Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pendapat Fraksi PKS DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

PENDAPAT FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN

============================================================

Disampaikan oleh : Ledia Hanifa Amaliah, S.Si., M.Psi.T

Nomor Anggota: A-427

 

Bismillahirrahmanirrahiim

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Salam Sejahtera untuk kita semua

 

Yang kami hormati:

Pimpinan dan Para Anggota DPR-RI

– Rekan-rekan wartawan serta hadirin yang kami muliakan

 

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita, sehingga kita dapat hadir dalam Rapat Badan Legislasi DPR RI hari ini dalam rangka pengambilan keputusan atas penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan.

Pimpinan dan Anggota DPR RI, serta hadirin yang kami hormati,

Sebagai salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi, pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya untuk menjamin akses kesehatan yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Indonesia sebagai negara berkembang masih dihadapkan pada masalah rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan belum mampu menjawab kompleksitas penyelenggaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang semakin tergantung pada teknologi kesehatan yang semakin mahal dan rumit. Sistem pelayanan kesehatan yang padat teknologi dan semakin mahal menuntut penanganan yang profesional yang diselenggarakan oleh institusi yang handal dan menuntut metode penyelenggaraan yang mampu bekerja efektif, efisien, dan sekaligus memuaskan.

Penyusunan RUU tentang Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus law mewajibkan harus dilakukan secara menyeluruh, teliti, dan melibatkan pemangku kepentingan terkait (meaningful participation) sehingga tidak ada pengaturan yang luput dan kontradiksi. Jangan sampai sebuah UU baru diundangkan sudah diuji ke MK atau tidak lama kemudian harus direvisi atau bahkan menimbulkan kontroversi dan polemik yang berlarut-larut, seperti UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penyusunan RUU tentang Kesehatan seharusnya mencakup seluruh perbaikan dalam sistem kesehatan di Indonesia, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pimpinan dan Anggota DPR RI, serta hadirin yang kami hormati,

Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan terkait dengan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan adalah sebagai berikut:

Pertama, Fraksi PKS berpendapat bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi salah satu hak dasar masyarakat yaitu mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Oleh karena itu, perbaikan layanan kesehatan yang berkualitas harus menjadi prioritas dalam penyusunan draft RUU Kesehatan ini sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, Fraksi PKS berpendapat bahwa penyusunan RUU Kesehatan yang dibahas dengan metode omnibus ini tidak boleh menyebabkan kekosongan pengaturan, kontradiksi pengaturan, dan juga harus memastikan partisipasi bermakna dalam penyusunan, mengingat banyaknya Undang-Undang yang akan terdampak dalam penyusunan RUU tentang Kesehatan ini.

Disamping itu, sebelum draft RUU Kesehatan ini diputuskan sebagai draft RUU inisitiaf DPR RI, sebaiknya harus dilakukan konfirmasi ulang kepada 26 pemangku kepentingan yang telah memberikan masukan dalam RDPU di Baleg DPR RI, apakah hasil penyusunan draft RUU Kesehatan ini sudah sesuai dengan berbagai masukan mereka.

Ketiga, Fraksi PKS berpendapat bahwa ada pengaturan dalam beberapa UU yang dihapuskan dalam draft RUU Kesehatan ini. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kekosongan hukum.

Antara lain:

  • Bab I Ketentuan Umum Pasal 1RUU Kesehatan. Hilangnya definisi Kekarantinaan Kesehatan / Karantina Kesehatan. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 terdapat penjelasan tentang istilah Badan Karantina Kesehatan Nasional, Dokumen Karantina Kesehatan, Petugas Karantina Kesehatan. Namun tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Karantina Kesehatan / Kekarantinaan Kesehatan. Definisi harus jelas agar urusan kekarantinaan kesehatan yang akan menjadi tanggung jawab Badan Karantina Kesehatan Nasional jelas dan tidak multi-tafsir. Definisi yang sebelumnya sudah ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan tidak bisa dipakai karena UU tersebut termasuk UU yang dicabut.
  • Bab I Ketentuan Umum Pasal 1RUU Kesehatan. Hilangnya  definisi dari Kompetensi, Uji komptensi, Sertifikat kompetensi, sertifikat profesi, standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional, sehingga mengakibatkan pengaturan hal-hal tersebut menjadi tidak jelas. Ketiadaan definisi membuat pengaturan yang dibuat menjadi tidak bisa dipakai karena menjadikan pelaksanaan aturan tidak memiliki batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dalam pengaturan tersebut. Selain itu, hilangnya definisi ini juga menunjukkan betapa pembuatan RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat buru-buru dan sembrono. Sebelumnya definisi kata-kata di atas diatur dalam UU Tenaga Kesehatan yang termasuk UU yang dicabut oleh RUU Kesehatan.

