
Jakarta (30/06) — Penerapan kebijakan co-payment atau pembayaran bersama dalam sistem asuransi kesehatan swasta menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025, aturan ini mewajibkan nasabah untuk menanggung sebagian biaya perawatan 10 persen dari total klaim. Dalam SEOJK disebutkan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS, Amin Ak menegaskan bahwa kebijakan yang diambil hendaknya mengutamakan keadilan dan perlindungan masyarakat. Ia khawatir penerapan co-payment berisiko memberatkan masyarakat.
“Kebijakan co-payment harus berpijak pada prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan konsumen. Jangan sampai kebijakan ini justru berpotensi menjadi alat bagi perusahaan asuransi untuk mengalihkan beban risiko kepada nasabah,” tegasnya.
Meski co-payment dimaksudkan untuk mengurangi moral hazard—yakni klaim berlebihan dari peserta asuransi—namun dalam praktiknya, kebijakan ini membuka peluang munculnya beban finansial tambahan bagi masyarakat.
Terlebih bagi mereka yang menderita penyakit kronis atau membutuhkan perawatan rutin, potensi beban biaya akan semakin besar.
“Klaim bahwa kebijakan ini akan membuat premi asuransi menjadi lebih terjangkau pun belum dapat dibuktikan,” ungkapnya.
Hingga kini, belum ada mekanisme yang memastikan bahwa premi akan turun sebanding dengan pengurangan klaim akibat co-payment.
Tanpa regulasi dan pengawasan yang ketat, masyarakat hanya akan menerima kewajiban tambahan, sementara keuntungan tetap bertumpu pada industri asuransi.
Ketimpangan lainnya muncul dalam perbandingan dengan sistem BPJS Kesehatan yang tidak menerapkan co-payment.
Hal ini bisa memicu migrasi besar-besaran peserta dari asuransi swasta ke BPJS, dan jika tidak diantisipasi, akan membebani sistem dan keuangan BPJS serta menurunkan kualitas pelayanan.
Di sisi lain, co-payment juga dinilai tidak menjawab masalah utama dalam sistem asuransi dan layanan kesehatan, seperti markup biaya rumah sakit, klaim fiktif, dan fraud yang masih marak.
Tanpa pembenahan menyeluruh terhadap sistem pengawasan, langkah ini justru bisa menjadi distraksi yang membebani konsumen tanpa menyelesaikan akar persoalan.
Wakil Ketua Fraksi PKS itu pun mengusulkan sejumlah langkah perbaikan.
Pertama, Kementerian terkait dan OJK perlu meninjau ulang kebijakan co-payment secara menyeluruh. Kedua, layanan esensial seperti penyakit kritis, gawat darurat, serta tindakan preventif harus dikecualikan dari co-payment.
Ketiga, harus ada jaminan bahwa premi asuransi diturunkan secara proporsional dengan pengurangan klaim. Selanjutnya, pengawasan terhadap industri asuransi dan rumah sakit wajib diperkuat, termasuk transparansi tarif dan sistem audit klaim yang melibatkan BPJS dan OJK.
Amin juga mendorong agar insentif bagi nasabah yang jarang klaim, seperti no-claim bonus, harus diterapkan untuk mendorong perilaku sehat dan adil.
Selain itu, sosialisasi menyeluruh mengenai hak dan kewajiban nasabah dalam skema co-payment juga sangat diperlukan agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap layanan asuransi komersial.
Amin juga menegaskan bahwa Kementerian Kesehatan dan regulator keuangan diminta memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menguntungkan perusahaan asuransi, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dalam bentuk premi yang lebih terjangkau dan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
“Fraksi PKS akan terus mengawal isu ini agar kepentingan rakyat tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan,” pungkasnya.