Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pendapat Mini Fraksi PKS DPR RI Terhadap Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan, Ecky Awal Mucharam sedang membacakan Pandangan Mini Fraksi tentang RUU Pengampunan Pajak (Foto: Budiman/ Humas Fraksi PKS DPR RI)

PENDAPAT MINI

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PENGAMPUNAN PAJAK

 

 

   Disampaikan Oleh    : H. Ecky Awal Mucharam

  Anggota Nomor      : A – 100

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

Yang Kami Hormati,

Pimpinan dan Anggota Komisi XI DPR RI,

Menteri Keuangan RI,

Menteri Hukum dan HAM RI, beserta segenap jajaran,

serta Hadirin sekalian yang berbahagia.

 

 

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Dengan segala nikmat karunia-Nya sehingga kita dapat menghadiri rapat kerja dalam rangka Pendapat Fraksi-Fraksi terhadap hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Pengampunan Pajak.

 

Hadirin sekalian yang Kami Hormati,

Sejak awal Fraksi PKS konsisten berpandangan bahwa pajak merupakan perwujudan dari kewajiban konstitusi warga negara untuk berkontribusi dalam pembiayaan negara, pembangunan nasional dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 23A UUD 1945: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Mengacu pada Pancasila sila yang ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, Pajak sejatinya merupakan salah satu instrumen utama guna mewujudkan keadilan sosial melalui fungsi redistribusi pendapatan Negara. Semangat keadilan ini juga didasari oleh amanat konstitusi dalam Pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Proses pengajuan RUU Pengampunan Pajak berlangsung cukup singkat. Ada beberapa alasan yang mendasarinya yaitu: (i) RUU tentang Pengampunan Pajak pada awalnya tidak masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Namun, dalam perjalanannya berbagai pihak secara tiba-tiba mengajukan RUU tersebut dalam Proglegnas 2015-2019 dan masuk Prolegnas Prioritas 2016; (ii) Pemerintah telah menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Penegakan Hukum Pajak (TPHP) dimana wajib pajak tidak akan memperoleh pembebasan sanksi administrasi maupun fasilitas penghapusan sanksi administrasi bunga; (iii) RUU Pengampunan Pajak digulirkan hanya untuk mencapai sasaran jangka pendek, dengan alasan kebutuhan pemerintah untuk menambal tidak tercapaianya target penerimaan pajak 2016; (iv) pemerintah tidak memiliki persiapan matang dalam pelaksanaan RUU Pengampunan Pajak karena sistem perpajakan nasional yang masih belum kokoh.

Terjadinya shortfall penerimaan pajak tahun 2015 dan proyeksi shortfall tahun 2016, karena perencanaan pajak tahun 2015 yang tidak realistis. Pemerintah kemudian mengusulkan jalan pintas untuk menutup shortfall penerimaan pajak dengan mengajukan RUU Pengampunan Pajak. Pemerintah menargetkan hingga Rp165 triliun pada RAPBN-P 2016. Hal ini patut dipertanyakan karena kalkulasi berbagai pihak, target itu sulit dicapai. Menurut hitungan Bank Indonesia misalnya, potensi penerimaan dari penerimaan pajak hanya Rp 45,7 triliun, dengan sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi. Dengan demikian, harapan pendapatan dari kebijakan Pengampunan Pajak tidak akan mampu menutupi shortfall pajak.

Selain itu, berdasarkan fakta banyak studi telah menunjukkan bahwa kebijakan Pengampunan Pajak bukanlah kebijakan yang baik dan tepat.

Pertama, kebijakan Pengampunan Pajak mencederai rasa keadilan bagi para pembayar pajak patuh. Penerimaan pajak terbesar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang merupakan kontribusi dari seluruh lapisan rakyat Indonesia. PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dengan kata lain seluruh rakyat Indonesia telah berkontribusi membayar PPN, ketika mengkonsumsi setiap barang yang di dalam harganya terdapat PPN.

Unsur penerimaan pajak yang terbesar lainnya adalah Pajak Penghasilan (PPh 21) yaitu pajak penghasilan atas pendapatan tetap dari puluhan juta para buruh, para pegawai, para professional, dan orang-orang yang berpenghasilan tetap di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Sebagian besar rakyat Indonesia yang telah patuh membayar PPN dan PPh 21 tercederai rasa keadilannya dengan pemberian Pengampunan Pajak kepada para Wajib Pajak yang tidak melaporkan ribuan triliun hartanya, baik yang disimpan di luar maupun di dalam negeri. Mereka yang tidak melaporkan asset dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh telah menyalahi/melanggar UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Atau dengan kata lain, telah melakukan pengemplangan dan/atau penghindaran pajak.

Kedua, opportunity loss atau potensi pendapatan yang hilang akibat Pengampunan Pajak sangat besar yaitu 30 persen dari penghasilan kena pajak, denda sebesar 48 persen dari pokok pajak terhutang dan ancaman pidana bagi para pengemplang pajak. Ini tidak sebanding dengan menggantikan potensi penerimaan pajak berdasarkan UU perpajakan yang berlaku saat ini, dengan uang tebusan Pengampunan Pajak yang hanya 1-6 persen.

