
Jakarta (17/03) — Keprihatinan akan melonjaknya angka perkawinan anak di masa pandemi menjadi salah satu tema talkshow yang diangkat Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) Selasa (16/3).
Dalam talkshow tersebut Ledia Hanifa Amaliah, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS yang hadir sebagai salah seorang narasumber menyebutkan bahwa masalah perkawinan anak ini tidak dapat diatasi oleh satu dua pihak saja melainkan memerlukan ‘kerja keroyokan’ dari berbagai pemangku kepentingan.
“Kita tidak hanya bisa mengandalkan salah satu pihak misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja, atau BKKBN saja, tapi perlu lintas kementerian dan lembaga agar gerak dari upaya meminimalisir kejadian perkawinan anak ini bisa lebih kuat dan cepat mencapai sasaran.” ungkap Ledia.
Baca juga: KPP RI Selenggarakan Talkshow, Netty: Perspektif Perempuan Harus Hadir untuk Politik Berkeadilan
Aleg Fraksi PKS ini menjelaskan, kalau hanya bergerak secara sektoral tentu anggaran dan cakupan tupoksi masing-masing kementerian dan lembaga sangat terbatas. Padahal persoalan perkawinan anak ini sangat kompleks.
“Anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu anggarannya sangat kecil, BKKBN juga kecil, tupoksi juga terbatas, sementara persoalan perkawinan anak ini melibatkan banyak faktor; ekonomi, pendidikan, sosial budaya, kesehatan, sehingga perlu kerja keroyokan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasinya.” pungkasnya.
Sejak sebelum pandemi saja lanjut Ledia masalah ekonomi dan akibat pergaulan bebas sudah kerap didengar menjadi alasan yang banyak mengemuka dari kejadian perkawinan anak. Lantas di masa pandemi kejadian perkawinan anak melonjak hampir dua kali lipat, terlihat dari bertambahnya permohonan dispensasi kawin ke pengadilan agama yang mencapai 34 ribu permohonan dibanding sekitar 23 ribu permohonan pada 2019.
Baca juga: Tiga Catatan Aleg Komisi X FPKS pada Kemendikbud Terkait Dana Bos
“Selain ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk, tidak adanya aktivitas sekolah tatap muka juga ditengarai memberi kontribusi. Ada anak yang karena berbagai alasan jadi putus sekolah. Ada yang bekerja. Ada yang dinikahkan dengan alasan untuk mengurangi beban keluarga. Ada pula yang karena anak jadi banyak waktu luang lalu justru menghabiskan waktu dengan pacaran sehingga terjadi kehamilan lantas dinikahkan dan banyak lagi.” urai Ledia.
Persoalan kompleks ini jelas membutuhkan kerja sinergis dari berbagai pemangku kepentingan. Ledia menyebut bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta BKKBN bisa terus menggaungkan sosialisasi dan pelatihan terkait mencegah dan menghindari perkawinan anak namun perlu bersinergi juga dengan Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan serta Pemerintah Daerah.
“Kita perlu ingat bahwa Pemda itu adalah ujung tombak pemerintahan karena langsung bersentuhan dengan masyarakat dan paling tahu dengan kondisi serta persoalan terkait sosiodemografi di wilayah masing-masing. Pada mereka inilah berbagai program dari Kementerian dan Lembaga perlu dilakukan kerjasama sinergis. Bahkan anggaran dana desa pun saya kira bisa juga dimanfaatkan salah satunya untuk program sosialisasi maupun pelatihan pada masyarakat agar bisa memahami, mencegah dan meniadakan perkawinan anak.” terang Ledia.
Baca juga: Realisasi Anggaran Dana Desa Terhitung Baik, Aleg PKS Minta Alokasinya Ditingkatkan
Terakhir, Sekretaris Fraksi PKS ini mengingatkan pentingnya ketahanan keluarga dimasukkan menjadi salah satu prioritas program pembangunan baik di tingkat daerah maupun pusat karena bisa menjadi salah satu cara preventif dalam mengatasi persoalan perkawinan anak
“Pada dasarnya peran pendidikan, pengasuhan, pendampingan tumbuh kembang anak hingga mereka bisa matang secara fisik, jiwa dan ruhani berawal dari keluarga.” kata Ledia
Karena itu, lanjut Ledia, pemahaman soal mudharat pernikahan anak, pencegahan anak dari pergaulan bebas, kemampuan untuk mendidik, mengasuh dan mendampingi tumbuh kembang anak agar sehat jasmani, rohani dan mental perlu disupport juga oleh negara dengan kebijakan dan program yang ditujukan dan sekaligus melibatkan keluarga.
“Pemerintah perlu ingat bahwa keluarga yang kuat dan berdaya adalah penopang masyarakat dan bangsa yang kuat dan berdaya juga di masa datang. Dan keluarga yang kuat dan berdaya ini niscaya akan jauh dari praktek-praktek perkawinan anak. Karena itu tujuan menghasilkan keluarga-keluarga yang berketahanan harus menjadi bagian yang tidak tertinggal dari rencana pembangunan nasional.” Kata Ledia mengakhiri pesannya.