Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

HNW Kritisi Kewajiban BPJS Kesehatan Bagi Calon Jemaah Umrah dan Haji Khusus

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (22/02) — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR-RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mengkritisi dan menolak pemberlakuan syarat administratif baru berupa kepesertaan aktif BPJS Kesehatan bagi para calon jamaah umrah dan haji khusus, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022.

HNW sapaan akrabnya menilai aturan wajib kepemilikan kartu BPJS Kesehatan aktif untuk calon jemaah umrah tidak relevan dan akan semakin memberatkan calon jamaah umrah dan haji khusus yang sudah banyak tertunda keberangkatannya selama pandemi covid-19, serta menimbulkan in-efisiensi bagi para calon jemaah umrah dan haji khusus yang umumnya telah memiliki kartu asuransi jaminan kesehatan pribadi.

“Pada prinsipnya kami mendukung suksesnya program BPJS, karena memang bermanfaat untuk warga. Tapi mestinya dia berlaku secara elegan, program yang prinsipnya sukarela itu mestinya tidak diwajibkan untuk hal-hal yang tidak relevan seperti bagi para calon jamaah haji khusus dan umrah, penyelenggara perjalanan Haji dan Umroh, serta pendidik dan peserta didik di lingkungan Kementerian Agama,” tegas HNW.

Penambahan aturan yang seperti itu, imbuhnya, malah menambah masalah besar yang sebelumnya dikeluhkan oleh Presiden Jokowi sendiri, juga tidak sesuai dengan janji Presiden Jokowi untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi.

“Dalam rangka sukseskan BPJS Kesehatan dalam semangat gotong royong, Presiden seharusnya lebih fokus dan rinci membuat Inpres untuk memperbaiki kinerja BPJS Kesehatan dan layanan-layanan kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas-Puskesmas rujukan BPJS Kesehatan. Bukan malah membuat aturan tambahan yang justru menambah beban kepada birokrasi juga kepada kelompok masyarakat yang tak langsung terkait seperti para jamaah umrah dan haji khusus, yang umumnya malah sudah punya kartu asuransi mandiri di luar BPJS Kesehatan,” disampaikan Hidayat dalam keterangannya, Selasa (22/02).

Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menjelaskan, dalam Inpres 1/2022, yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022, terdapat tiga kelompok yang diinstruksikan oleh Presiden bagi Menteri Agama untuk memiliki kepesertaan BPJS aktif, yakni pelaku usaha dan pekerja pada PPIU dan PPIH, calon jamaah umrah dan jamaah haji khusus, serta peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di lingkungan Kemenag.

Dirinya menilai ketentuan tersebut akan menambah beban yang tidak relevan, pasalnya syarat untuk mendaftar jadi peserta BPJS Kesehatan harus membayar premi bulanan. Hal ini akan menjadi biaya tambahan bagi calon jamaah, selain juga merugikan bagi mereka yang umumnya telah memiliki asuransi kesehatan pribadi di luar BPJS Kesehatan.

“Misalnya satu keluarga berisi 4 orang hendak umrah, maka harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 600.000 untuk mendaftar BPJS kelas I. Belum lagi jika keberangkatan umrah ditunda karena peningkatan kasus covid-19, maka biaya premi tersebut harus dibayar tiap bulannya agar kepesertaan mereka tetap aktif. Padahal mungkin sebagian mereka tidak akan menggunakan layanannya karena sudah memiliki asuransi lain. Boleh saja mereka dihimbau untuk sedekah/hibah membantu BPJS Kesehatan, tapi menjadikannya sebagai persyaratan wajib, selain tidak rasional juga bisa berdampak kepada pelanggaran terhadap hukum Agama. Sebab mestinya calon jemaah Umroh/haji khusus dimudahkan, bukan malah diwajibkan melakukan sesuatu yang tidak relevan dan tidak wajib, yang kalau mereka menolak, bisa jadi keberangkatan mereka juga ke tanah suci jadi terganggu,” sambungnya.

HNW mengingatkan Pemerintah yang mungkin sedang mencoba menguatkan semangat gotong royong, semestinya bukan dengan mewajibkan apalagi menjadikan aturan baru dalam Inpres tersebut sebagai sumber pendanaan bagi BPJS.

“Sebab dari kewajiban kepesertaan jamaah umrah dan haji khusus dalam kondisi sebelum pandemi covid-19 saja, setiap tahunnya ada 1 jutaan jemaah umrah dan 17 ribuan jemaah haji khusus, bisa diperoleh nilai setoran mencapai Rp 1,83 Triliun per tahun,” ungkapnya.

Oleh karena itu, HNW meminta pihak Kemenag untuk cermat dan mengkritisi bila akan menindaklanjuti aturan tersebut, dengan melihat situasi penyelenggara dan calon jamaah haji dan umrah.

“Harus juga dipertimbangkan sikap dari Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji (Sapuhi) yang meminta agar jangan sampai ada aturan tambahan yang menyulitkan bagi para jamaah,” tegas HNW.

Pasalnya meskipun Inpres terkait aturan BPJS bagi jamaah umrah dan haji itu sudah keluar, namun dalam rapat terakhir Komisi VIII DPR-RI dengan Kemenag, hal ini belum menjadi bahan bahasan yang disampaikan oleh Kemenag ke Komisi VIII DPR-RI.

“Ada baiknya Menteri Agama bersama dengan Dirjen PHU membahas ini bersama dengan Komisi VIII DPR-RI terlebih dahulu, sehingga bisa dicari solusi terbaik yang menyukseskan BPJS, tapi tidak memberatkan bagi para jamaah haji dan umrah. Misalnya dengan menyampaikan agar soal kepesertaan aktif kartu BPJS kesehatan untuk Kemenag hanya merupakan himbauan, dan sama sekali bukan aturan tambahan apalagi syarat untuk calon jemaah Haji khusus dan jemaah Umroh,” pungkasnya.