Ketiga, kebijakan Pengampunan Pajak yang berhasil justru jarang ditemui. Dari sekian banyak negara yang pernah melakukan Pengampunan Pajak, hanya 50 persen diantaranya diklaim berhasil. Klaim tersebut pun banyak dipertanyakan oleh sejumlah ahli, yang menyatakan bahwa klaim keberhasilan kebijakan pajak bersifat semu karena tidak memperhitungkan besarnya biaya dari kebijakan Pengampunan Pajak. Dalam jangka panjang Pengampunan Pajak akan merugikan negara karena berdampak negatif kepada pemasukan pajak dan menggerus ketaatan wajib pajak.

Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan data tax amnesty di Amerika Serikat, pada periode pelaksanaan Pengampunan Pajak, pendapatan pajak memang akan sedikit meningkat sebesar 4-5 persen, akan tetapi pada periode selanjutnya akan menurunkan kepatuhan pajak sebesar dua persen tiap periodenya. Menurut suatu kajian lembaga internasional tentang Pengampunan Pajak: keberhasilan Pengampunan Pajak merupakan anomaly sedangkan kegagalannya sesuatu yang normal (successful tax amnesty is like anomaly, not a norm). Dari sedikit negara yang kebijakan Pengampunan Pajaknya relatif berhasil, kuncinya justru terdapat pada penguatan kapasitas institusi perpajakan yang didahului perbaikan sistem perpajakan.

Keempat, Pengampunan Pajak tidak mungkin berhasil tanpa perbaikan administrasi pajak, penguatan institusi pajak, serta penegakan hukum.

Kelima, perkembangan keterbukaan informasi melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) di tahun 2018, secara otomatis akan mampu merepatriasi dana Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Sehingga pemerintah tidak perlu terburu-buru menerapkan kebijakan Pengampunan Pajak.

Sejak semula Fraksi PKS memandang bahwa pengajuan RUU Pengampunan Pajak seharusnya didahului dengan pelaksanaan reformasi perpajakan yang meliputi aspek pembenahan institusi, infrastruktur, dan regulasi. Fraksi PKS mengapresiasi langkah Pemerintah memasukan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pembahasan Revisi UU KUP sangat strategis dalam rangka memastikan keadilan dan memperkokoh efektifitas sistem perpajakan.

Semenjak awal, Fraksi PKS sudah mendesak dan meminta agar pembahasan RUU Pengampunan Pajak ditunda hingga setelah atau bersamaan dengan pembahasan RUU KUP. Revisi UU KUP dapat menjadi fondasi yang kokoh bagi reformasi perpajakan dan kebijakan-kebijakan terkait. Di mana berdasarkan best practices dari sejumlah negara sistem perpajakan yang baik merupakan prasyarat utama dalam keberhasilan kebijakan Pengampunan Pajak.

Fraksi PKS juga berpendapat, melalui Revisi UU KUP seharusnya dapat dilakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan terutama terkait dengan sistem administrasi, kelembagaan dan pengawasan perpajakan.

 

Hadirin sekalian yang Kami Hormati,

Fraksi PKS memandang masih terdapat banyak pasal krusial dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang jika tetap dipaksakan berakibat buruk bagi Negara.

  1. Terkait objek Pengampunan Pajak. Pasal 3 ayat 5 hasil pembahasan RUU menyebutkan bahwa Pengampunan Pajak meliputi PPh, PPN dan PPn BM. Praktik yang lazim dalam Pengampunan Pajak hanya mengampuni pajak penghasilan saja. Ini sesuai dengan konsep Pengampunan Pajak yang berbasis differensial asset, atau akumulasi penghasilan yang selama ini tidak dipajaki. Perluasan objek pajak kepada PPN dan PPn BM akan menggerus penghasilan Negara lebih jauh lagi. Fraksi PKS mengusulkan hanya terkait PPh saja, dan pokoknya tidak diampuni dan yang diampuni hanya sanksi administrasi dan pidananya saja.
  2. Fasilitas dan tarif tebusan dalam Pasal 4. Jika dibandingkan dengan tarif PPh yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yaitu sebesar maksimal 30 persen, ditambah sanksi administrasi 48 persen dari pokok, dan sanksi pidananya. Pemerintah menawarkan fasilitas pembebasan utang pokok pajak, sanksi administratif, dan sanksi pidana pajak. Semua itu cukup ditebus dengan tarif sangat rendah yang sangat memanjakan pengemplang pajak, sebesar 1-6 persen. Pemerintah mengobral tarif yang sangat rendah, karena tanpa didahului reformasi perpajakan, pemerintah hanya memiliki carrot tanpa stick.

Dengan obral tarif tebusan ini negara kehilangan potensi pemasukan yang sangat besar sekaligus mencederai rasa keadilan. Fraksi PKS memperjuangkan agar tarif yang dikenakan sesuai dengan ketentuan perpajakan, atau sebesar 30 persen. Total denda yang diusulkan oleh Pemerintah bahkan lebih rendah dibandingkan rata-rata suku bunga SBN. Hal tersebut tentu akan sangat menguntungkan para peserta Pengampunan Pajak, karena denda tersebut dapat terbayarkan dengan bunga SBN yang akan mereka terima.

