Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Menggesa Transformasi SDM Indonesia

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Dr. Jazuli Juwaini, MA (Ketua Umum IKADIM, Anggota DPR, dan Dosen Pascasarjana Ilmu Manajemen)

PADA akhir Mei 2025, Ikatan Doktor Ilmu Manajemen (IKADIM) menggelar diskusi dan peluncuran buku yang berjudul “Transformasi Manajemen SDM di Era Digital: Inovasi, Teknologi, dan Strategi Masa Depan” di Jakarta. Buku yang ditulis oleh 32 Profesor dan Doktor Ilmu Manajemen ini sejatinya berangkat dari kegelisahan sekaligus harapan terhadap kondisi dan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi era teknologi dan bonus demografi.

Sebagai perkumpulan ilmuwan dan praktisi manajemen SDM, IKADIM merasa terpanggil untuk melakukan aksi nyata dengan satu kesadaran bahwa transformasi SDM digital memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Maka lahirlah buku setebal 600 halaman lebih—yang tidak hanya menyajikan teori, tetapi juga praktik dan model implementasi yang dapat dijadikan rujukan strategis oleh pemerintah pusat dan daerah, organisasi sosial, dunia usaha, hingga lembaga pendidikan.

Disrupsi Teknologi dan Ragam Penyikapannya

Dunia tengah bergerak memasuki era teknologi yang revolusioner. Perkembangan pesat dalam kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan otomasi telah mendesrupsi hampir seluruh sendi kehidupan manusia. Transformasi ini bukan hanya mempercepat proses produksi, informasi, dan komunikasi, tetapi juga mendefinisikan ulang hubungan antara manusia dan teknologi itu sendiri.

Pada kenyataannya, disrupsi teknologi ini tidak datang dengan kesiapan yang merata di berbagai belahan dunia. Banyak negara, terutama negara berkembang, justru terjebak dalam posisi sebagai pasar (konsumen) teknologi, bukan penemu dan pencipta (inovator) teknologi. Hal ini diperparah dengan kondisi lemahnya keterampilan SDM di negara-negara berkembang dalam beradaptasi dengan teknologi.

Alhasil ketidaksiapan dalam menghadapi arus teknologi ini mengakibatkan ketergantungan yang tinggi negara berkembang terhadap negara maju di satu sisi dan munculnya berbagai masalah sosial ekonomi di sisi yang lain. Sebaliknya, kita mendapati negara-negara yang memiliki visi dan strategi yang jelas mampu menjadikan kemajuan teknologi sebagai peluang.

Jepang misalnya, alih-alih hanya mengikuti jejak paradigma Industri 4.0 yang berbasis pada efisiensi dan otomatisasi, mereka mengembangkan paradigma sendiri yaitu Society 5.0 yang menekankan pada harmoni antara manusia dan teknologi. Konsep Society 5.0 mengedepankan pemanfaatan teknologi digital untuk menyelesaikan tantangan sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Ini merupakan contoh bagaimana sebuah bangsa dapat menundukkan teknologi pada kebutuhan manusia, bukan sebaliknya.

Perbedaan pendekatan ini mencerminkan bagaimana kesiapan dan visi suatu negara dalam menyikapi transformasi teknologi sangat menentukan peran yang akan mereka mainkan—apakah sebagai pelaku utama atau hanya sebagai pasar.

Integrasi Teknologi dan Tren Demografi

Perkembangan pesat teknologi hari ini nyatanya tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan tren demografi global yang beragam. Beberapa negara seperti Jepang, China, dan beberapa negara Eropa mengalami stagnasi, pelambatan, atau bahkan penurunan populasi.

Sebaliknya, negara-negara seperti India, beberapa negara Afrika, dan Indonesia tengah menghadapi surplus populasi yang kemudian dalam perspektif optimistik disebut sebagai bonus demografi—yaitu kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif mendominasi struktur demografi. Fenomena ini membawa peluang sekaligus tantangan besar.

Bonus demografi, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi momentum emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jika tidak dikelola secara strategis, justru dapat menjadi beban sosial dan ekonomi yang berat sehingga bisa menjadi bencana demografi.

