Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Menguatkan Peran Kemenpora RI dalam Mengembangkan dan Memberdayakan Pemuda Indonesia

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Oleh : Dr. H. Fahmy Alaydroes, M.M., M.Ed.

Konstitusi & Undang-undang telah memberi amanat yang jelas dan tegas terkait dengan peran, posisi dan fungsi Pemuda dalam pembangunan bangsa.

Dalam UU No. 40/2009, dalam fasal menimbang dijelaskan (a) bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak perintisan pergerakan kebangsaan Indonesia, pemuda berperan aktif sebagai ujung tombak dalam mengantarkan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat; (b) bahwa dalam pembaruan dan pembangunan bangsa, pemuda mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis sehingga perlu dikembangkan potensi dan perannya melalui penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan sebagai bagian dari pembangunan nasional.

Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan: “Pembangunan kepemudaan bertujuan untuk terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 5 dengan tegas menyebutkan peran strategis: “…. berfungsi melaksanakan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan pemuda dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kiwari, jumlah Pemuda Indonesia (usia 16 sampai dengan 30 tahun) sekitar 64,19 juta jiwa atau seperempat dari total penduduk Indonesia. Mayoritas pemuda telah menamatkan pendidikan hingga SMA/sederajat (37,59 persen) dan SMP/sederajat (34,87 persen). Hanya 9,98 persen pemuda yang menyelesaikan pendidikan hingga PT dan sekitar 13,17 persen pemuda yang hanya tamat SD/sederajat, serta sisanya tidak tamat SD atau belum pernah sekolah.

Sungguh jumlah yang sangat besar, menyimpan potensi yang luar biasa untuk menopang dan sekaligus membantu menggerakkan pembangunan bangsa.

Terlebih lagi bila dikaitkan dengan peran aktif Pemuda sebagai relawan untuk membantu mempercepat penanganan Covid-19 di berbagai daerah di seluruh Indonesia, terutama wilayah zona kuning dan merah yang menimbulkan keguncangan kesehatan, ekonomi dan pendidikan (tiga sector utama pembangunan manusia).

Pemuda-pemudi kita sangat diharapkan dan dibutuhkan untuk membantu pemerintah dalam hal melakukan sosialisasi dan edukasi, menumbuhkan motivasi dan inspirasi, memfasilitasi dan mengajak masyarakat untuk turut bersama (gotong royong) peduli membina dan memberdayakan masyarakat dan lingkungan.

Potensi yang luar biasa ini akan menjadi kekuatan yang dahsyat apabila Pemerintah menjalankan tugas dan kewajibannya dengan seksama sesuai amanat Undang-Undang, yaitu melaksanakan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi pemuda sebagaimana diamanatkan oleh UU 40/2009 (pasal 13).

Dalam hal ini, Kementerian Pemuda dan Olahraga seharusnya menjadi leading sector seluruh kegiatan ini untuk mengoordinasikan kebijakan dan program di bidang kepemudaan dengan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonpemerintah, dan/atau pemerintah daerah, serta unsur terkait lainnya. (pasal 14 ayat 2).

Sejauh ini, program-program pembangunan pemuda tidak ampu oleh satu kementerian saja, melainkan oleh kementerian dan lembaga lainnya (lintas sector). Berdasarkan kajian yang dilakukan SMERU dalam penyusunan studi pendahuluan untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 bidang pemuda, ditemukan paling tidak terdapat 30 kementerian dan lembaga yang memiliki program dan kegiatan yang terkait dengan pembangunan pemuda.

Kemenpora sendiri bukan pemegang utama anggaran pembangunan pemuda. Sejauh ini, koordinasi lintas sektor pembangunan pemuda belum berjalan optimal karena persoalan ego sektoral.

Komitmen berbagai kementerian dan lembaga untuk bersama-sama membangun pemuda pun masih lemah. Sayangnya lagi, Kementerian Pemuda & Olahraga yang bertanggung jawab menjalankan tugas yang sangat strategis ini dikelompokkan ke dalam klaster ke 3, sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara.

Bahkan, Kemenpora berada pada urutan nomor 33 dari 34 kementerian. Dengan posisinya sebagai kementerian kelompok/klaster ke 3, dan berada pada urutan nomor ‘nyaris’ paling akhir, kita menjadi ‘maklum’ kalau kemudian kementerian ini mendapat jatah anggaran yang juga minim.

