
Jakarta (17/05) — Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jember, Supangat, menghadiri webinar FGD Fraksi PKS DPR RI yang membahas pokok-pokok pengaturan dalam RUU Pendidikan Kedokteran.
Pakar kedokteran ini membahas terkait pentingnya melakukan revisi RUU baru dalam memperbaiki UU yang telah ada pada tahun 2013.
“Tahun 2013, telah dimunculkanya (UU), tahun 2014 Judicial Review dari IDI, kemudian tahun 2015, ini ditolak oleh MK. Kemudian ditahun 2018, itu muncul lagi,” ujar Supangat dalam webinar FGD Pendidikan Kedokteran, Idealita VS Realita, Senin (17/05).
Baca juga: Guru Besar FK UNSRI: RUU Dikdok Lulusan Dokter Wajib Ikatan Dinas dan Mudah Praktek
Menurut Supangat, tahun 2013 hingga 2020 adalah perjalanan panjang yang menunjulan adanya kekurangan pada UU. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dapat digaris bawahi kekurangannya berupa tidak sesuainya pendidikan kedokteran terhadap kemajuan teknologi dan tidak ada kemerataan.
“Maka pertanyaan besarnya adalah, apakah yang tidak merata itu hanya profesi dokter atau justru profesi SDM kita yang tidak merata atau kondisi kita tidak merata,” tukas Praktisi Kedokteran, Supangat.
Bila hanya profesi dokter yang tidak merata, maka penting untuk merubah undang-undang dalam melakukan pemerataan pada undang-undang baru. Namun, lanjut Supangat, bila semua belum merata, merubah undang-undang Dikdok perlu dipertimbangkan.
“Pendidikan dokter itu pendidikan yang panjang jalurnya, ada yang tujuh tahun, ada yang sepuluh tahun,” ujar Supangat.
Supangat menjelaskan, dalam undang-undang Dikdok 2013, input mahasiswa FK (Fakultas Kedokteran), pada tahap seleksi, selain memahami ilmu kedokteran guna modal kedepan, penting untuk menjalani test lain yakni minat dan bakat.
“Kemudian, kedokteran membutuhkan kerja keras, sehingga apa, risikonya adalah kegagalan. Sehingga diberbagai negara pun ada sebagian dari calon dokter yang kemudian dia gagal menjadi dokter, itu menjadi sesuatu yang rasional,” ujarnya.