
Jakarta (02/07) — Menyusul pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kerugian negara mencapai Rp 700 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), Anggota Komisi XI DPR RI, Amin Ak, menyatakan keprihatinan mendalam.
Kerugian fantastis ini, yang mencapai 33,3% dari total anggaran proyek sebesar Rp 2,1 triliun, dinilainya sebagai bukti kegagalan tata kelola (_governance_) dan pengawasan internal di salah satu bank BUMN terbesar Indonesia.
“Kasus ini bukan sekadar tindak pidana korupsi. Ini adalah cermin retaknya sistem tata kelola dan pengawasan di BRI, dengan implikasi serius bagi kesehatan sektor perbankan dan kepercayaan publik,” tegas Wakil Ketua Fraksi PKS itu, Rabu (02/07).
Amin menekankan bahwa besarnya kerugian mengindikasikan ambruknya prinsip transparansi, akuntabilitas, dan nilai uang (_value for money_) dalam proyek tersebut.
“Gagalnya Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan audit internal BRI dalam mendeteksi atau mencegah penyimpangan sebesar ini sangat memprihatinkan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kelemahan fatal dalam manajemen risiko operasional BRI, khususnya terkait risiko penyelewengan (_fraud_) dan reputasi, yang memungkinkan terjadinya kerugian sangat signifikan.
Politisi PKS ini mempertanyakan peran Dewan Komisaris dan Direksi BRI.
“Mereka harus mempertanggungjawabkan kelemahan pengawasan ini. Apakah ada laporan internal yang diabaikan atau sistem sengaja dibiarkan rentan?” tanyanya.
Meski BRI merupakan bank besar, Amin memperingatkan bahwa kerugian Rp 700 miliar bukanlah angka kecil. Kerugian ini langsung menggerus modal bank dan berpotensi menekan kinerja keuangan seperti Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE).
“Berdasarkan kinerja Q1 2025, kerugian ini setara dengan hampir 5% dari laba bersih BRI yang sekitar Rp 15 triliun. Ini berpotensi memengaruhi penilaian kesehatan bank (RGEC) oleh OJK, terutama pada aspek Tata Kelola (G) dan Rentabilitas (E),” paparnya.
Yang lebih dikhawatirkan adalah dampak reputasi. “BRI adalah tulang punggung pelayanan UMKM dan masyarakat luas. Skandal semacam ini berpotensi meruntuhkan kepercayaan nasabah dan investor, tidak hanya terhadap BRI tetapi juga perbankan BUMN secara keseluruhan. Kepercayaan adalah fondasi utama perbankan,” tegasnya.
Skandal di bank sebesar BRI yang masuk kategori _systemically important bank_ (SIB) berisiko memicu ketidakstabilan jika tidak ditangani dengan tegas dan transparan.
Lebih lanjut anggota BAKN DPR RI itu mempertanyakan efektivitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas temuan BPK ini.
“Apakah mekanisme pengawasan OJK, seperti laporan GCG atau pemeriksaan khusus, cukup mendalam untuk mengidentifikasi kecurangan dalam proyek non-kredit besar seperti pengadaan teknologi? Ini perlu evaluasi mendesak,” ucapnya.
Ia mendesak OJK untuk segera mengevaluasi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dan Manajemen Risiko Operasional di BRI terkait kasus ini serta memperkuat koordinasi dengan KPK.