
Jakarta (03/07) — Anggota Komisi XII DPR RI Fraksi PKS, Jalal Abdul Nasir, Ak. menyampaikan pandangan kritis dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XII DPR RI bersama para pakar energi, yang membahas asumsi dasar sektor minyak dan gas bumi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2026.
Rapat tersebut menghadirkan dua narasumber utama, yakni Asri Nugrahanti dari Universitas Trisakti dan Rudi Rubiandini dari Universitas Pertamina, dengan fokus pada proyeksi harga minyak mentah Indonesia (ICP), target lifting migas, serta arah investasi sektor hulu.
Dalam forum tersebut, Jalal menegaskan bahwa penetapan ICP dan lifting migas bukan sekadar hitungan fiskal teknokratis, melainkan harus mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan serta dampaknya terhadap rakyat.
Menurutnya, ICP yang terlalu tinggi bisa menjadi bumerang dalam bentuk overestimasi penerimaan negara, sementara target lifting yang tidak realistis akan menciptakan celah fiskal dan ketidakstabilan dalam pelaksanaan anggaran negara.
Ia menekankan bahwa sektor migas, yang merupakan salah satu tulang punggung penerimaan negara, harus dikelola secara bijak dengan mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya alam, kepastian investasi, dan perlindungan terhadap masyarakat konsumen.
Jalal juga mengingatkan bahwa fluktuasi harga minyak global sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik, kebijakan OPEC, hingga kondisi pasokan dan permintaan dunia.
“Kami meminta pemerintah agar menyusun asumsi makro yang tidak terlalu optimis dan tetap berhati-hati dalam menyikapi volatilitas pasar energi global,” tegas Jalal.
Dalam paparannya, Rudi Rubiandini memberikan proyeksi bahwa rata-rata harga minyak mentah dunia yang akan menjadi dasar ICP Indonesia pada tahun 2026 berada pada kisaran USD 70 per barel. Sementara itu, target lifting minyak dan kondensat diperkirakan mencapai 620.000 barel per hari (BOPD).
Proyeksi tersebut didukung oleh berbagai rencana peningkatan produksi nasional, termasuk percepatan pengembangan lapangan migas baru, peningkatan produksi dari lapangan Cepu, penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), serta optimalisasi sumur-sumur tua dan tambang rakyat yang sudah lama tidak aktif.
Selain itu, Rudi juga memperkirakan bahwa investasi sektor hulu migas akan meningkat dari USD 16,5 miliar pada tahun 2025 menjadi USD 18 miliar pada tahun 2026, dengan asumsi perbaikan regulasi, skema kontrak yang lebih fleksibel, dan kemudahan perizinan yang semakin baik.
Menanggapi hal tersebut, Jalal menekankan bahwa semangat optimisme itu perlu dibarengi dengan kebijakan yang berorientasi pada keadilan dan kemakmuran rakyat.
Ia mengingatkan bahwa sumber daya alam yang dimiliki Indonesia harus dikembalikan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Menurutnya, asumsi ICP dan lifting migas tidak boleh ditetapkan hanya untuk mengejar angka penerimaan negara, tetapi harus mempertimbangkan keberlangsungan energi nasional, daya beli masyarakat, dan stabilitas harga energi dalam negeri.
Jalal juga menyoroti pentingnya sinergi antara sektor energi dan fiskal, terutama dalam konteks subsidi energi dan tekanan terhadap APBN. Ia berharap pemerintah tidak hanya memanfaatkan asumsi ICP sebagai alat fiskal, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk menyeimbangkan antara kepentingan negara, dunia usaha, dan masyarakat luas.
Sebagai penutup, Jalal menyampaikan bahwa Komisi XII DPR RI akan terus mengawal proses penyusunan RAPBN 2026, termasuk mengkritisi dan memberikan masukan yang konstruktif terhadap asumsi dasar sektor energi.
“DPR memiliki tanggung jawab konstitusional untuk memastikan bahwa setiap rupiah dalam anggaran negara benar-benar diarahkan demi kemaslahatan umat, kedaulatan energi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas Jalal mengakhiri.