Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Narsum Webinar Nasional, Habib Idrus Bangkitkan Gairah Ideologis Anak Bangsa ; Pancasila Harus Dihidupi Bukan Dihafal

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (27/06) — Webinar bertema ‘Revitalisasi Semangat Pancasila untuk Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat dan Berkeadilan’ yang diselenggarakan oleh Kominfo Digital (Komdigi) bersama DPR RI sukses menggugah kesadaran ideologis ratusan peserta dari seluruh Indonesia.

Kegiatan yang menghadirkan Habib Idrus Salim Aljufri sebagai pembicara kunci ini diikuti oleh lebih dari 250 peserta melalui platform Zoom Meeting, menunjukkan bahwa semangat Pancasila tetap menjadi kebutuhan zaman.

Habib Idrus membuka paparannya dengan mengulas akar sejarah perumusan Pancasila dalam sidang BPUPKI, menggambarkan bahwa lima sila itu bukan sekadar dokumen konstitusional, melainkan buah refleksi mendalam atas identitas bangsa Indonesia yang majemuk.

Ia menekankan bahwa demokrasi di Indonesia tidak akan pernah utuh tanpa semangat Pancasila sebagai penuntun nilai.

“Musyawarah, keadilan, dan kemanusiaan adalah inti dari demokrasi kita. Tanpa itu, demokrasi hanya prosedur kosong,” ujarnya.

Habib Idrus juga menggarisbawahi sila keempat tentang kerakyatan melalui musyawarah mencerminkan model demokrasi khas Indonesia—bukan tirani mayoritas, bukan otoritarianisme minoritas. Demokrasi harus dijalankan dengan hikmat kebijaksanaan dan menjamin keadilan sosial sebagaimana diamanahkan sila kelima.

“Revitalisasi semangat Pancasila adalah pekerjaan besar yang harus melibatkan semua unsur bangsa, mulai dari pendidikan hingga kebijakan publik,” tuturnya.

Paparan selanjutnya disampaikan oleh Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga, Henri Subiakto,

Ia menyampaikan bahwa Pancasila adalah hasil kesadaran historis bangsa Indonesia sebagai ‘imagined community’ yang dibentuk dari pengalaman bersama—dari Sriwijaya, Majapahit, kolonialisme, hingga kemerdekaan.

Menurutnya, Pancasila bukan produk kompromi politik semata, tapi hasil dari perjuangan moral dan intelektual.

“Pancasila menyatukan perbedaan. Ia bukan alat hegemoni, melainkan ruang kesepahaman. Maka ia harus dijaga dengan pendidikan, etika digital, dan keteladanan,” tegasnya.

Peneliti dari CEPP FISIP Universitas Indonesia, Erina Fionita Nurfajila melanjutkan dengan menyoroti praktik demokrasi di Indonesia pasca-reformasi yang seringkali terlepas dari nilai-nilai Pancasila.

Ia menyebut meningkatnya polarisasi politik, ujaran kebencian, dan apatisme pemilih muda sebagai gejala demokrasi yang kehilangan ruh ideologisnya.

“Demokrasi tanpa etika akan mengarah pada kekacauan. Dan etika politik kita adalah Pancasila. Maka Pancasila harus dihidupi, bukan sekadar dihafal,” tegasnya.