
Oleh : Komjen Pol (Purn) Drs. H. Adang Daradjatun (Anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi PKS)
Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga sebesar 280 persen sebagai bagian dari agenda reformasi hukum dan peradilan. Kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari apresiasi terhadap komitmen memperkuat independensi lembaga yudikatif hingga kritik atas efektivitasnya dalam menghapus budaya korupsi di lingkungan peradilan. Namun, penting bagi kita, untuk melihat persoalan ini secara lebih menyeluruh.
Dalam hal ini Saya menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Presiden Prabowo atas langkah progresif dalam meningkatkan kesejahteraan para hakim melalui kebijakan kenaikan gaji hakim di seluruh Indonesia.
Keputusan ini merupakan angin segar bagi dunia peradilan dan akan berdampak positif terhadap peningkatan integritas serta kualitas kinerja di lembaga peradilan. kebijakan ini menjadi awal dari langkah-langkah lain yang mendukung reformasi sektor hukum secara menyeluruh, termasuk peningkatan fasilitas, pelatihan berkelanjutan, serta pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja hakim.
Di satu sisi saya melihat fakta dalam setiap kunjungan kerja Komisi III DPR RI, kerap ditemukan bahwa kesejahteraan hakim-hakim di daerah masih menjadi perhatian utama. Kesejahteraan ini mencakup tunjangan, fasilitas, transportasi, dan kondisi kerja yang masih dianggap belum memadai.
Komisi III kemudian menyampaikan rekomendasi ke Mahkamah Agung (MA) agar lebih memperhatikan kesejahteraan hakim di daerah, terutama terkait tunjangan pengganti rumah dinas yang dinilai masih kecil.
Disisi lain kita masih teringat baru-baru ini terkait dugaan praktik suap yang melibatkan Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait putusan lepas dalam perkara tindak pidana korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Hal ini menjadi fakta yang mencengangkan publik dengan nilai suap yang cukup besar yaitu 60 milyar rupiah yang tidak hanya melibatkan Hakim, juga Panitera Muda, Advokat dan pihak Swasta.
Belum lagi kasus-kasus lain sebelumnya yang melibatkan Hakim/Oknum Institusi Peradilan yang melibatkan Hakim yang bermasalah dengan hukum seperti : Gazalba Saleh (Hakim Agung) kasus Suap dan gratifikasi dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung, Hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo (Hakim di PN Surabaya) dalam kasus Gregorius Ronald Tannur dugaan suap dalam perkara penganiayaan yang berakibat kematian Dini Sera Afrianti, dan Zarof Ricar (Pejabat MA) kasus didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 915 miliar plus 51 kg emas.
Melihat kedua fakta tersebut, berikut beberapa pendekatan dalam mereformasi sistem lembaga peradilan di Indonesia :
Pertama, Langkah Strategis untuk Menjamin Integritas.
Secara prinsip, peningkatan kesejahteraan hakim adalah langkah positif. Dalam sistem peradilan yang sehat, hakim harus terbebas dari tekanan ekonomi agar dapat bersikap adil, objektif, dan tidak tergoda suap.
Selama ini, rendahnya gaji dan fasilitas sering dijadikan dalih pembenar dalam kasus gratifikasi di lingkungan pengadilan, terutama di daerah.
Dengan gaji yang memadai, Presiden Prabowo berharap akan muncul pengaruh yang positif terhadap praktik-praktik korupsi kecil maupun besar. Di atas kertas, ini merupakan bagian dari strategi nasional pemberantasan korupsi secara struktural.
Kedua, Pendekatan Holistik: Lebih dari Insentif Finansial
Reformasi peradilan tidak cukup hanya dengan menaikan gaji aparat penegak hukum. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih holistik atau menyeluruh, yang menyentuh kepada akar permasalahan di dalam sistem hukum kita.
Digitalisasi layanan publik, penguatan sistem pengawasan internal, serta reformasi birokrasi adalah elemen-elemen penting yang harus menjadi bagian dari agenda reformasi menyeluruh.
Digitalisasi dapat mencegah praktik-praktik transaksional di meja pelayanan hukum. Penguatan sistem pengawasan internal, baik di Mahkamah Agung, Kejaksaan, maupun Kepolisian, diperlukan agar lembaga-lembaga tersebut tidak lepas dari kontrol.
Ketiga, Etika Kekuasaan dan Akuntabilitas : Pilar yang Terlupakan
Selain aspek struktural, reformasi juga harus menekankan pentingnya etika kekuasaan dan akuntabilitas lembaga peradilan.
Ini mencakup dorongan untuk evaluasi independen terhadap sistem pengawasan hakim dan aparat penegak hukum lainnya. Tidak kalah penting adalah mendorong keteladanan moral dari pejabat publik sesuatu yang semakin langka namun sangat dibutuhkan dalam membangun kepercayaan publik terhadap hukum.
Etika dan moral dalam menjaga integritas Hakim adalah merupakan amanah dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang harusnya di junjung tinggi, sebagaimana di sebutkan dalam Pasal 3 ayat (1-3) dan Pasal 5 ayat (1-3).
Masyarakat butuh melihat bahwa pejabat publik tidak hanya bersih, tapi juga berani menegakkan nilai-nilai keadilan meskipun terhadap sesama penyelenggara negara.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) :
Pertama, Momentum Reformasi Peradilan Indonesia
Kita ketahui bersama RUU KUHAP tengah dibahas pemerintah dan DPR RI akan menjadi momen penting dalam mendorong reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. RUU ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan pembaruan terhadap KUHAP yang telah berlaku sejak 1981 dan dinilai sudah tidak lagi sepenuhnya relevan dengan tantangan hukum masa kini.
Salah satu pembahasan yang akan menjadi bagian dari reformasi hukum kita adalah, akan mengatur lebih jelas mengenai mekanisme praperadilan dan memperluas kewenangannya agar menjadi alat kontrol yang lebih efektif terhadap penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum.
Selain itu, RUU KUHAP juga berupaya menyesuaikan dengan prinsip-prinsip peradilan modern seperti keadilan restorative/restorative justice, pemanfaatan teknologi informasi dalam proses peradilan serta melindungi kelompok rentan.
Hal ini menunjukkan komitmen untuk menjadikan sistem peradilan pidana lebih transparan, akuntabel, dan humanis.
Pemberantasan korupsi dan perbaikan sistem hukum bukan sekadar proyek lima tahunan atau bergantinya rezim, tapi lebih mengedepankan kepada pandangan yang visioner dan investasi jangka panjang untuk peradaban dan kemajuan bangsa.
Yang tidak kalah pentingnya untuk menjadi perhatian adalah sikap moral para Penegak Hukum, karena pada hakikatnya keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan pelanggaran hukum sangat dipengaruhi oleh moralitas, mentalitas, dan kepribadian para Penegak Hukum itu sendiri.
Kenaikan gaji hakim patut diapresiasi sebagai upaya Presiden Prabowo membangun sistem hukum yang lebih bermartabat. Namun, langkah ini harus dibarengi dengan reformasi struktural dan budaya hukum khususnya di lembaga peradilan, tanpa kontrol dan komitmen etika dan moral, kebijakan ini bisa menjadi tidak berarti.
Dari kebijakan ini diharapkan tercipta keinginan rakyat yaitu meningkatnya pelayanan dan penegakan hukum yang lebih baik, berkeadilan, mempunyai nilai kebermanfaatan dan tentunya kepastian hukum.