
Jakarta (23/06) — Konflik geopolitik yang memanas antara Iran dan Israel, dengan keterlibatan Amerika Serikat, dinilai telah menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas ketahanan pangan Indonesia.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Johan Rosihan, menegaskan bahwa situasi ini telah menjelma menjadi krisis global yang menuntut respons kebijakan cepat dan strategis dari pemerintah.
“Perang yang terjadi di Timur Tengah kini menjelma menjadi krisis global yang turut mengancam stabilitas harga pangan di dalam negeri,” ujar Johan Rosihan dalam keterangannya di Jakarta.
Johan menyoroti dampak langsung konflik ini terhadap lonjakan harga minyak mentah global.
“Harga Brent pernah menyentuh 93 dolar AS per barel. Di Indonesia, ini artinya biaya distribusi pangan naik, transportasi terganggu, dan ongkos usaha tani melonjak. Petani kita menanggung beban ganda,” jelasnya.
Meskipun data terkini per Mei-Juni 2025 menunjukkan harga minyak Brent berada di kisaran $79.21 per barel dan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) turun menjadi $62.75 per barel pada Mei 2025 dari $76.81 pada Januari 2025, volatilitas harga tetap menjadi risiko fundamental yang mengancam stabilitas biaya produksi dan distribusi pangan.
Sebelumnya, Rosihan juga menyatakan bahwa harga input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida naik hingga 26%, yang memperparah beban petani. Namun, data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan gambaran yang lebih bernuansa. Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Desember 2024 justru menunjukkan kenaikan sebesar 1,23%, mencapai 122,78.
Peningkatan ini terjadi karena Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik 1,83%, lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) sebesar 0,60%.
Ini mengindikasikan adanya perbaikan kesejahteraan petani secara umum pada akhir tahun 2024. Pemerintah juga telah mengalokasikan Rp 46,8 triliun untuk subsidi pupuk pada tahun 2025, dengan harga pupuk bersubsidi sekitar Rp 2.000-an per kg.
Di sisi lain, tekanan inflasi pangan juga menjadi perhatian serius. Johan Rosihan menyebutkan daya beli masyarakat melemah akibat inflasi pangan yang mencapai lebih dari 2% dalam beberapa bulan terakhir.
Data BPS per Mei 2025 menunjukkan inflasi tahunan (y-on-y) sebesar 1,60%, dengan deflasi bulanan (m-to-m) sebesar 0,37% untuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Meskipun demikian, inflasi komponen harga bergejolak (volatile food) pada April 2024 masih cukup tinggi, yaitu 9,63% secara tahunan.
Dampak dari kenaikan harga bahan pokok melampaui indikator ekonomi semata. Kenaikan harga ini secara langsung menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, peningkatan angka kemiskinan, dan masalah gizi serta kesehatan, terutama di kalangan anak-anak.
Krisis pangan juga dapat memicu ketidakpuasan dan keresahan sosial, bahkan berujung pada protes atau penjarahan oleh kelompok masyarakat rentan.
Indonesia sendiri pernah menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam tingkat kelaparan di kawasan ASEAN pada tahun 2020.
“Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem pangan nasional kita masih sangat rentan terhadap guncangan global. Ketergantungan impor untuk komoditas strategis seperti kedelai, gandum, dan bawang putih semakin memperparah risiko ketahanan pangan,” tegas Johan.
Data menunjukkan ketergantungan impor kedelai mencapai 78,44%, gandum hampir 100%, dan bawang putih mencapai 90,64% bahkan 95% pada Desember 2023.
Menanggapi kerentanan ini, Johan Rosihan mendesak pemerintah untuk mendorong transformasi kebijakan yang komprehensif menuju kemandirian pangan jangka panjang.
“Langkah reaktif seperti penambahan impor atau operasi pasar belum cukup menjawab tantangan struktural tersebut,” katanya.
Solusi yang diusulkan mencakup Percepatan Transisi Energi di Sektor Pertanian: Rosihan mencontohkan keberhasilan pemanfaatan pompa listrik untuk irigasi di Kabupaten Cirebon yang menekan biaya dari Rp4,8 juta menjadi hanya Rp720 ribu per musim tanam.
Program ‘Electrifying Agriculture’ oleh PLN telah menunjukkan dampak positif signifikan, dengan lebih dari 240.000 peserta di seluruh Indonesia pada akhir 2023, dan konsumsi listrik khusus untuk EA meningkat 9% menjadi lebih dari 5 Terawatt-jam (TWh). Penggunaan motor listrik terbukti lebih efisien dibandingkan diesel, menghasilkan penghematan biaya bahan bakar sekitar 183%.
Selain itu, Johan juga menyebutkan soal Penguatan Hilirisasi Pangan Lokal: Hilirisasi, yaitu pengolahan produk pertanian mentah menjadi barang olahan bernilai tambah tinggi, dapat meningkatkan pendapatan petani dan pelaku usaha.
Setiap peningkatan satu unit kebijakan hilirisasi dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan di sektor pertanian sebesar 3,309 unit, Hilirisasi juga menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi ketergantungan impor, dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Menteri Pertanian bahkan menargetkan peningkatan ekspor kelapa dari Rp.20 triliun menjadi Rp.60 triliun melalui hilirisasi, ungkapnya
Pengembangan Sistem Distribusi Terintegrasi Berbasis Energi Terbarukan.
“Konsep ini, yang merupakan perpanjangan logis dari transisi energi di sektor pertanian, bertujuan untuk mengurangi biaya logistik, meminimalkan kerugian pascapanen, dan memastikan ketersediaan pangan yang lebih stabil di seluruh wilayah,” tambah Johan
“Jika negara ingin tahan terhadap krisis global, maka dapur rakyat harus dijaga. Ketahanan pangan harus menjadi prioritas kebijakan fiskal, energi, dan perdagangan kita,” kata Johan.
Pernyataan ini, imbuh Johan, menggarisbawahi bahwa ketahanan pangan bukan sekadar isu ekonomi atau pertanian, melainkan pilar fundamental dari stabilitas dan pertahanan nasional.
“Krisis pangan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial yang mendalam. Mengintegrasikan ketahanan pangan ke dalam strategi pertahanan nasional adalah hal yang terpenting untuk menjaga ketahanan jangka panjang, kedaulatan, dan kesejahteraan warga negara,” ungkap Johan mengakhiri pernyataannya.