Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Hari Buruh Internasional: Momentum perbaikan Nasib Pekerja dalam Undang-Undang Cipta Kerja

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Dr. Hj. Kurniasih Mufidayati, M.Si. (Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS)

 

Peringatan Hari Buruh tahun 2022 ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh dengan penyelidikan pekerja. Hari Buruh tahun ini yang jatuh hanya satu hari sebelum Idul Fitri membuat peringatan hari Buruh ini seperti tidak ada gaungnya.

Apalagi dengan situasi tersebut, tidak ada aksi unjuk rasa pekerja dalam mendukung hari buruh ini. Beberapa pekerjaan pekerja, namun permasalahannya untuk perbaikan nasib pekerja, tetap saja sepi dari pemberitaan.

Menjelang Hari Buruh ini, sesungguhnya ada dua peristiwa yang bisa menjadi momentum bagi nasib nasib pekerja setelah sebelumnya sempat akibat dari dua kebijakan pemerintah.

Pertama adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan yang dilayangkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) atas Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 ini bersyarat inkonstitusional.

Kedua adalah akan merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 2 Tahun 2020 tentang membuka Jaminan Hari Tua (JHT) sekaligus menyatakan Permenaker ini belum efektif berlaku. Dengan demikian, pengembangan JHT ini bisa dilakukan tanpa harus menunggu pekerja berusia 56 tahun atau kembali ke aturan lama tentang JHT.

Sebelum keputusan kedua ini, nasib pekerja betul-betul karena akibat aturan dalam UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja terutama dalam hal aturan tentang pekerjaan waktu tertentu, pekerja alih daya (Outsourcing) dan ketentuan pengupahan. Demikian pula dengan dikeluarkannya Permenaker No. 2 Tahun 2022 yang menetapkan bahwa JHT baru bisa diambil setelah pekerja berusia 56 tahun.

Padahal ketika banyak pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama akibat pandemi covid-19 yang berkepanjangan, para pekerja banyak yang membutuhkan JHT tersebut sebagai modal untuk membuka usaha.

Putusan MK sebagai Peringatan Bagi Pemerintah

Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja dengan nomor Nomor 103/PUU-XVIII/2020 setidaknya memuat empat hal penting yang memberi harapan bagi pekerja. Dalam putusan MK, dua hakim MK yaitu Ketua MK Anwar Usman dan mantan Ketua MK Arief Hidayat menilai beberapa pasal terkait dengan PHK, tenaga alih daya dan sistem pengupahan harus dibatalkan.

Empat hal yang diminta dibatalkan ketentuannya dalam UU Cipta Kerja tersebut adalah (1) jangka waktu perjanjian waktu tertentu (PKWT) atau sering disebut kontrak kerja, (2) hubungan antara Perusahaan Alih Daya (outsourcing) -Perusahaan Pemberi Kerja dengan Pekerja, (3 ) sistem pengupahan, dan (4) pembayaran pesangon dalam pemutusan hubungan kerja. Hakim MK menilai pasal-pasal terkait keempat hal tersebut harus dibatalkan karena berkaitan erat dengan (to respect), perlindungan (to protect),

Ketentuan waktu PKWT dinilai merugikan pekerja karena statusnya yang bisa selamanya menjadi pekerja kontrak (PKWT) karena tidak ada batasan waktu untuk status PKWT nya serta adanya peluang perpanjangan kontrak terus-menerus. Seharusnya pekerja PKWT hanya dibatasi jangka waktu kontrak 2,5 tahun dan perpanjangan maksimal satu tahun.

Jika setelah masa perpanjangan pekerjaan tersebut belum selesai, maka pemberi kerja harus mengubah status pekerja kontrak ini menjadi pekerja tetap. Aturan pekerja kontrak ini juga menjadi salah satu sorotan Fraksi PKS DPR-RI dalam pembahasan UU Cipta Kerja karena dinilai sangat merugikan pekerja terutama yang tidak mudah melakukan perpindahan tempat bekerja.

Fraksi PKS sejak awal menilai bahwa ketentuan tentang PKWT ini tidak memberikan jaminan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan tidak sesuai dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

Jangka waktu untuk PKWT ini secara normatif juga harus diatur dalam undang-undang dan tidak boleh dalam peraturan pemerintah karena terkait dengan pengaturan hak konstitusional pekerja yang perlu dibahas dan diputuskan bersama oleh DPR dan Pemerintah melalui instrumen hukum undang-undang.

Selama ini, dengan aturan hukum yang lama banyak pekerja kontrak yang dirugikan karena pemberi kerja yang banyak melanggar aturan kontrak kerja ini. Maka dengan diberi peluang untuk melakukan proses kontrak pekerja tanpa batas waktu akan membuat pekerja lebih dirugikan.

Terkait dengan ketentuan tentang pekerja alih daya (outsourcing), sejak awal Fraksi PKS menilai bahwa ketentuan dalam UU Cipta Kerja ini kurang memberikan perlindungan dan penghargaan yang memadai bagi pekerja outsourcing.

Hal ini karena adanya peluang pekerja outsourcing dipekerjakan untuk pekerjaan yang bersifat pokok atau perusahaan inti (bukan lagi penunjang) namun dengan status tetap sebagai pekerja PKWT. Padahal dengan bergesernya pekerjaan, sudah menunjukkan adanya peningkatan keterampilan dan keahlian dari pekerja outsourcing tersebut.

