Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Miris, Siswa Kelas 5 SD Cuci Darah Efek Kebiasaan Minum Teh Berpemanis

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (26/03) — Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Netty Prasetiyani mengaku prihatin dengan pola hidup masyarakat usia muda Indonesia yang gemar mengonsumsi makanan maupun minuman dengan pemanis tambahan tinggi.

Akibatnya, mereka berisiko mengidap penyakit tidak menular, salah satunya gagal ginjal.

Dalam rapat kerja Komisi IX DPR RI dengan Kementerian Kesehatan, Netty menyayangkan berbagai aplikasi yang menawarkan promo menggiurkan, seperti gratis minuman manis untuk setiap pembelian tertentu. Tidak hanya itu, ia juga mengkritisi sikap perusahaan makanan dan minuman yang seakan mendorong tingkat konsumsi gula tanpa memperhatikan risiko kesehatan yang berpotensi muncul.

“Saya baru saja mengalami keprihatinan. Salah satu anak TA (Tenaga Ahli) saya berusia 23 tahun harus cuci darah karena kebiasaan mengonsumsi makanan yang bisa dibeli secara online. Anak-anak kita itu paling senang kalau dapat promo bayar pakai aplikasi tertentu, nanti dapat minuman berpemanis,” ujar Netty di ruang rapat Komisi IX DPR RI, Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (25/3/2024).

“Rata-rata minumannya berpemanis dan itu diglorifikasi lewat berbagai iklan yang luar biasa dan seolah-olah itu tidak berdampak [terhadap kesehatan],” imbuhnya.

Netty mengaku juga menemukan siswa kelas lima SD asal Karawang, Jawa Barat, yang telah diwajibkan untuk menjalani prosedur cuci darah akibat kebiasaan mengonsumsi teh dengan kandungan gula tinggi.

“Pak menteri, ada anak kelas 5 SD sudah harus bolak-balik dari Karawang ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) untuk cuci darah,” ungkap Netty. “Kenapa? Ternyata kebiasaan mengonsumsi teh yang gulanya tinggi,” tegasnya.

Dalam tanggapannya, Netty menyayangkan Kemenkes RI yang berperan serupa dengan “pemadam kebakaran”. Ia turut menyoroti perkembangan industri makanan dan minuman yang tidak disertai dengan perhatian terhadap risiko kesehatan akibat pemanis tambahan.

“Padahal BPOM melakukan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) bahwa kita harus mengendalikan gula, lemak, dan garam. Namun, kenyataannya masyarakat tidak bisa seperti itu. Kemenkes ini seperti pemadam kebakaran,” ujar Netty.

“Industri makanan minumannya berkembang terus tanpa dibarengi dengan idealisme bagaimana mempertimbangkan penyakit-penyakit tidak menular yang berbiaya tinggi,” imbuhnya.

Berkaitan dengan perawatan akibat risiko penyakit, Netty juga menyoroti nasib masyarakat berpenghasilan rendah yang dibebani oleh biaya perawatan di rumah sakit yang mahal.

“Kalau satu kali cuci darah butuh biaya Rp800 ribu sampai Rp1 juta. Kalau kemudian harus delapan kali, [perlu biaya] Rp.8 juta,” beber Netty.

“Kalau kita kaitkan dengan upah minimum yang misal di Cirebon malah cuma Rp2 jutaan, enggak ada satupun yang sanggup,” lanjutnya.