliasi dengan pihak LBI/MLJ atas realisasi dana pinjaman yang telah diberikan.
  21. Fraksi PKS mendesak Pemerintah untuk bersungguh-sungguh mengatasi permasalahan signifikan terkait 14 kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan 8 permasalahan signifikan terkait Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi temuan BPK. Fraksi PKS juga meminta Pemerintah untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan rekomendasi BPK, antara lain:
    • Membuat kajian dan menetapkan kebijakan akuntansi akrual atas transaksi terkait pengelolaan kegiatan usaha hulu migas dan panas bumi yang mencerminkan siklus operasional keuangan kegiatan hulu migas dan panas bumi meliputi pengakuan dan pelepasan aset serta pengakuan dan penyelesaian hak/pendapatan dan kewajiban/beban;
    • Menetapkan peraturan tentang penerapan Sistem Pengendalian Intern Penyusunan LKPP/LKKL/LKBUN dan petunjuk teknis pemantauannya;
    • Berkoordinasi dengan Menteri ESDM untuk membuat penegasan terkait perlakuan penyerahan batubara oleh PKP2B Generasi III;
    • Melakukan penelitian untuk menerbitkan STP atas sanksi administrasi berupa denda dan bunga sebesar Rp8,44 triliun;
    • Memfasilitasi Menteri ESDM dan Kepala SKK Migas dalam melakukan percepatan amandemen PSC terhadap KKKS yang menggunakan tax treaty untuk memberikan kepastian bagian negara dari pelaksanaan PSC;
    • Melakukan kajian dan analisis mengenai kondisi keuangan dan operasional PT PLN untuk mengidentifikasi alternatif-alternatif kebijakan pembiayaan PT PLN di masa yang akan datang dalam rangka menyusun kebijakan sebagai bentuk dukungan Pemerintah atas penugasan kepada PT PLN (Persero);
    • Melakukan penyempurnaan aplikasi Persediaan, SIMAK BMN dan SAIBA;
    • Segera melakukan pemantauan atas pemanfaatan dan dokumentasi Aset Tak Berwujud;
    • Melakukan penelusuran atas realisasi Penerimaan PBB yang belum diketahui atau salah NOP dan mengurangkan piutang sesuai dengan NOP dalam SIDJP;
    • Meneliti dan memproses piutang daluwarsa sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
    • Menyempurnakan kebijakan akuntansi untuk penyajian dan pengungkapan hak dan kewajiban Pemerintah yang timbul dari putusan hukum yang sudah inkracht;
    • Menelusuri dan merinci komponen lain-lain yang belum dapat dijelaskan sebesar Rp1,27 triliun;
    • Memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam aplikasi SPAN sehingga dapat digunakan secara efektif untuk menghasilkan Laporan Perubahan SAL yang akurat baik pada tingkat LKBUN maupun LKPP;
    • Memperbaiki sistem akuntansi dan sistem aplikasi terkait pencatatan, penyajian dan pengungkapan akun-akun dalam Laporan Perubahan Ekuitas;
    • Mempercepat proses pemantauan tindak lanjut atas PNBP yang belum diterima/belum dipungut;
    • Memerintahkan kepada Dirjen Pajak untuk membuat mekanisme konfirmasi yang terintegrasi untuk menjamin Pejabat yang memberikan persetujuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak telah memperhitungkan seluruh piutang kepada wajib pajak;
    • Meminta para menteri/kepala lembaga untuk menindaklanjuti penyelesaian kelebihan pembayaran/penyimpangan pelaksanaan belanja modal dan barang sesuai dengan peraturan yang berlaku;
    • Memerintahkan Pengguna Anggaran Belanja Bantuan Sosial untuk: (1) meningkatkan pengendalian internal atas pengelolaan Belanja Bantuan Sosial; (2) segera menyalurkan dana Belanja Bantuan Sosial yang masih mengendap pada rekening penyalur; (3) memastikan kelebihan dana Belanja Bantuan Sosial telah disetorkan ke Kas Negara; dan (4) menyusun mekanisme monitoring untuk memastikan dana Belanja Bantuan Sosial disalurkan dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan;
    • Pemerintah menetapkan status dana yang berasal dari kelebihan penjualan BBM Jenis Minyak Solar oleh Badan Usaha sebesar Rp3,19 triliun sebagai hak Pemerintah untuk selanjutnya diatur penyelesaiannya;
    • PT KAI segera menyusun laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik (public service obligation) Tahun 2015;
    • Melakukan penilaian atas jaminan yang telah diberikan dan apabila berdasarkan penilaian tersebut nilai jaminan di bawah nilai piutang maka Pemerintah segera meminta asset lainnya milik LBI/MLJ sebagai jaminan tambahan sesuai ketentuan yang berlaku; dan
    • Meminta APIP pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk mereviu kembali perhitungan kekayaan awal pada tujuh PTNBH.
  22. Terkait hasil pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK dalam LHP Tahun 2007-2014 menunjukkan dari 81 temuan dengan 218 rekomendasi, Pemerintah telah selesai menindaklanjuti sebanyak 61 rekomendasi dan belum menyelesaikan tindak lanjut sebanyak 157 rekomendasi, Fraksi PKS medesak pemerintah menyelesaikan proses tindak lanjut tersebut secara sungguh-sungguh.
  23. Fraksi PKS kembali mendesak agar Pemerintah segera mengupayakan LKPP Konsolidasi yang mampu mencakup seluruh Laporan Keuangan Pemerinta Daerah, sehingga LKPP mencerminkan sebagai satu kesatuan NKRI. Selain itu dalam rangka meningkatkan akuntabilitas publik, Fraksi PKS mendesak agar keterbatasan LKPP yang belum menyajikan laporan keuangan berdasarkan prinsip performance based budget harus menjadi perhatian penuh Pemerintah dalam rangka implementasi good governance. Anggaran berbasis kinerja diharapkan tidak hanya berada pada tahap perencanaan, namun dapat diimplementasikan dan tercermin dalam hasil LKPP secara keseluruhan.

Demikian pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI agar dapat menjadi perhatian dan dapat ditindaklanjuti dalam pembahasan selanjutnya. Atas perhatian dan kesabaran Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih.

 

Wabillahi taufiq wal hidayah

Wassalaamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

 

Jakarta, 15 Syawal 1437 H

         20 Juli 2016 M

 

PIMPINAN

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

 

 

 

H. Jazuli Juwaini, Lc., M.A.

A-117

Sekretaris,

 

 

 

H.  S u k a m t a, Ph. D.

A-113