Tahun 2020 (sebelum pandemic covid-19), Anggaran Belanja Kemenpora sebesar Rp 1,73 Triliun (hanya 0,1% dari Anggaran Belanja Pemerintah Pusat, yaitu: Rp. 1.683 Ttriliun). Pada saat Pandemi, anggaran belanja tersebut masih dipotong juga sebesar Rp 564 miliar.

Sayangnya lagi, dari anggaran belanja yang minimalis tersebut, porsi untuk Pengembangan dan Pemberdayaan Pemuda hanya mendapat bagian yang ‘tidak adil’’, hanya sekitar seperenam saja ! Kemenpora lebih banyak memberi perhatian kepada program-program olahraga. Sungguh miris !

Alhamduililah, Fraksi PKS bersama Fraksi lain di Komisi X bersepakat untuk mendukung peningkatan Anggaran belanja bagi Kemenpora di tahun 2021 nanti menjadi sebesar Rp Rp3,7 triliun.

Anggaran yang telah disetujui itu merupakan total anggaran dari Pagu Indikatif Kemenpora pada RAPBN 2021 sebesar Rp2 triliun serta usulan tambahan Rp1,77 triliun.

Tentu saja, penambahan anggaran ini disertai dengan catatan agar porsi untuk program-program kepemudaan lebih diseimbangkan dibandingkan dengan program-program keolahragaan.

Sayangnya (lagi), Kemenpora masih belum juga memberikan perhatian yang cukup kepada program Kepemudaan. Dalam pagu indikatif APBN 2021 sebesar Rp. 3.7 Triliun itu, proporsi anggaran belanja untuk program pengembangan dan pemberdayaan Pemuda ‘hanya’ 12% saja, atau 16% dari anggaran belanja untuk program keolahragaan.

Bila diproporsikan dengan jumlah populasi pemuda di Indonesia (64,9 juta orang), anggaran tersebut hanya memberikan alokasi sebesar Rp. 7 ribuan saja. !

Sungguh ironis dan memilukan. Padahal, dalam Kemenpora, program-program pengembangan dan pemberdayaan Pemuda sangat bagus dan penting bagi upaya kita membangun dan memandirikan bangsa.

Program-program tersebut antara lain:

Peningkatan partisipasi pemuda dalam kegiatan sosial dan wirausaha
Penguataan sistem koordinasi lintas sektor pembangunan kepemudaan di pusat dan daerah Pengembangan kepemimpinan, kepeloporan, kesukarelawanan pemuda
Pemberdayaan organisasi kepemudaan dan penguatan pengawasan kepramukaan
Peningkatan karakter, wawasan kebangsaan dan ideology Pancasila. Pencegahan perilaku beresiko (Narkoba, HIV/AIDS, Kesehatan Reproduksi) Pengembangan Literasi Pemuda.

Mari kita kuatkan kebijakan pemerintah dalam hal Pengembanagn dan pemberdayaan Pemuda. Tidak bisa menunggu lama lagi, karena pada kenyataannya masih banyak masalah dalam hal pembangunan pemuda.

Dalam hal dunia kerja, ketidak-siapan pemerintah membekali pemuda-pemudi Indonesia memasuki era Industri 4.0, akan menyebabkan mereka semakin ‘tersisih’ ke pinggiran dalam arena pasar kerja yang kompetitif. Hal ini dapat memperparah wajah pengangguran pemuda Indonesia.

Di area kesehatan, kejadian penyakit menular (seperti HIV/AIDS) dan tidak menular (seperti hipertensi, anemia, obesitas, dan diabetes) di kelompok usia pemuda lebih banyak dibandingkan di kelompok usia lain.

Hal ini terjadi akibat pola hidup tidak sehat seperti merokok, kurang aktivitas fisik dan konsumsi buah dan sayur; dan perilaku berisiko pemuda, seperti penyalahgunaan obat/zat terlarang, pergaulan bebas, dan pornografi.

Pemuda Indonesia juga rentan mengalami masalah kesehatan mental. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan jumlah kasus depresi yang mencapai 6.1% diantara penduduk usia di atas 15 tahun. Generasi muda yang jumlahnya melimpah di era bonus demografi seharusnya menjadi sumber daya produktif yang bermanfaat untuk menggerakkan berbagai sektor penting pembangunan bangsa. Ketika mereka menjadi tidak produktif akibat ketertingalan pendidikan dan berbagai persoalan kesehatan dan sosial yang mereka hadapi, alih-alih menjadi bonus geografi, malah berubah menjadi ‘bencana’ demografi.