Contoh pengaturan

Paragraf 4
Standar Profesi, Standar Pelayanan, dan
Standar Prosedur Operasional

Pasal 301

  • Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalammenjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi standar profesi, standard pelayanan, dan standard prosedur operasional.
  • Standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)untuk masing-masing jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan disusun oleh Organisasi Profesi bersama Kolegium dan ditetapkan oleh konsil.
  • Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dibedakan menurut jenis dan strata Fasilitas Pelayanan
  • Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(5) Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

  • Muatan Ketentuan Peralihan UU Kebidanan (Pasal 71-77) memerlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan pengaturan tenaga kesehatan secara umum. Bidan secara historis memiliki perkembangan syarat tingkat kompetensi. Mulai dari awalnya bisa praktik dengan pendidikan diploma satu, lalu ditingkatkan menjadi diploma tiga, dan terakhir menjadi program profesi. Ketentuan Peralihan tersebut mengatur tentang peralihan jenjang pendidikan bidan dan konsekuensi yang menyertainya. Konsekuensi yang dimaksud memuat aturan tentang registrasi, perizinan, hingga batasan praktik. Hilangnya pengaturan tersebut membuat upaya untuk segera meningkatkan kualitas layanan kesehatan kebidanan melalui peningkatan kompetensi bidan menjadi kehilangan legitimasinya. Salah satunya bisa dilihat pada Pasal 76ayat (1): “Bidan lulusan pendidikan diploma tiga dan Bidan lulusan pendidikan diploma empat yang telah
    melaksanakan Praktik Kebidanan secara mandiri di Tempat Praktik Mandiri Bidan sebelum Undang-Undang ini diundangkan, dapat melaksanakan Praktik Kebidanan secara mandiri di Tempat praktik
    Mandiri Bidan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan”. Pengaturan ini masih sangat relevan karena UU Kebidanan tersebut diundangkan pada tahun 2019 sementara pembatasan yang diberikan adalah paling lama 7 (tujuh) tahun atau tahun 2026.
  • Hilangnya pengaturan tentang asisten tenaga kesehatan, yang sebelumnya diatur dalam UU Tenaga Kesehatan Pasal 8, yaitu

Tenaga di bidang kesehatan terdiri atas:

  1. Tenaga Kesehatan; dan
  2. Asisten Tenaga Kesehatan.

Dalam pengaturan tersebut asisten tenaga kesehatan memiliki kualifikasi minimun pendidikan menengah dibidang kesehatan. Ketiadaan pengaturan ini membuat banyak lulusan SMK Kesehatan di seluruh Indonesia tidak memiliki legitimasi dalam bekerja dibidang kesehatan.

  • Tidak adanya pengaturan tentang asas dan tujuan pendirian rumah sakit. Asas dan tujuan merupakan dasar filosofis penyelenggaraan RS.  Asas ini yang membedakan RS dengan Institusi lainnya. Ketiadaan asas dan tujuan menjadikan arah penyelenggaraan rumah sakit cenderung berpihak kepada pemilik modal yang akan menghilangkan pelayanan negara kepada rakyatnya. Asas dan Tujuan sebelumnya tercantum dalam UU Rumah Sakit pasal 2 dan 3.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

  1. mempermudah akses masyarakat untukmendapatkan pelayanan kesehatan;
  2. memberikan perlindungan terhadap keselamatanpasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
  3. meningkatkan mutu dan mempertahankan standarpelayanan rumah sakit; dan
  4. memberikan kepastian hukum kepada pasien,masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
  • Hilangnya pengaturan Pengaturan terkait TanggungJawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin pembiayaan rumah sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu. Klausul ini sangat diperlukan karena dalam kenyataannya masih cukup banyak masyarakat yang belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang sementara mereka tidak bisa masuk kategori PBI. Sebelumnya pengaturan tentang hal ini terdapat dalam UU Rumah Sakit pasal (6) huruf b, yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk:  b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak
    mampu sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;
  • Hilangnya pengaturan tentang penetapan tarif khusus kelas III rumah sakit. Ketiadaan pengaturan ini akan menimbulkan penetapan tarif yang cenderung mengikuti harga keekonomian sehingga sangat mungkin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Terlebih jika mereka belum memiliki penjamin apapun, atau kelompok rentan miskin yang tidak lagi mampu membiayai BPJS secara mandiri akibat pengobatan panjang sementara mereka tidak bisa masuk kategori PBI. Klausul ini sebelumnya terdapat dalam UU Rumah sakit pasal 50.

