Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Maluku Harus Menjadi Pusat Budidaya Rumput Laut Nasional

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh: Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Komisi IV, Dapil Maluku, FPKS)

Dari balik garis pantai panjang yang membentang lebih dari sebelas ribu kilometer, Maluku merupakan gugusan pulau nan elok. Ia adalah hamparan potensi biru yang belum sepenuhnya digarap dengan serius oleh negara.

Salah satu potensi unggulannya adalah rumput laut. Komoditas ini tumbuh subur di perairan tropis kita, tidak rewel, tidak membutuhkan pakan, dan dapat tumbuh pesat hanya dengan cahaya matahari dan kejernihan laut. Namun yang lebih penting, ia tumbuh seiring harapan masyarakat pesisir untuk keluar dari belenggu kemiskinan.

Dalam data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2022, produksi rumput laut nasional mencapai 9,28 juta ton. Nilai produksi nasional yang tercatat dari data 2021 berada di kisaran Rp. 28,48 triliun.

Dari jumlah itu, Provinsi Maluku menyumbang sekitar 267.677 ton, menempatkannya di urutan kedelapan secara nasional. Bukan angka kecil, tetapi masih jauh dari mencerminkan potensi sesungguhnya.

Sebab Maluku memiliki 92,4% wilayah laut, menyimpan salah satu perairan terdangkal dan terjernih di Indonesia, serta berada di zona tropis yang cocok bagi pertumbuhan jenis ‘Kappaphycus alvarezii’ dan ‘Gracilaria spp’. dua jenis rumput laut yang menjadi primadona dunia dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, hingga bioenergi.

Rumput laut bukan hanya produk basah yang dibudidayakan dan dipanen untuk dikeringkan. Ia adalah masa depan industri berbasis hayati. Data FAO tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia mendominasi produksi global untuk ‘Kappaphycus alvarezii’ dan ‘Gracilaria’, dua bahan baku utama dalam pembuatan karaginan dan agar-agar.

Karaginan sendiri merupakan bahan pembentuk gel dan pengental yang digunakan dalam industri makanan olahan, perawatan tubuh, hingga kosmetik. Nilai pasar globalnya pada 2022 mencapai USD 1,87 miliar, dan akan terus tumbuh seiring meningkatnya permintaan terhadap produk berbasis tumbuhan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Maluku, dengan segenap kekayaan lautnya, harus disiapkan menjadi pusat budidaya dan hilirisasi rumput laut nasional.

Bayangkan sebuah kawasan industri biru di Pulau Buru atau Seram, di mana para petani rumput laut tak hanya menjual produk kering, tapi juga mengolahnya menjadi pasta karaginan siap ekspor.

Bayangkan ribuan pemuda Maluku yang kembali ke kampung untuk bekerja di sektor budidaya laut, memanen harapan di antara barisan tali bentang rumput laut yang melambai di dasar laut. Bayangkan ekspor langsung dari pelabuhan-pelabuhan pesisir ke Jepang, Korea, atau Amerika, bukan lagi melalui Surabaya atau Makassar.

Namun tentu saja, potensi tanpa ekosistem pendukung hanya akan jadi narasi tanpa makna. Kita masih menghadapi keterbatasan bibit unggul, infrastruktur pelabuhan yang belum memadai, minimnya teknologi pascapanen, dan fluktuasi harga akibat dominasi tengkulak. Apalagi belum ada kawasan ekonomi khusus (KEK) yang didedikasikan khusus untuk industri rumput laut di timur Indonesia.

Di sinilah negara harus hadir lebih progresif. Pemerintah harus menetapkan Maluku sebagai sentra budidaya dan industri rumput laut berbasis ekonomi biru melalui regulasi yang kuat dan terukur. Harus ada peta jalan yang mengintegrasikan riset bibit fast growth, pelatihan petani, jaminan harga dasar, pembangunan pabrik pengolahan skala menengah, dan kebijakan fiskal yang mendorong investasi swasta.

Kita bisa belajar dari Cina yang mendominasi pasar global karaginan karena berhasil mengembangkan sistem industri berbasis riset dan integrasi hulu-hilir. Padahal mereka sendiri tetap bergantung pada pasokan rumput laut dari Indonesia—sebesar 92% bahan baku karaginan diimpor dari negara kita. Ironis bukan? Kita ekspor bahan mentah, mereka ekspor nilai tambah.

Maka tidak berlebihan jika kita dorong Maluku untuk tidak lagi sekadar menjadi ‘ladang rumput laut dunia’, tetapi menjadi pusat pengolahan dan inovasi bioteknologi kelautan yang membanggakan.

Sebagai wakil rakyat dari Maluku yang duduk di Komisi IV DPR RI, saya memandang inisiatif ini bukan sekadar ambisi lokal. Ini adalah bagian dari strategi nasional untuk membangun Indonesia dari pinggiran, dari pulau-pulau terluar, dari laut kita yang luas.

Dalam visi Indonesia Emas 2045, kita tak bisa lagi bergantung pada komoditas tambang dan ekspor mentah. Kita perlu ekonomi baru yang menyatu dengan alam, memperkaya rakyatnya tanpa merusak warisan ekologi.

Rumput laut adalah jawabannya. Maluku adalah tempatnya. Tinggal keberanian kita untuk menjadikannya nyata.