
Semarang (08/06) — Saat stok melimpah di gudang Bulog ternyata harga beras masih tinggi sampai konsumen. Ini berlawanan dengan hukum ekonomi, saat barang melimpah harga murah.
Ada anomali, ketridakberesan soal hulu – hilir pangan. Rantai panjang pangan membuat celah bagi ‘pemain’ pangan yang bermodal besar serta menguasai jaringan pasar.
“Para spekulan pangan ini dalam rantai pangan membuat faktor harga sering bergejolak. Cenderung naik terus dan merugikan konsumen dalam hal ini rakyat,” papar Riyono Aleg Komisi IV DPR dapil 7 Jatim
Pernyataan Mentan Amran, imbuhnya, soal harga pangan beras yang di kendalikan oleh mafia menghiasai media online. Ada dugaan permainan harga karena di kuasai oleh tengkulak dengan keuntungan bisa trilyunan.
“Petani hanya jutaan mendapatkan untung. Kondisi yang berlawanan dengan usaha swasembada pangan agar petani sejahtera,” ujarnya.
Menurut Riyono, mafia dimana – mana ada, apalagi urusan pangan. Ketidakjelasan rantai distribusi pangan dari hulu – hilir akan semakin memberi ruang keberadaan pemburu rente demi nilai ekonomi.
“Celah itu bernama impor, saatnya tegas dan pastikan swasembada itu berasal dari petani sendiri,” ungkapnya.
Kerugian akibat ulah mafia pangak bisa trilyunan, kasus temuan BPK soal loss pendapatan sektor pangan bisa trilyun, Buwas mantan Direktur Bulog menyebut 2019 kerugian akibat ulah mafia pangan dalam program BNPT 5 Trilyun.
Praktek mafia pangan ini beraneka ragam, mulai dari bermain kuota impor, kualitas barang yang di turunkan, minta untung lebih besar, bermain dengan kebijakan data, main opini publik soal pangan sampai menguasai sektor hulu – hilir oleh para oligarki pemburu rente.
“Negara tidak boleh kalah oleh siapapun, kepentingan rakyat diatas kepentingan siapapun. Jangan ada yang main – main soal urusan rakyat, gagasan soal pemerintah harus menguasai minimal 20% urusan pangan harus di akomodir dalam perubahan UU Pangan ini” tutup Riyono.