
Makkah (06/06) — Ironi pahit terjadi di tengah penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Seorang calon jemaah haji asal Indonesia, Heri Risdianto, yang memegang visa resmi di tangannya, terpaksa dideportasi dari Arab Saudi.
Insiden ini memicu reaksi dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI. Anggota Timwas Haji DPR dari Fraksi PKS, Abdul Fikri Faqih, menyebut kasus ini sebagai kegagalan sinkronisasi data antara Indonesia dan Arab Saudi.
Pria yang akrab disapa Fikri ini mendesak Kementerian Agama (Kemenag) untuk tidak lagi menoleransi kesalahan fatal semacam ini dan segera melakukan perbaikan fundamental pada tata kelola haji.
Menurut Fikri, masalah utamanya adalah sistem yang tidak terhubung. Informasi pembatalan visa Heri di sistem Arab Saudi tidak pernah sampai kepadanya maupun petugas di lapangan, meski proses penggantian jemaah telah dilakukan di Indonesia.
“Saya sudah konfirmasi ke Dirjen PHU (Penyelenggaraan Haji dan Umrah), katanya antara E-HAJJ (sistem penyelenggaraan haji Arab Saudi) dengan SISKOHAT (sistem penyelenggaraan haji Indonesia) itu belum nyambung. Ini kan tidak boleh terjadi, kesalahan di pihak kita sebagai penyelenggara,”tegas Fikri dalam keterangannya, Jumat (06/06).
Legislator PKS ini menekankan bahwa insiden ini bukan yang pertama, merujuk pada kasus serupa yang menimpa jemaah asal NTB pada awal Mei lalu.
Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini lantas menyoroti dua masalah krusial, yakni kegagalan sistem dan lemahnya perlindungan negara. Sehingga, solusi yang ditawarkan pun berfokus pada dua hal tersebut.
Pertama, Reformasi Sistem. Fikri mendesak adanya sinkronisasi total antara SISKOHAT dan berbagai sistem baru Arab Saudi, termasuk yang terbaru adalah ‘Massar Nusuk’ yang akan menjadi platform tunggal validasi data.
“Massar Nusuk harus betul-betul dipelajari. Ini berarti harus ada reformulasi dan reformasi terkait haji ke depan,”ujar legislator dari daerah pemilihan (dapil) IX Jawa Tengah (Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Kabupaten Brebes) ini.
Kedua, kata Fikri, adalah jaminan perlindungan. Sesuai amanat UU No. 8 Tahun 2019, negara wajib melindungi jemaah.
Fikri mengharapkan jaminan keberangkatan bagi Heri pada tahun berikutnya dan mendesak Kemenag, Duta Besar RI, hingga Konjen RI untuk lebih proaktif.
“Kalau ada masalah begini, WNI harus dapat perlindungan. Pak Heri harus mendapatkan jaminan tahun depan diberangkatkan. Ketika visa sudah di-_print_ tapi tidak ada _update_ konfirmasi (pembatalan), saya kira itu fatal,” jelasnya.
Fikri menyebut bahwa Menteri Agama dan Dirjen PHU telah berkomitmen untuk menyelesaikan semua problematika, termasuk kendala kartu Nusuk.
“Mestinya harus diselesaikan dengan baik dan harus ada jaminan. Mudah-mudahan ada penyelesaian yang tidak merugikan jemaah haji Indonesia,”harapnya.
Sebagi informasi, kronologi peristiwa ini berawal saat Heri Risdianto (Kloter KJT-27) mendarat di Arab Saudi pada malam hari. Petugas imigrasi menahan Heri karena visanya tidak terbaca dalam sistem keimigrasian Arab Saudi.
Pemeriksaan oleh petugas haji Indonesia (Daker Bandara) pada sistem SISKOHAT menemukan fakta mengejutkan: visa Heri telah dibatalkan sejak 22 Mei 2025 atas permohonan tunda-ganti dari Kanwil Kemenag Jawa Barat dan digantikan oleh jemaah lain.
Namun demikian, informasi pembatalan dan penggantian tersebut tidak pernah sampai kepada Heri Risdianto. Pihak imigrasi Arab Saudi memberikan waktu satu jam untuk penerbitan visa baru, namun hal itu mustahil dilakukan karena sistem visa haji telah ditutup secara resmi. Heri pun terpaksa dipulangkan.