
Jakarta (15/03) — Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto, meminta Pemerintah berhati-hati menerapkan kebijakan Perpres 118 tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalui Proyek Putar Kunci (turn key project).
Menurut Mulyanto, apa yang diterapkan Pemerintah, Jangan sampai memarjinalkan peran insinyur domestik.
“Proyek Putar Kunci adalah pengadaan teknologi dengan membeli suatu proyek teknologi secara lengkap mulai dari pengkajian (assessment), rancang bangun dan perekayasaan, implementasi (pengoperasian), dan penyerahan dalam kondisi siap digunakan. Dimana keterlibatan mitra domestik mendekati ‘zero’,” ungkapnya.
Baca juga: Politisi PKS Desak Perpres 10 tahun 2021 Dicabut, Liberalisasi Investasi Sudah Kebablasan
Proyek Putar Kunci, kata Mulyanto, pada umumnya dilakukan di negara-negara yang baru mulai membangun, dimana mereka tidak memiliki modal pendanaan, manajemen proyek yang handal, teknologi dan SDM terampil.
“Sehingga sesuai dengan namanya, dalam proyek ini, negara tinggal duduk manis lalu menerima dan putar kunci hasilnya saja,” jelas Mulyanto.
Indonesia saat ini, imbuhnya, sudah merdeka lebih dari 75 tahun, sangat tidak masuk akal kalau masih mengandalkan proyek putar kunci tersebut.
“Ini mencederai akal sehat dan tidak menghargai pencapaian bangsa di bidang SDM dan teknologi. Apalagi disebutkan, bahwa proyek tukar kunci ini berlaku untuk teknologi yang belum dikuasai secara domestik, baik sebagian ataupun seluruhnya,” lanjut Mulyanto.
Baca juga: Kunjungi Masyarakat di Dapil, Netty: SDM Indonesia Harus Sehat dan Berdaya
Mulyanto menyoroti isi Pasal 3 ayat (4) dari Perpres tersebut yang menyebutkan, bahwa ‘Teknologi belum dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kondisi Teknologi Industri belum dikuasai sebagian atau seluruhnya di dalam negeri.’
“Frasa ‘sebagian’ ini, sangat berbahaya karena terbuka kemungkinan, bahwa teknologi yang sudah dikembangkan dan dikuasai oleh para insinyur kita di dalam negeri menjadi termarjinalisasi tidak dapat didayagunakan,” terang Mulyanto.
Padahal, lanjut Mulyanto, setiap capaian pengembangan inovasi oleh peneliti dan insinyur dalam negeri seharusnya dapat didorong menjadi komponen dalam sistem teknologi yang ingin dibeli Pemerintah tersebut.
“Jadi, klausul ini bertentangan dengan tujuan pengadaan teknologi Industri melalui proyek putar kunci, yakni mempercepat penguasaan dan penerapan teknologi industri, agar teknologi tersebut dapat dikuasai, dimanfaatkan, dan dikembangkan di dalam negeri,” pungkas Mulyanto.
Baca juga: Aleg PKS Menolak Abu Batubara Dihapus dari Kategori Limbah B3
Seharusnya, ungkapnya, kita berjuang dan bernegosiasi dalam setiap impor teknologi kepada pihak asing, agar tingkat kandungan domestik, bisa dimasukkan semaksimal mungkin dalam proyek tersebut.
“Bukan malah dari awal kita menutup pintu untuk teknologi anak bangsa. Kita yang menutup pintu untuk diri sendiri. Ini kan menjadi aneh. Karena klausul tersebut akan membuat kita makin tergantung dan didominasi asing,” tuturnya.
Pengalaman membuktikan, kata Mulyanto, bahwa penguasaan teknologi melalui proyek putar kunci berjalan sangat lambat apalagi bila dibanding dengan reverse engineering (rekayasa terbalik) sebagaimana yang dilakukan Begawan teknologi bapak BJ Habibie dalam berbagai teknologi industri yang dikembangkan beliau di Industri Strategis.
“Berbagai kebutuhan pembangunan yang mendesak dan bersifat jangka pendek semestinya jangan sampai mengorbankan visi kemandirian dan daya saing bangsa di masa depan. Kalau demikian terus, sampai kapan kita dapat menjadi bangsa yang mandiri, unggul dan berdaya saing ?,” tegas Mulyanto ingatkan Pemerintah.