Pasal 50

  • Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang dikelola
    Pemerintah ditetapkan oleh Menteri.
  • Besaran tarif kelas III Rumah Sakit yang dikelola
    Pemerintah Daerah ditetapkan dengan Peraturan
  • Besaran tarif kelas III Rumah Sakit selain rumah
    sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
    (2) ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit dengan
    memperhatikan besaran tarif sebagaimana dimaksud
    pada ayat (2)

 

Keempat, Fraksi PKS berpendapat dimunculkannya Pasal 395 pada RUU Kesehatan yang berbunyi “Dalam hal pelaksanaan kegiatan penanggulangan Wabah mengakibatkan kerugian harta benda pada masyarakat, Pemerintah Pusat harus memberikan ganti rugi”, merupakan bentuk  pelepasan tanggung jawab negara terhadap rakyat dimasa sulit yaitu ketika wabah melanda. Dalam kondisi tersebut sangat mungkin rakyat akan kesulitan mengakses kebutuhan dasar, sehingga ganti rugi tidak akan menyelesaikan masalah rakyat saat itu. Frasa ganti rugi memungkinkan terjadinya penundaan atau pemenuhan kebutuhan yang tidak mencukupi, padahal saat itu penduduk yang kehilangan mata pencaharian tidak dapat membeli kebutuhan pokok. Selain itu, klausul tersebut juga beresiko multi-tafsir. Apakah kehilangan mata pencarian atau penurunan pendapatan keluarga termasuk dalam kerugian harta benda?. Jika ditafsirkan termasuk, maka negara akan menanggung beban yang berkali-kali lipat besarnya. Pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan (Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 58) yang berbunyi “Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat” lebih tepat dalam situasi tersebut.

Kelima; Fraksi PKS berpendapat bahwa penugasan pemerintah kepada BPJS yang merupakan badan hukum publik yang bersifat independen, maka harus disertai dengan kewajiban pemerintah dalam pendanaannya.

Keenam; Fraksi PKS berpendapat, sangat tidak layak memasukkan klausul Asuransi Kesehatan komersial  yang disandingkan dengan sistem jaminan sosial nasional. Asuransi komersial seharusnya memiliki aturan tersendiri yang tidak dihubungkan dengan sistem jaminan sosial nasional. Penyandingan antara sistem jaminan sosial nasional dengan asuransi komersial bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaannya. Bisa muncul tafsir bahwa asuransi kesehatan komersial merupakan subtitusi dari pelayanan yang tidak bisa diberikan oleh BPJS Kesehatan, sehingga peserta BPJS harus membayar asuransi komersial karena pelayanan BPJS yang seharusnya mereka dapatkan tidak bisa didapatkan dengan berbagai alasan. Padahal BPJS seharusnya bisa memenuhi keperluan dasar kesehatan dan standar pelayanan yang baik bagi pasien.

Pasal 422 ayat (1): “Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan dilakukan melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan/atau asuransi kesehatan komersial”,

Pasal 23 ayat (5): Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksudpada ayat (1) didanai oleh perseorangan penerima Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi komersial.

Pasal 24 ayat (3): Pelayanan Kesehatan rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai oleh perseorangan penerima Pelayanan Kesehatan atau melalui penjaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi komersial.

Pasal 422:

  • Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan dilakukanmelalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan/atau asuransi kesehatan komersial.
  • Program jaminan kesehatan nasional sebagaimanadimaksud pada ayat (1) bersifat wajib bagi seluruh
  • Asuransi kesehatan komersial sebagaimana dimaksudpada ayat (1) bersifat sukarela.
  • Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan melaluipenyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan koordinasi antar penyelenggara jaminan termasuk asuransi kesehatan komersial.

Ketujuh; Fraksi PKS berpendapat, terdapat beberapa konsepsi yang kurang tepat dalam RUU Kesehatan yang timbul dari keterburu-buruan dan kurang memperhatikan partisipasi masyarakat. Diantaranya ada pada:

  • Ketentuan umum RUU Kesehatan disebutkan bahwa “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi, dan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Definisi ini berbeda dengan yang terdapat dalam UU Tenaga Kesehatan, yang berbunyi  “Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Penting untuk memasukkan definisi memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, karena jika tidak maka semua profesi bisa dianggap sebagai nakes. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan standar atau uji kompetensi yang menjadi kelayakan atau persyaratan bagi nakes untuk melakukan praktik kesehatan. Ujungnya akan berpengaruh terhadap standar kualifikasi nakes. Seharusnya yang tenaga bukan dari pendidikan kesehatan dimasukkan dalam Sumber Daya Manusia Kesehatan (SMDK), yaitu seseorang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan.
  • Pasal 193 tentang Pengelompokan Tenaga Kesehatan, ayat
  • Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    huruf b dikelompokkan ke dalam: tenaga psikolog;

yang dijelaskan dalam ayat

  • Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompoktenaga psikolog sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
    huruf a terdiri atas psikolog umum, psikolog spesialis,
    dan psikolog subspesialis.