Indonesia diperkirakan akan mengalami puncak bonus demografi pada rentang waktu 2020 hingga 2035. Ini adalah momen yang sangat menentukan masa depan bangsa, khususnya dalam konteks kesiapan sumber daya manusia menghadapi era digital, karena di saat kita surplus tenaga kerja produktif saat yang sama banyak pekerjaan justru tergantikan oleh teknologi. Otomatisasi, robotik, dan AI mulai mengambil alih tugas-tugas yang dulunya membutuhkan tenaga manusia.

Dalam konteks ini, muncul tantangan besar: bagaimana mengintegrasikan populasi produktif ke dalam ekosistem kerja yang semakin terdigitalisasi dan terotomatisasi. Tanpa kompetensi teknologi, angkatan kerja muda bisa terpinggirkan.

Ketimpangan antara kebutuhan industri digital dan kapasitas tenaga kerja nasional dapat memicu ledakan pengangguran baru. Fenomena ini bukan lagi sekadar wacana, tapi sudah mulai terasa dalam berbagai sektor industri.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 tercatat sebesar 4,76%–dan tertinggi di ASEAN menurut data World Economic Outlook (IMF) tahun sebelumnya. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melaporkan pada awal 2025 sekitar 60.000 buruh terkena PHK dalam dua bulan pertama, terutama akibat efisiensi, relokasi pabrik, dan kebangkrutan perusahaan.

Transformasi SDM Satu Keharusan

Melihat ancaman disrupsi teknologi dan jumlah pengangguran yang besar tersebut, transformasi SDM bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Bahkan, tidak berlebihan kalau penulis menyatakan kondisinya sudah darurat karena sebenarnya Indonesia sudah mulai surplus demografi sejak tahun 2012. SDM Indonesia harus disiapkan untuk mampu beradaptasi, berinovasi, dan menciptakan nilai tambah di tengah arus perubahan teknologi.

Proses transformasi harus dilakukan secara sistematis, dimulai dari pendidikan, pelatihan, hingga kebijakan yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Ini tidak bisa dilakukan secara sporadis atau sekadar proyek jangka pendek. Pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil harus berkolaborasi dalam menyusun peta jalan transformasi SDM digital nasional sehingga memiliki arah tujuan yang jelas, target yang terukur, dan yang paling penting terintegrasi.

Selanjutnya diperlukan strategi nasional yang benar-benar implementatif mencakup aspek literasi digital, kecakapan masa depan, kewirausahaan berbasis teknologi, serta etika digital. Transformasi bukan hanya soal teknis, tapi juga nilai dan karakter. Keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada adanya political will yang kuat.

Tanpa komitmen dan keberpihakan nyata dari pemegang kebijakan, semua rencana akan berakhir pada wacana semata. Indonesia benar-benar memerlukan terobosan dalam sistem pendidikan dan pelatihan kerja, di mana kurikulum harus relevan dengan kebutuhan industri 4.0 dan bahkan menuju society 5.0.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan berbagai program terobosan yang inline dengan kebutuhan transformasi SDM mulai dari perbaikan gizi melalui program MBG, industrialisasi dan hilirisasi, revitalisasi pendidikan vokasi, fokus pada pengembangan keterampilan digital (AI dan data analytic) dan STEM (Science, Technology, Engineering, and Math).

Tentu semua terobosan program itu wajib kita dukung sambil mendorong, mengawal, dan mengevaluasi komitmen dan konsistensi dalam implementasinya, efektivitasnya, potensi kebocoran anggaran, dan sinergitas seluruh stakeholder. Jauh lebih penting lagi bagaimana transformasi struktural sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang benar-benar adaptif dengan kebutuhan ekosistem industri dan teknologi.

Belajar dari Jepang, China, dan Korea Selatan yang mampu memanfaatkan peluang bonus demografi beberapa dekade sebelumnya, mereka mempersiapkan dan mengelola bonus tersebut dengan kebijakan pendidikan, industrialisasi, ketenagakerjaan, dan inovasi yang terintegrasi. Peluang demografi menjadi bonus nyata hanya jika negara memiliki visi jangka panjang, kepemimpinan yang kuat, dan strategi implementasi yang konsisten.

Transformasi SDM teknologi adalah kunci masa depan Indonesia. Dengan kesiapan visi, strategi, dan eksekusi yang tepat, bonus demografi dapat menjadi katalisator kebangkitan ekonomi nasional—bukan menjadi bencana sosial yang pastinya mengerikan.