
Jakarta (23/11) — Kualitas pelaksanaan debat serta pengaruh keterlibatan pengusaha tambang adalah hal yang patut dicermati dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kalimantan.
Hal itu diungkap oleh Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Aus Hidayat Nur yang mendapat kesempatan berbicara dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto dan Penjabat Gubernur se-Kalimantan di ruang Rapat Komisi II (KK.III) Gedung Nusantara DPR RI, Jl. Jendral Gatot Subroto, Senayan-Jakarta Pusat pada Rabu (20/11/2024) siang.
Aus membuka paparannya dengan pantun tiga bait :
“Bunga dahlia tepi telaga.
Sungguh sedap dipandang mata.
Setiap suara dalam Pilkada sangat berharga.
Untuk majukan kabupaten dan propinsi tercinta.
Sungai Mahakam (Kapuas, Barito) sangat panjang.
Sepanjang sungai banyak batu bara mengambang.
Kalau pemimpin kita hasil main curang.
Sudah pasti akan banyak pencuri tambang.
Hadirin sekalian saya ingin bertanya.
Apa beda pilkabe dengan pil kada?
Pilkabe kalau lupa bakal jadi badan kepala.
Pilkada kalau jadi kepala daerah suka lupa pemilihnya.”
Terkait debat, hal yang pertama Aus singgung adalah tentang infrastruktur dan lokasi debat.
“Banyak daerah yang mengalami keterbatasan fasilitas yang menghambat pelaksanaan debat secara optimal. Lokasi yang dipilih seringkali tidak mampu menampung jumlah peserta dan penonton yang diharapkan,” urainya.
Aus menambahkan, keputusan mengenai lokasi debat sering menjadi perdebatan. Misalnya, pemilihan Banjarmasin sebagai lokasi debat kedua di Kalsel dipertanyakan oleh beberapa pihak yang menginginkan lokasi yang lebih strategis untuk menjangkau lebih banyak pemilih.
Hal yang kedua adalah keamanan dan ketertiban. “Kesiapan dalam hal keamanan menjadi perhatian utama. Koordinasi antara pihak keamanan, seperti Polda Kalsel, dan penyelenggara debat sangat penting untuk memastikan acara berjalan aman dan lancar,” ucap Aus.
Yang ketiga adalah isu korupsi dan kepercayaan publik. Menurut Aus, isu korupsi sering diangkat dalam debat sebagai penghambat investasi dan kemajuan daerah. Calon gubernur perlu menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih untuk menarik investor, yang berhubungan erat dengan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Calon Gubernur juga perlu mempersiapkan materi debat dengan baik. Pengalaman menunjukkan bahwa calon yang kurang berpengalaman dalam debat publik sering kesulitan menyampaikan gagasan mereka secara efektif. Begitu yang diungkap Aus dalam poin yang ke-empat.
Dan yang kelima adalah respons dan interaksi antar pasangan calon. “Debat sering kali diwarnai dengan saling sanggah antara pasangan calon, menciptakan dinamika politik yang tinggi. Hal ini dapat menciptakan ketegangan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi calon untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam berargumentasi dan merespons kritik,” paparnya.
Aus menilai, secara keseluruhan, persiapan dan pelaksanaan debat Pilkada di Kalimantan menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak terkait untuk memastikan acara tersebut berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi pemilih.
Kemudian Aus beralih menyoroti tentang keterlibatan pengusaha tambang dan perkebunan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kalimantan yang dirasa sangat signifikan dan mencerminkan dinamika kompleks antara bisnis dan politik.
Beberapa aspek penting mengenai keterlibatan mereka antara lain, yang pertama adalah dukungan finansial.
“Pengusaha tambang dan perkebunan sering memberikan dukungan finansial kepada calon-calon yang mereka dukung dalam pilkada. Ini merupakan bagian dari praktik politik uang dan politik transaksional, di mana pengusaha berusaha memastikan bahwa calon yang terpilih akan menguntungkan kepentingan bisnis mereka,” paparnya.
Keterlibatan mereka tidak hanya terbatas pada dukungan finansial, tetapi juga mencakup upaya untuk mempengaruhi kebijakan lokal. Pengusaha berusaha memengaruhi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, yang dapat berdampak langsung pada operasi bisnis mereka. Hal ini sering kali dilakukan melalui lobi politik dan hubungan dekat dengan politisi. Hal itu menjadi paparan dalam poin yang kedua, yaitu pengaruh dalam kebijakan.
Yang ketiga adalah budaya politik yang terstruktur. “Praktik kolusi antara pengusaha dan politisi telah menjadi bagian dari budaya politik yang terstruktur di Kalimantan. Hubungan ini sering kali terlihat saling menguntungkan, tetapi dapat merugikan masyarakat luas, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan,” tukas Aus.
Transaksi politik menjadi poin yang ke-empat yang ia angkat. Pengusaha tambang dan perkebunan, terutama di sektor kelapa sawit dan tambang batubara, juga terlibat dalam transaksi politik menjelang pemilu. Mereka berkolaborasi dengan politisi untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mendukung ekspansi dan keberlanjutan usaha perkebunan mereka, yang sering kali menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal.
Dan yang terakhir adalah dampak lingkungan dan sosial. “Keterlibatan pengusaha dalam pilkada sering kali menyebabkan dampak negatif, baik dari segi lingkungan maupun sosial. Ekspansi perkebunan dan kegiatan tambang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan serta konflik dengan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam,” ujar Aus.
Ia pun menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, keterlibatan pengusaha tambang dan perkebunan dalam pilkada di Kalimantan menciptakan tantangan bagi proses demokrasi dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
“Ini menuntut perhatian dari masyarakat dan pemerintah untuk memastikan bahwa kepentingan publik tetap menjadi prioritas dalam setiap proses pemilihan,” tutup Aus.