Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Anggota FPKS Tegaskan UU Pemilu Perlu Direvisi

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Jakarta (23/02) — Anggota komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Surahman Hidayat, mengkritik pendapat yang menyatakan PJ dan kepala daerah definitif memiliki kewenangan yang sama.

“PJ yang akan ditunjuk apabila pilkada tetap dilaksanakan serentak 2024 memiliki kewenangan dan legitimasi yang berbeda dengan kepala daerah definitif,” ujar Surahman.

Surahman Hidayat menyampaikan bahwa dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang atau UU tentang pilkada pada Pasal 201 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) memang mengatur tentang kekosongan kepala daerah yang masa jabatannya habis tahun 2022 dan 2023 dengan PJ.

Baca juga: Desak Revisi UU Pemilu, Politisi PKS: Revisi Diperlukan karena Demokrasi Dipertaruhkan

“Dalam Pasal 201 UU Pilkada memang mengatur tentang kekosongan kepala daerah pada yang masa jabatannya habis tahun 2022 dan 2023 dengan PJ, yakni pada ayat (9) terkait kekosongan gubernur, ayat (10) terkait kekosongan walikota, dan ayat (11) terkait kekosongan bupati. Namun, perlu di ingat bahwa Pejabat Gubernur, Walikota, dan Bupati kewenangannya dibatasi sesuai dengan pasal 132A PP Nomor 49 Tahun 2008. Artinya kewenangan kepala daerah definitif berbeda dengan pejabat yang ditugaskan secara administratif negara mengisi kekosongan,” tegas Surahman.

Surahman Hidayat juga mengingatkan bahwa PJ merupakan jabatan administrasi negara bukan jabatan politik hasil dari pemilihan, jadi legitimasinya lebih rendah dibandingkan dengan kepala daerah definitif.

“PJ itu jabatan administrasi bukan hasil pemilihan, jadi legitimasi nya lebih rendah dibandingkan dengan kepala daerah definitif. Maka, revisi UU Pemilu dan Pilkada merupakan sebuah keniscayaan, dimana saat ini kita butuh pemerintahan daerah yang efektif dalam menghadapi dampak Covid 19,” ujar Surahman.

Baca juga: Soal Revisi UU ITE, HNW: Jangan hanya Wacana, Pemerintah Segera Usulkan Inisiatif Perubahan

Menurut Surahman Hidayat, pelaksanaan Pilkada yang dilaksanakan berbarengan dengan pileg dan pilpres pada Tahun 2024 sebagaimana tercantum dalam UU pemilu merupakan kesalahan produk legislatif, sehingga perlu direvisi. Tapi yang harus dipahami bahwa keputusan DPR dan pemerintah saat itu, dikarenakan persepsi terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu serentak, berbeda dengan saat ini dimana MK memberikan 6 alternatif pemilu serentak, dimana tidak ada kewajiban pilkada dilakukan bersamaan waktunya.

“Saat ini MK memberikan 6 alternatif pemilu serentak, dimana tidak ada kewajiban pilkada dilakukan bersamaan waktunya. Menurut MK pemilu serentak hanya mengikat untuk pilpres, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota DPD RI. Jadi sudah selayaknya UU pemilu direvisi sesuai dengan putusan MK dan pengalaman pemilu serentak 2019,” kata Surahman.

Anggota fraksi PKS DPR RI ini heran dengan sikap presiden dan partai politik yang menolak revisi UU pemilu dikarenakan UU tersebut belum diterapkan.

Baca juga: Ketua FPKS: Revisi UU Pemilu Penting Untuk Perbaikan Kualitas Demokrasi

“Seharusnya kita belajar dari pengalaman pemilu serentak 2019. Pelaksanaan pemilu serentak 2019, begitu berat bagi penyelenggara pemilu, ratusan petugas meninggal dunia akibat kelelahan, masa iya kita baru merevisi UU pemilu setelah kejadian tersebut terulang kembali. Aneh kalau semua hal yang kita tahu akan berakibat buruk harus kita lakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman dan melakukan perbaikan,” tegas Surahman.

Di akhir pembicaraan Surahman Hidayat juga berpendapat bahwa menambah jumlah petugas agar bisa bekerja bergantian menjadi solusi janggal karena perhitungan dan rekapitulasi harus diikuti, disaksikan, dan disahkan oleh seluruh penyelenggara pemilu.