Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Fraksi PKS Tolak Revisi UU PPP, Anggota Baleg FPKS Beberkan Tujuh Catatan Kritis

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (09/02) — Fraksi PKS DPR RI menjadi satu-satunya fraksi di parlemen yang menolak menyetujui pengesahan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sebagai RUU Inisiatif DPR pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (8/2/2022).

Juru bicara sekaligus anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengungkapkan pembahasan RUU PPP di badan legislasi DPR selama ini dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik sehingga mendorong pihaknya meminta pendalaman lebih lanjut agar dapat dibahas lebih komprehensif sebelum akhirnya disahkan menjadi RUU inisiatif DPR RI.

Fraksi PKS menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait RUU PPP melalui pandangan resmi yang disampaikan oleh juru bicaranya pada Rapat Paripurna.

Pertama, kata Bukhori, terkait metode Omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Fraksi PKS menegaskan bahwa metode apapun yang akan digunakan oleh pembentuk UU haruslah bertujuan untuk mereformasi proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar menjadi lebih baik, berkualitas, dan berpihak pada kepentingan rakyat dan negara.

“Dengan demikian, tidak dikesankan bahwa peraturan perundang-undangan itu hanya dipahami dan bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Jangan sampai dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dijadikan sarana untuk menyelundupkan berbagai kepentingan yang dapat merugikan rakyat dan negara. Berdasarkan pengalaman penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang disusun dengan menggunakan Metode Omnibus, alih-alih mengejar percepatan dan kepentingan penciptaan lapangan kerja, hal itu justru mengabaikan kualitas hasilnya karena kurangnya partisipasi dari masyarakat dan para stakehorders,” tegas Bukhori dalam paparannya.

Kedua, lanjut Bukhori, Fraksi PKS mengusulkan sejumlah prasyarat penggunaan metode Omnibus untuk menjamin adanya kepastian hukum, meningkatkan kualitas legislasi, dan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi publik dalam penyusunan undang-undang. Diantaranya, pertama, metode Omnibus hanya dapat digunakan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan terhadap satu bidang khusus tertentu (kluster). Hal ini agar penyusunan peraturan perundangan tersebut fokus hanya berkaitan dengan satu tema spesifik yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan untuk digabungkan dalam satu peraturan perundang-undangan baru dengan metode Omnibus.

“Kedua, diperlukan alokasi waktu yang memadai untuk penyusunan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode Omnibus agar penyusunannya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa dengan mengabaikan partisipasi publik,” lanjut politisi dapil Jateng 1 ini.

Ketiga, Fraksi PKS menolak ketentuan tentang perbaikan RUU setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam Rapat Paripurna DPR, karena hal tersebut membenarkan praktik legislasi yang tidak baik sehingga merendahkan marwah pembentuk undang-undang.

Meskipun, demikian Bukhori menambahkan, dalam Pasal 72 Ayat (1a) Draf RUU RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa perbaikan hanya meliputi perbaikan terhadap kesalahan teknis penulisan yang dilakukan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut, namun pada praktiknya ketentuan ini rawan untuk disalahgunakan, ungkapnya.

“Seperti yang terjadi pada saat pengesahan RUU tentang Cipta Kerja dimana terdapat perubahan materi muatan RUU Cipta Kerja secara substansial pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden yang tidak sekedar bersifat teknis penulisan, termasuk juga mengubah substansi dan terdapat salah dalam pengutipan. Pada halaman 151-152 RUU Ciptaker (yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada Rapat Paripurna tanggal 5 Oktober 2020) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terdapat perubahan atas Pasal 46,” jelasnya.

Namun, sambungnya, pada halaman 227-228 UU Nomor 11 Tahun 2020 (setelah disahkan/diundangkan) Pasal 46 tersebut tidak termuat lagi dalam Perubahan UU Nomor 22 Tahun 2001.

“Selain itu, masih terdapat banyak perubahan substansial lainnya pasca pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2020 tersebut yang menunjukkan adanya ketidaksinkronan, adanya perubahan yang menghilangkan kepastian hukum, serta terdapat pula kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal sehingga tidak sesuai dengan asas ‘kejelasan rumusan’ yang menyatakan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya,” beber anggota Komisi VIII DPR ini.

Keempat, Fraksi PKS menegaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus melibatkan pihak yang pro dan kontra secara seimbang serta sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat, baik dari kalangan akademisi perguruan tinggi, organisasi masyarakat, maupun masyarakat umum secara keseluruhan dengan memperhatikan sebaran penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

“Selain itu, untuk mengoptimalkan partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, Fraksi PKS mendorong agar setiap rancangan peraturan perundang-undangan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas sehingga memberikan kesempatan kepada publik untuk turut mengkritisi dan memberikan masukan,” ucap mantan Ketua IPNU Jepara ini.

Kelima, Fraksi PKS memberikan catatan perihal pengaturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan berbasis elektronik untuk diperjelas mengenai ruang lingkup dan pembatasannya agar dalam praktiknya tidak menimbulkan multitafsir.

“Kami menilai pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut; Pertama, kesiapan sumber daya manusia dan fasilitas untuk menunjang optimalnya pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik; Kedua, dalam praktiknya, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik jangan sampai melemahkan hak Anggota DPR untuk berpendapat karena keterbatasan ruang virtual dibandingkan dengan ruang nyata dalam rapat-rapat di DPR; Ketiga, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik ini harus dibatasi pelaksanaannya jangan sampai dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat yang membabi buta agar suatu peraturan perundang-undangan segera disahkan di tengah kondisi yang tidak memungkinkan, misalnya saat Pandemi Covid 19 seperti sekarang ini,” lanjut Bukhori.

Keenam, Fraksi PKS mengkritisi perihal pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang diambil alih menjadi dikoordinasikan oleh Menteri atau Kepala Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah.

“Dalam Pasal 58 Draft RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan, disebutkan bahwa Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dan dari Gubernur dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ketentuan ini telah menghilangkan kewenangan dari Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BAPEMPERDA) dalam melakukan peng-harmonisasian terhadap Rancangan Peraturan Daerah, yang kemudian kewenangannya diberikan kepada instansi pusat. Ketentuan ini menegasikan peran dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) karena pengambilalihan kewenangan tersebut sangat sarat dengan upaya sentralisasi yang mencederai semangat otonomi daerah yang telah diperjuangkan selama ini,” tambah anggota yang pernah duduk di Komisi Hukum DPR ini.

Terakhir, Fraksi PKS menegaskan bahwa perubahan terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberikan payung hukum terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, namun sebagai upaya untuk menyusun tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka perbaikan kualitas legislasi yang memihak kepada kepentingan rakyat.

“Dengan disahkannya perubahan undang-undang ini, maka tetap harus ada pembahasan ulang secara benar terhadap UU tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan cacat formil/inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi,” pungkas Bukhori.