
Jakarta (20/06) — Salah satu kegiatan di masa reses yang dilakukan Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah adalah meninjau pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di beberapa sekolah di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Hasil kunjungan dan serap aspirasi tersebut dirangkum Ledia dalam empat catatan.
Pertama, dari hasil kunjungan ke beberapa sekolah ini terungkap bahwa kebutuhan akan program MBG ini tidak merata keseluruhannya.
Ada sejumlah sekolah yang memang kondisi sebagian besar siswanya dari kalangan tidak mampu atau hampir semuanya tidak mampu. Yang memang kalau pagi-pagi mereka sulit untuk sarapan, tidak punya bekal, dan lain sebagainya. Maka sekolah ini tentu menjadi prioritas utama.
Sementara ada sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari keluarga mampu sehingga tidak begitu memerlukan program MBG.
“Mengingat pelaksanaan program ini membutuhkan dana sangat besar dan saat ini bahkan belum bisa menjangkau semua sekolah di seluruh Indonesia, maka diperlukan pendataan yang lebih jelas agar diperoleh informasi akurat mana-mana sekolah yang harus diprioritaskan menerima program MBG ini,” kata Ledia
Kedua, perlu efisiensi jumlah paket makanan, dengan tidak menyamaratakan jumlah paket makanan setiap hari. Sebab setiap sekolah umumnya sudah punya ukuran rata-rata berapa yang tidak hadir di sekolah dalam satu hari. Misalnya pada salah satu SMP yang dikunjungi, rata-rata ada 60 siswa dari 800 siswa tidak hadir setiap harinya. Namun selalu dikirim 800 paket makanan sesuai jumlah siswa sehingga ada kelebihan puluhan paket makanan setiap hari.
“Kalau sudah punya ukuran rata-rata ini, mungkin tidak harus dikirim 800 paket makanannya, bisa saja 750 cukup. Agar apa? Agar kita bisa melakukan efisiensi dan mencegah pemborosan. Efisiensi anggaran bisa terbukti dari sini. Bukan menyatakan efisiensi tetapi dengan cara dikurangi mutu atau kualitas produknya,” saran aleg dapil Jawa Barat 1 ini pula.
Urusan kelebihan makanan ini bukan perkara remeh. Sebab kelebihan hingga puluhan paket makanan setiap hari tentu memiliki dampak anggaran yang cukup besar dalam hitungan bulan, semester hingga tahun.
“Karena di sini kita bicara program yang dibiayai oleh APBN, oleh dana dari pajak masyarakat juga, maka kasus kelebihan pengiriman makanan hingga berjumlah bukan sekedar satu dua tapi puluhan dan terjadi setiap hari tentu bertolak belakang dari semangat efisiensi,” lugasnya.
Sebenarnya, lanjut Ledia, upaya meminimalisir kelebihan pengiriman ini memungkinkan terjadi kalau antara pihak sekolah dan dapur MBG bisa melakukan koordinasi.
“Makanan itu kan diantar siang ya, diolah sejak pagi. Bagi yang dapurnya cukup dekat, masih dalam kisaran satu kecamatan misalnya, sekitar jam 07.00 pagi kan sudah bisa dilaporkan, berapa siswa yang tidak hadir. Dari 800 siswa, yang tidak hadir 60 orang. Maka bisa dikirim 750 paket saja, masih ada lebih tapi tidak banyak. Masih memadailah gitu. Cuma orang suka berpikir ah repot, ribet kalau ada ganti-ganti jumlah tiap hari. Padahal lama-lama akan ketemu polanya, dan bisa diminimalisir kelebihan paket tidak lebih dari 10 misalnya. Pihak dapur yang terbiasa memegang beberapa sekolah tentu bisa mengatur hal ini.”
Ketiga, terkait dengan sampah sisa makanan. Tanpa menghitung kelebihan makanan saja, paket MBG ini setiap hari menyisakan sampah, seperti kulit buah, kotak bekas susu, serta sisa makanan yang tidak habis dimakan siswa. Satu dua hari masih aman, namun setelah berbilang pekan dan bulan beberapa sekolah mulai memiliki problem baru; pengelolaan sampah.
Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini lantas menceritakan curhat kepusingan sekolah soal cara pengelolaan sampah.
“Sampah diproduksi setiap hari padahal tidak semua wilayah punya sistem pengelolaan sampah yang baik dan cepat. Beberapa sekolah jadi curhat terkait PR baru soal pengelolaan sampah ini. Sekolah pada akhirnya memerlukan bantuan dalam hal pengelolaan sampah.
Entah akan dimagotisasi, dikomposting, mau diapain juga itu sampah tentu harus disiapkan agar tidak menumpuk dan menjadi sumber masalah baru. Artinya, perlu koordinasi juga antara sekolah dan pihak terkait seperti RW dan Kelurahan.”
Terakhir, dari hasil pengamatan ini, perjalanan kunjungan kerja dan juga beberapa laporan yang masuk pada Komisi X DPR RI terungkap bahwa kebutuhan prioritas utama program MBG ini lebih nyata diperlukan pada daerah-daerah 3T.
“Daerah 3T, daerah tertinggal, terdepan, terluar, itu sungguh sangat perlu diafirmasi agar percepatan ketercapaian gizi sehari-harinya itu bisa memadai. Angka kurang gizi, stunting, itu banyak ditemukan pada daerah 3T.”
Karena itu Ledia mengingatkan Pemerintah agar menempatkan prioritas program MBG ini utamanya pada daerah 3T disusul pada daerah lain dengan prioritas pemberian program bagi sekolah yang memiliki mayoritas siswa dari golongan masyarakat menengah ke bawah.
“Ini tentu memerlukan pendataan yang tepat agar program ini bisa benar-benar mendorong peningkatan gizi anak-anak Indonesia masa depan.” Tutupnya.