Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Polisi dan Urgensi Bernegara

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Aboe Bakar Alhabsy (Anggota Komisi III DPR RI/ Sekjen DPP PKS)

KEBUTUHAN utama adanya negara karena kebutuhan akan keamanan dan ketertiban. Artinya, jika rusak kepercayaan warga terhadap fungsi keamanan dan ketertiban yang diberikan negara, maka yang paling dikhawatirkan adalah rusaknya alasan warga untuk terus bernegara.

Secara kodrat, setiap manusia dilahirkan dengan status naturalis. Setiap manusia bebas merdeka untuk melakukan aktivitas masing-masing sesuai keinginannya dan untuk mencapai obsesinya.

Akibatnya, setiap interaksi antarmanusia memiliki risiko persinggungan, bahkan konflik karena kebebasan atau kemerdekaan yang tanpa aturan berpotensi mengganggu kemerdekaan orang lain.

Oleh karena itu, konstruksi selanjutnya dari sejarah kemerdekaan manusia adalah kesadaran manusia untuk mengubah dirinya dari status merdeka sendiri-sendiri menjadi status warga (civilis).

Sebagai warga, kemerdekaan yang dimiliki setiap individu dikorbankan demi kehidupan bersama agar tercipta keamanan, tidak terjadi anarki.

Peralihan status merdeka menjadi status warga ini juga ditandai dengan penyerahan hak-hak manusia kepada sang primus inter pares yang merepresentasikan diri sebagai negara.

Dengan alasan sebagai penjaga keamanan dan ketertiban antarwarga serta melindungi warga terhadap ancaman dari luar, maka negara dibekali kekuasaan yang sah untuk melakukan kekerasan dan memonopoli alat-alat kekerasan (manager of violence).

Pada titik ini didapati urgensi bernegara yang awal adalah agar didapati rasa aman dan ketertiban antarwarga negara.

Untuk mendapatkannya, setiap individu rela mengorbankan kemerdekaan dan kebebasannya, bahkan dengan memberi kekuasaan kepada negara melakukan kekerasan dan penggunaan alat-alat kekerasan terhadap diri mereka sendiri.

Fungsi-fungsi negara sebagai pelindung ancaman dari luar apalagi sebagai pemberi kesejahteraan lahir belakangan dan memang fungsi-fungsi tersebut akan tercapai jika keamanan dan ketertiban internal sudah terjadi.

Kepolisian Republik Indonesia
Pengemban amanah pelaksana fungsi negara paling orisinil adalah institusi Kepolisian. Institusi ini diberi kekuasaan untuk melakukan kekerasan dan menggunakan alat-alat kekerasan demi keberhasilan tugasnya.

Secara konstitusional di Indonesia Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 memberikan jaminan terhadap institusi Kepolisian sebagai alat negara yang sah menggunakan kekerasan.

Lebih jauh Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 memberikan penegasan mengenai tugas Kepolisian sebagai “alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.

Di sinilah fenomena terhadap kekerasan dan penyimpangan hukum yang ditampakkan oleh petinggi Polisi benar-benar mengusik makna bernegara.

Persoalan yang tengah menerpa Polri tidak dapat diartikan semata-mata sebagai isu internal Polri.

Penggunaan kekerasaan dan senjata tajam untuk pembunuhan, judi online, narkotika, gas air mata dan berbagai perilaku anarki Polisi merupakan persoalan besar yang dihadapi oleh negara.

Hal ini dikarenakan Polisi merupakan simbol konstitutional dari rasa aman bagi warga negara. Ketika Polisi telah menggunakan kekerasan dengan sewenang-wenang, maka di sanalah kedaulatan warga negara dengan status civilisnya menjadi terancam.

Hak atas rasa aman

Di sinilah konsep perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian dari hak naturalis menjadi perlu untuk dipertahankan.

Polisi telah diberikan mandat sebagai satu-satunya entitas yang dapat berkeliaran membawa senjata dan kekerasan di lingkungan warga.

Polisi telah diberikan beragam keistimewaan oleh konstitusi dan perundangan untuk melakukan represi dengan imunitas.

Hak atas Rasa Aman ini yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Dalam pemenuhan hak ini, negara harus secara aktif dalam menjamin hak terhadap rasa aman, dengan memberikan perlindungan kepada warga negara.

Absennya negara dalam memberikan rasa aman merupakan pelanggaran HAM. Terlebih, anarkisme Polisi sebagai perwakilan negara yang mempertontonkan ancaman kekerasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok dapat dimaknai sebagai bentuk dari penyimpangan terhadap amanah konstitusi.

Amanah besar yang dimiliki institusi kepolisian dan kekuasaan besar yang dimilikinya terhadap kekerasan dan alat kekerasan seharusnya berimplikasi terhadap jelas dan tegasnya pembatasan serta kontrol terhadap berbagai aktivitasnya.

Apalagi pasca amandemen UUD 1945, polisi semakin mendapatkan posisi tinggi dan strategis. Maka pembatasan dan kontrol terhadap institusi ini harus semakin efektif.

Pembatasan dan kontrol ini secara konteks sosial juga menjadi sangat relevan, karena perubahan zaman yang semakin kompleks.

Perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat serta kemajuan teknologi informasi membuat semua proses pelayanan mau tidak mau menjadi sangat terbuka.

Semua peristiwa yang melibatkan Kepolisian dengan cepat akan menarik perhatian dan penilaian publik.

Sehingga tidak ada ruang bagi Polri untuk tidak transparan, karena publik sudah memiliki akses dan cara tersendiri dalam mengevaluasi Polri.

Fenomena mengagetkan terhadap berbagai penyimpangan yang dilakukan polisi memberikan sinyal kepada semua elemen bangsa bahwa pembatasan dan kontrol yang terjadi selama ini memiliki masalah dan bolong di banyak tempat.

Kita perlu mengapresiasi tindakan-tindakan tegas oleh kepala kepolisian yang berusaha tampil tegas terhadap para petinggi di sekelilingnya.

Hal demikian memang perlu segera ditunjukkan secara cepat dan tegas agar lunturnya kepercayaan masyarakat tidak terus menurun drastis.

Namun lebih dari itu, Polri juga harus menunjukkan bahwa dirinya membuka ruang untuk mendapat kontrol publik dan transparansi penindakan hukum terhadap penyimpangan internalnya.

Polri saat ini tidak memiliki pilihan banyak, kepercayaan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan harus dipulihkan segera.

Gambaran buram mengenai praktik buruk perilaku kekerasan Polisi bukan hanya harus diselesaikan dan diserahkan pada institusi Polri saja.

Sudah seharusnya segala pembatasan dan pengetatan terhadap institusi Polri dilakukan, bukan saja demi menyelamatkan institusi Polri, melainkan menyelamatkan hak-hak dasar warga negara atas hak aman.

Perlu diingat bahwa kepolisian sebagai lembaga negara yang hidup di negara demokratis sesungguhnya tidak dapat mengambil kebijakan sendiri, bahkan kebijakan untuk dirinya sendiri.

Tapi rakyat lah melalu mekanisme demokrasi yang berhak menentukan arah, kedudukan, dan pembatasan lembaga negara yang melayaninya. Mari berbenah dan terus mengabdi dengan tulus.