
Jakarta (14/06) — Anggota Komisi II DPR RI Ateng Sutisna memberikan tanggapan terkait pernyataan Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja yang menekankan pentingnya pengawasan partisipatif masyarakat sebagai fondasi utama dalam menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap pelaksanaan Pemilu 2029.
Ateng mengapresiasi komitmen Bawaslu, namun menekankan bahwa peran pengawasan tidak bisa hanya bersifat pasif dan simbolik, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
“Saya menyambut baik inisiatif Bawaslu dalam memperluas edukasi dan sosialisasi pengawasan partisipatif. Tetapi, Bawaslu jangan hanya bersifat reaktif dengan menunggu laporan atau aduan dari masyarakat. Pengawasan yang efektif harus proaktif, sistematis, dan melibatkan elemen masyarakat sebagai pengawas independen,” ujar Ateng.
Menurutnya, keberhasilan pengawasan partisipatif sangat ditentukan oleh pola komunikasi dan distribusi pengetahuan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, ia mendorong Bawaslu agar meniru langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang secara konsisten melakukan sosialisasi pendidikan pemilih di berbagai wilayah secara berkala.
“Bawaslu juga perlu memiliki program serupa yang fokus pada peran masyarakat dalam pengawasan. Saya menyarankan agar Bawaslu bermitra dengan Komisi II DPR, untuk melakukan sosialisasi bersama secara berkala di daerah-daerah pemilihan,” jelasnya.
Lebih jauh, Anggota Fraksi PKS ini melihat bahwa masih terdapat sejumlah keterbatasan dalam kapasitas kelembagaan dan teknis pengawasan di tubuh Bawaslu. Jika memang belum tersedia perangkat dan infrastruktur pengawasan langsung yang mencukupi, ia mendorong Bawaslu agar tidak ragu mengajukan perencanaan program beserta anggarannya kepada DPR.
“Kalau masalahnya adalah keterbatasan perangkat atau anggaran, sampaikan ke DPR. Kami bisa bantu teruskan ke Pemerintah untuk dipertimbangkan dalam perencanaan anggaran ke depan. Jangan sampai semangat pengawasan partisipatif terhambat karena kendala teknis,” tegasnya.
Di sisi lain, ia juga menyoroti aspek regulasi yang mungkin menghambat peran aktif Bawaslu. Jika ternyata undang-undang atau peraturan yang ada belum cukup memadai untuk memperkuat posisi Bawaslu dalam pengawasan langsung, maka ia membuka peluang untuk melakukan revisi hukum melalui mekanisme legislasi DPR.
“Kalau memang payung hukum yang ada masih terbatas, maka Bawaslu bisa mengajukan revisi ke Komisi II DPR. Kita bisa duduk bersama, bahas, dan susun peraturan baru yang lebih progresif dan menjawab kebutuhan zaman,” ungkapnya.
Ia kemudian menyampaikan filosofi penting dalam demokrasi elektoral, yaitu adanya keseimbangan antara pelaksana dan pengawas pemilu.
“Bawaslu seharusnya mengawasi pemilu dengan dua kali lebih jujur dan adil. Artinya, Bawaslu harus menjadi garda terdepan dalam menjamin transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam setiap tahapan pemilu,” pungkasnya.