
Jakarta (16/06) — Kasus penambangan nikel hampir mencapai puncak, pencabutan izin 4 perusahaan oleh negara memberikan jaminan bahwa operasional penambangan itu illegal dan merugikan negara dan rakyat.
Efek ekonomi yang dirasakan oleh nelayan dan masyarakat jauh lebih besar saat Raja Ampat belum di eksplorasi tambang nikelnya. Ecowisata dan harmoni alam menjadikan Raja Ampat destinasi wisata laut yang mendukung ekonomi warga.
“Ekonomi itu terdefinisi bukan semata soal uang yang diterima oleh negara, tetapi ekonomi adalah uang yang bisa didapatkan oleh rakyat sebagai penjaga dan pelestari Raja Ampat, nampaknya para penjarah sudah lupa akan makna Pancasila sebagai jalan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” papar Riyono Caping.
Selain merugikan nelayan dan masyarakat adat jelas sekali kegiatan eksplorasi ini melanggat UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU itu turut melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi.
“Kalau sudah jelas merugikan nelayan, melanggar UU, merugikan masyarakat adat. Kenapa di pertahankan? Cabut dan larang selamanya aktifitas disana” tambah Riyono.
Lemahnya pengawasan dan longgarnya perizinan yang akhirnya membuat kerusakan dahsyat bagi lingkungan dan rakyat. Kejadian ini memicu dan membangun persepsi bahwa seolah negara kalah oleh korporasi dan oligarki.
“Kepentingan nelayan dan masyarakat adat harus di atas kepentingan perusahaan, rakyat adalah tugas negara mensejahterakan dengan potensi lokal yang ada. Kalau justru rakyat terpinggirkan maka sejatinya kita lupa akan ekonomi rakyat kita sendiri” tutup Riyono.