Ada permasalahan dengan pengelompokan ini. Secara keprofesian, Psikolog berarti Psikolog Umum yang berbeda dengan Psikolog Klinis. Psikolog Umum fokus untuk menangani orang yang sehat untuk meningkatkan potensi diri mereka secara maksimal. Sementara itu, Psikolog Klinis fokus untuk menangani orang-orang yang mengalami gangguan penyesuaian diri, keterlambatan perkembangan psikologis, dan gangguan kesehatan mental. Artinya yang bisa dimasukkan dalam kategori tenaga kesehatan seharusnya hanya tenaga psikologi klinis sesuai rumusan dalam UU Tenaga Kesehatan pasal 11 ayat (1) huruf b.

Kedelapan; Fraksi PKS berpendapat bahwa ada kerawanan dalam draft RUU Kesehatan pasal 236 mengenai tenaga medis dan tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi.

Kerawanan ini terkait dengan:

  • Tenaga medis dan tenaga kesehatan Indonesia yang sangat mungkin tersingkirkan atas nama investasi. Sangat dimungkinkan dengan dalih investasi, investor asing kemudian membawa serta tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berasal dari negaranya untuk bekerja pada rumah sakit atau laboratorium yang mereka dirikan.
  • Selain itu terdapat kerawanan dalam pemakaian kata investasi itu sendiri karena artinya ada orientasi bisnis berupa investasi dari luar negeri dalam bidang kesehatan.Terlebih jika menyangkut teknologi canggih terbaru, yang sangat mungkin menenggelamkan rumah sakit lokal terutama yang dibangun tanpa memiliki modal besar. Akan semakin terasa orientasi bisnis tersebut jika dibandingkan dengan pengaturan pada UU Tenaga Kesehatan Pasal 53
  • Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mendayagunakanTenaga Kesehatan warga negara asing sesuai dengan
  • Pendayagunaan Tenaga Kesehatan warga negara asingsebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
  1. alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
  2. ketersediaan Tenaga Kesehatan setempat.
  • Kerawanan lain dalam pasal ini terdapat dalam kata “permintaan dari pengguna”. Menjadi rawan karena tidak ada batasan siapa pengguna yang dimaksud. Pengguna bisa bermakna siapapun,baik perorangan maupun institusi, yang dapat mendatangkan tenaga asing. Juga tidak terdapat klausul persyaratan dan batasan bagi pengguna bisa meminta tenaga kerja asing.

Kesembilan; Fraksi PKS berpendapat bahwa di semua negara pengaturan tentang profesi kesehatan diatur dalam UU tersendiri. Oleh karena itu, seharusnya draft RUU Kesehatan ini tidak menghapus materi pengaturan profesi-profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.

Kesepuluh, Fraksi PKS berpendapat bahwa anggaran kesehatan harus dialokasikan secara memadai untuk memastikan bahwa negara memberi layanan kesehatan berkualitas yang aksesibel bagi masyarakat Indonesia.

Kesebelas; Fraksi PKS berpendapat, RUU berpotensi mengarahkan pengelolaan kesehatan rakyat Indonesia kepada mekanisme pasar yang cenderung menguntungkan pemilik modal.

  • Pengaturan tentang rumah sakit pendidikan yang membuka peluang besar (pasal 183) bagi rumah sakit untuk menghasilkan tenaga medis dan tenaga kesehatan sendiri pada akhirnya akan memperkuat industrialisasi dalam bidang kesehatan. Bagi rumah sakit besar, tidaklah sulit untuk memenuhi beberapa persyaratan yang diberikan, sehingga akan sangat dimungkinkan terjadi produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan secara besar-besaran untuk mendukung ekspansi dan investasi mereka.
  • Data dan informasi kesehatan rakyta Indonesia bisa diproses, dikelola, disimpan, (pasal 350 ayat (8) dan (9)) dan ditransfer ke luar negeri (pasal 353 ayat (6)) meskipun dengan syarat tertentu. Hal ini tentu sangat riskan jika dilihat dari sisi keamanan negara mengingat bioteknologi berkembang dengan sangat cepat. Selain itu data dan informasi tersebut juga berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan produsen obat-obatan dan alat kesehatan.

Pimpinan dan Anggota DPR RI, serta hadirin yang kami hormati,

Menimbang beberapa hal yang sudah kami paparkan di atas, kami  Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim menyatakan MENOLAK draft Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan untuk menjadi Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR RI.

Demikian pendapat Fraksi PKS ini kami sampaikan, sebagai ikhtiar dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara Indonesia. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk memberikan kerja terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia.

Atas perhatian Pimpinan dan Anggota DPR RI, serta hadirin semua kami ucapkan terima kasih.

Billahi taufiq wal hidayah, 

Wassalaamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 23 Rajab 1444 H

14 Februari 2023 M

 

Simak selengkapnya:

RUU KESEHATAN