Dalam hal pengupahan juga, UU Cipta Kerja akan merugikan pekerja karena ditiadakannya klasifikasi upah minimum berdasarkan wilayah provinsi dan kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor di satu wilayah, tidak adanya Dewan Pengupahan Provinsi dalam memberikan petunjuk perkiraan minimum dan pengurangannya menunjukkan pekerja.

Buah dari ketentuan pengupahan yang selanjutnya diatur melalui PP Nomor 36 Tahun 2021 Pengupahan ini muncul dalan penetapan Upah Minimum 2022 yang besaran kenaikanya dibatasi hanya 1,09% dengan alasan perekonomian yang belum pulih. Hal yang sama juga pada ketentuan tentang PHK yang diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021 sebagai pelaksana dari UU Cipta Kerja yang mengatur jumlah pembayaran uang pesangon dengan nominal lebih rendah dari ketentuan yang sebelumnya.

Adanya keputusan MK yang secara jelas menunjukkan adanya permasalahan substansif dalam UU Cipta Kerja ini dan bertentangan dengan konstitusi yang memperjelas ada yang salah dalam pembuatan UU Cipta Kerja ini. Putusan MK ini sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dalam pembuatan suatu produk Undang-Undang dengan pendekatan Omnibus dan menyangkut kehidupan dan hak hidup bagi pekerja. Apalagi proses pembuatan sampai penetapan UU Cipta Kerja ini terkesan terburu-buru, dipaksakan dan tidak transparan.

Seperti yang disampaikan mantan Ketua MK, tidak boleh lagi melakukan pembentukan UU melalui metode omnibus law campur sari seperti UU CK, karena metode melahirkan UU yg tidak fokus, tujuan dan filosofisnya tidak jelas yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan MK ini sekaligus memberi peringatan kepada pemerintah dan DPR untuk tidak boleh lagi membahas suatu RUU yang menyangkut kepentingan strategi bangsa dengan sambil lalu, tanpa melibatkan masyarakat secara luas dan luas.

Kembalikan Hak Pekerja, Perbaiki Aturan Ketenagakerjaan

Alih-alih berusaha mencari pembenaran dan melakukan counter terhadap putusan MK ini, sebaiknya pemerintah menjalankan putusan MK ini dengan memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020 ini sekaligus memenuhi hak-hak pekerja. Jika pada proses pembuatan UU Cipta Kerja ini sangat minim partisipasi dan masukan dari Serikat Pekerja, maka keputusan MK ini akan menjadi peringatan bagi pemerintah untuk lebih mengakomodasi masukan dari pekerja.

Ketika setiap tahun dalam momen hari pekerja selalu menuntut perbaikan kesejahteraan pekerja, maka dalam momen Hari Buruh tahun ini, sudah seharusnya pemerintah menjalankan putusan MK terhadap UU Cipta Kerja terkait empat poin penting yang berpengaruh terhadap nasib dan kesejahteraan pekerja.

Salah satu bentuk menjalankan putusan MK ini adalah dengan tidak membuat peraturan pelaksana atas UU Cipta Kerja yang baru maupun kebijakan strategi dalam melaksanakan peraturan yang ada karena ada putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja ini bersyarat inkonstitusional.

Penetapan upah minimum yang menggunakan PP No. 36 Tahun 2021 yang kemudian dinilai terlalu rendah kenaikannya dan tidak diikuti oleh beberapa daerah seperti DKI Jakarta. Jika pun pemerintah melakukan perbaikan atas UU No. 11 Tahun 2020 ini, maka semangatnya adalah terpenuhinya di atas, perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak pekerja konstitusional, karena ketiga hal itulah yang menjadi landasan putusan MK.

Perbaikan dilakukan bukan karena semangat investasi dengan mengorbankan pekerja atau dengan kata lain mencari pembenaran atas permasalahan substansif dari UU Cipta Kerja ini. Fraksi PKS akan terus mengawal proses perbaikan ini agar sesuai dengan substansi dan apa yang menjadi latar belakang putusan MK ini.

Pemerintah juga harus konsisten melaksanakan Permenaker No. 4 Tahun 2022 yang merupakan revisi dari Permenaker No. 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Harus diapresiasi pada akhirnya pemerintah menyadarinya hanya ketika membuat peraturan bahwa JHT bisa diambil setelah pekerja berusia 56 tahun. Padahal dalam situasi ketika banyak PHK terjadi akibat pandemi covid-19 dan ekonomi terkontraksi serta lapangan kerja sulit, pekerja yang membutuhkan JHT tersebut untuk menyambung hidup dan mungkin akan memilih berwirausaha menggunakan modal dari JHT yang didapat.

Keputusan untuk merevisi Permenaker No. 2 Tahun 2022 ini juga dilakukan setelah mendapat desakan dari berbagai pihak terutama kalangan pekerja.

UU Cipta Kerja yang bersyarat inkonstitusional serta Permenaker No 2 Tahun 2022 yang akhirnya direvisi untuk menentukan kebijakan pendulum ketenagakerjaan oleh pemerintah tidak berpihak pada pekerja. Maka kita pun mendesak pemerintah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja ini terutama pada pasal-pasal yang terkait dengan nasib pekerja sebagaimana halnya desakan dari berbagai pihak, bahkan sejak UU Cipta Kerja masih dalam pembahasan di DPR. Jika ini dilakukan, maka ini akan menjadi salah satu hadiah bagi pekerja di tahun ini.

Selamat Hari Buruh Internasional