Oleh karena itu demi mencegah kehilangan potensi pendapatan negara yang besar dan menegakan asas keadilan, fasilitas Pengampunan Pajak harus dibatasi kepada penghapusan sanksi administrasi dan sanksi pidananya saja. Peserta pengampunan pajak tetap membayar pokok pajak sesuai ketentuan PPh. Sementara untuk dana repatriasi bisa diberikan diskon sedikit lebih rendah dari itu.

Fraksi PKS berpendapat bahwa khusus untuk UMKM, tarif yang diusulkan pemerintah masih layak untuk diberikan. UMKM merupakan tulang punggung perekonomian nasional yang menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja nasional. Fraksi PKS memandang insentif perpajakan justru sangat relevan diberikan kepada UMKM. Selain dapat meningkatkan partisipasi UMKM dalam perpajakan dan pembangunan nasional, keringanan ini dapat membantu UMKM untuk terus berkembang.

  1. Terkait dengan harta deklarasi, Pasal 20 RUU Pengampunan Pajak mengatur bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pidana. Fraksi PKS berpandangan bahwa pasal ini rawan untuk disalahgunakan, dan memberikan ruang bagi pidana lain, seperti korupsi, narkoba, terorisme, human trafficiking dan pencucian uang untuk bersembunyi.

Melalui pasal ini, bisa saja pelaku pencucian uang atau korupsi, turut melaporkan harta hasil kejahatan mereka untuk mendapatkan Pengampunan Pajak. Apabila mengikuti aturan pada pasal 20 tersebut, jika nantinya ditemukan bukti bahwa dana tersebut merupakan hasil kejahatan non-perpajakan, maka dana tersebut tidak bisa dijadikan alat penuntutan pidana.

Fraksi PKS berpendapat bahwa pasal tersebut harus dikeluarkan dan diperkuat dalam pasal kerahasiaan data atau pasal tersebut harus menyebutkan secara langsung bahwa pasal hanya berlaku pada pidana perpajakan.

  1. Dana repatriasi harus benar-benar masuk ke sektor riil dan infrastruktur, yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja. Pasal 12 ayat 2 dan 3 mengatur terkait instrumen investasi yang dapat digunakan untuk menaruh dana hasil repatriasi. Khusus pada Ayat 3, RUU Pengampunan Pajak membuka ruang bagi Wajib Pajak untuk menaruh dana di instrumen keuangan lain (non-Pemerintah), seperti obligasi perusahaan swasta maupun investasi sektor riil lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

Fraksi PKS mendorong Pemerintah agar dana repatriasi tersebut jangan sampai menjadi hot money dalam bentuk investasi pasar uang yang bisa tiba-tiba keluar dan mengganggu stabilitas sistem keuangan. Atau pun menjadi sumber bubble keuangan karena spekulasi di sektor properti. Saat ini Bank Indonesia (BI) melakukan ekspansi moneter dengan menurunkan suku bunga acuan dan merelaksasi aturan kredit properti. Apabila dana repatriasi tidak diatur, ditambah dengan rezim suku bunga rendah BI, hal tersebut dikhawatirkan akan meniupkan bubble pada sektor properti. Saat ini saja indeks harga properti Indonesia sudah meningkat hingga 36 persen apabila dibandingkan tahun 2013. Harusnya hal tersebut sudah menjadi warning bagi Pemerintah, agar lebih berhati-hati dalam mengelola dana repatriasi ini.

Lebih lanjut, apabila dana ini ditampung melalui SBN, maka harus ada SBN khusus dengan imbal hasil yang tidak lebih tinggi dari tarif tebusan repatriasi. Repatriasi harus benar-benar ada masuk dari luar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke dalam NKRI dengan masa holding period harus lebih lama yaitu minimal lima (5) tahun.

 

  1. Batas waktu terakhir pengampunan pajak menjadi 31 Maret 2017 tidak sejalan dengan cut off APBN 2016 yaitu sampai 31 Desember 2016. Di dalam APBN-P 2016, pemerintah telah memasukkan target penerimaan dari Pengampunan Pajak sebesar Rp165 triliun. Perpanjangan waktu hingga 31 Maret 2017, semakin menambah ketidakpastian bahwa target penerimaan pajak dari Pengampunan Pajak akan tercapai.

 

 

 

Hadirin sekalian yang Kami Hormati,

 

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menyatakan Keberatan dan Belum Sependapat Terkait Pasal-Pasal Krusial Tersebut Di Atas, dan menyerahkan pengambilan keputusan selanjutnya dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Demikian Pandangan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini Kami sampaikan, atas perhatian Bapak dan Ibu, kami ucapkan terima kasih.

 

 

Wabillahi Taufiq Wal Hidayah

 

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Jakarta, 22 Ramadhan 1437 H

27 Juni 2016 M

 

 

 

PIMPINAN

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

 

 

 

 

H. Jazuli Juwaini, M.A.

A-117

Sekretaris,

 

 

 

 

H.  Sukamta, Ph. D.

A-113