Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Idul Adha dan Iman yang Tak Tawar-Menawar

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh : Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Komisi IV, Dapil Maluku dari Fraksi PKS)

Idul Adha bukan hanya sekadar perayaan ritual tahunan. Ia adalah panggilan iman yang menuntut ketundukan total kepada Allah dan kepedulian nyata kepada sesama. Di balik gema takbir yang berkumandang dan tumpah ruahnya darah hewan kurban, terdapat pesan luhur tentang keberanian menundukkan ego, kekuatan menahan keinginan, serta keikhlasan melepaskan sesuatu yang paling dicintai demi kebaikan yang lebih besar.

Dalam sejarah Islam, Idul Adha mengabadikan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail yang luar biasa. Di usia senja, ketika seorang ayah akhirnya dikaruniai anak setelah sekian lama menanti, Allah justru menguji kecintaan dan keimanannya dengan perintah yang nyaris mustahil diterima oleh logika : menyembelih sang putra. Namun alih-alih menawar atau mengeluh, Ibrahim justru memulai dialog lembut dengan anaknya, mengajak berdiskusi, menunjukkan bahwa ketaatan pun bisa dikemas dalam cinta, bukan paksaan.

Ismail pun menjawab dengan keteguhan iman, “Lakukanlah apa yang diperintahkan, Ayah. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Inilah puncak dari iman: tunduk sepenuhnya tanpa tawar-menawar.

Maka tak heran Allah memuliakan keduanya dan mengabadikan kisah ini sepanjang sejarah umat manusia, bukan untuk dikenang semata, tetapi untuk dihidupkan kembali dalam setiap langkah kehidupan. Namun, pertanyaan besarnya kini: bagaimana kita menerjemahkan semangat Idul Adha dalam kehidupan kekinian? Apakah kurban kita sudah melampaui batas ritual dan berubah menjadi transformasi sosial? Apakah kita telah menunaikan bentuk-bentuk pengorbanan lain yang relevan dengan kondisi zaman, termasuk dalam dunia kebijakan, kemanusiaan, dan keberpihakan pada rakyat kecil?

Sebagai legislator dari daerah kepulauan seperti Maluku, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana semangat pengorbanan dan keikhlasan itu sering kali justru datang dari masyarakat yang hidup dalam keterbatasan. Para petani yang tetap menanam meski harga panen tak menentu. Para nelayan yang tetap melaut meski infrastruktur dan perlindungan terhadap mereka minim.

Para perempuan pesisir yang setia mengurus rumah tangga, sambil berdagang kecil-kecilan demi menyambung hidup keluarga. Mereka semua adalah potret nyata dari orang-orang yang setiap hari berkurban — bukan dengan kambing atau sapi, tetapi dengan keringat, air mata, dan doa-doa panjang dalam diam.

Dalam ruang Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, kelautan, kehutanan, dan pangan, saya terus memperjuangkan agar kebijakan yang dilahirkan negara tidak hanya melayani kepentingan segelintir pihak, tetapi menyentuh akar kehidupan rakyat kecil. Idul Adha mengingatkan kita bahwa keadilan sosial bukanlah retorika, melainkan amanah.

Sebagaimana Nabi Ibrahim tidak mempertanyakan logika perintah Allah, maka seharusnya kita sebagai wakil rakyat tidak berdalih ketika diperintahkan oleh konstitusi untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan terhadap mereka yang tertinggal.

Apalagi saat ini, ketika dunia menghadapi krisis pangan dan perubahan iklim yang makin nyata, kita dituntut untuk melakukan “kurban” dalam pengertian baru: mengorbankan kenyamanan jangka pendek demi keberlanjutan jangka panjang.

Misalnya, mengurangi deforestasi demi menyelamatkan hutan dan sumber air. Atau, mengubah pendekatan pembangunan dari eksploitatif menjadi regeneratif, terutama di sektor perikanan dan pertanian.

Idul Adha juga harus menjadi panggung untuk memperkuat ketahanan pangan lokal. Ketika kita menyembelih hewan kurban, mestinya kita juga merenungkan nasib para peternak kecil yang sering kalah bersaing dengan daging impor. Mereka adalah bagian dari ekosistem pangan nasional yang semestinya dilindungi dan diberdayakan.

Kurban yang sesungguhnya adalah ketika pemerintah dan legislatif berani membuat kebijakan afirmatif untuk peternakan rakyat — bukan menyerahkan pasar sepenuhnya kepada mekanisme dagang bebas yang tak berpihak. Di sisi lain, di daerah seperti Maluku, akses ke pangan dan infrastruktur distribusi masih menjadi tantangan besar.

Maka semangat berbagi dari kurban Idul Adha seharusnya menular ke dalam kebijakan pemerataan pembangunan. Jangan sampai nilai-nilai spiritual yang kita kumandangkan dalam takbir dan khutbah, justru tak tercermin dalam alokasi anggaran atau arah program pembangunan nasional.

Idul Adha adalah pengingat bahwa kemuliaan sebuah bangsa tidak terletak pada gedung-gedung megahnya, tetapi pada bagaimana bangsa itu memperlakukan kelompok paling rentan di antara mereka. Selain itu, kita juga diingatkan tentang pentingnya komunikasi dan pendidikan keluarga.

Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim mengajak anaknya berdiskusi sebelum melaksanakan perintah Allah. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh kebisingan media sosial, pendekatan lembut dan dialog penuh cinta seperti itu menjadi sangat relevan.

Keluarga harus kembali menjadi tempat pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai iman, pengorbanan, dan integritas. Kurban bukan hanya dilakukan di lapangan terbuka, tapi dimulai dari ruang keluarga — dari bagaimana orang tua mendidik anaknya dengan nilai luhur, dan bagaimana anak menghormati serta mempercayai orang tuanya.

Pada akhirnya, Idul Adha adalah soal keberanian spiritual. Berani berkata tidak pada yang haram. Berani menolak ketidakadilan. Berani menahan diri dari keserakahan. Dan berani mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, tetapi benar.

Sebab, seperti Ibrahim dan Ismail, hidup adalah ujian, dan kurban adalah jawabannya. Semoga di tengah ujian zaman, kita tetap mampu menjadi bagian dari barisan orang-orang yang tidak hanya menghidupkan syariat kurban, tetapi juga meneladani esensinya. Karena negeri ini tidak hanya butuh pembangunan fisik, tetapi juga pengokohan ruh spiritual dan moral.

Kita tidak hanya membutuhkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pertumbuhan empati. Dan semua itu dimulai dari keberanian untuk berkorban — demi Allah, demi sesama, dan demi masa depan generasi yang akan datang.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahilhamd.