
Jakarta (04/06) — Anggota DPR RI Komisi VII asal Fraksi PKS Dapil Maluku Utara, Izzuddin Al-Qassam Kasuba menyambut positif langkah Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Maluku Utara yang semakin memperketat perlindungan lisensi penggunaan musik dan lagu.
Bagi Al-Qassam Kasuba, gerakan ini bukan sekadar penegakan hukum semata, melainkan juga momentum strategis untuk mengerek potensi industri kreatif di Maluku Utara yang selama ini kerap terhalang oleh ketidakpastian hak cipta.
Dalam narasi yang dibangun, Al-Qassam Kasuba menegaskan bahwa kekayaan budaya musik Maluku Utara—dari irama tiup tradisional Ternate hingga alunan kontemporer yang dikreasikan generasi muda Halmahera—sejatinya dapat menjadi motor penggerak ekonomi daerah.
“Saya melihat betul semangat para musisi dan kreator konten di Maluku Utara. Mereka menciptakan karya dengan identity kuat, tetapi sering harus berjuang sendiri untuk mengurus izin dan memastikan karya mereka terlindungi. Melalui inisiatif Kemenkumham Malut, perlindungan hak cipta harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari strategi pembangunan ekonomi kreatif yang partisipatif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Al-Qassam Kasuba mencontohkan bahwa selama ini panggung-panggung lokal di Ternate, Morotai, maupun Halmahera cenderung menampilkan musik tanpa mekanisme royalti atau lisensi yang jelas.
Akibatnya, imbuh Al-Qassam, banyak pencipta lagu belum mendapatkan hak ekonomi yang optimal. Ia pun menawarkan langkah kongkrit agar setiap lapisan masyarakat—pemerintah daerah, pelaku industri pariwisata, komunitas kreatif, dan pelaku UMKM—bekerja sama membangun ekosistem yang menghargai hak cipta sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis kreatif.
“Pertama, perlu dibentuk pusat layanan hak cipta yang bisa diakses langsung oleh musisi di seluruh pulau Maluku Utara. Melalui layanan ini, proses pendaftaran lagu, verifikasi kepemilikan, hingga penagihan royalti dapat dilakukan secara online, cepat, dan transparan,” ujarnya.
Momen digitalisasi tersebut, lanjut Al-Qassam, wajib didukung agar pelaku usaha pariwisata, seperti hotel dan restoran, dapat dengan mudah memperoleh lisensi musik lokal yang sah.
Selanjutnya, Al-Qassam Kasuba menyoroti pentingnya pemasaran digital untuk menjangkau audiens nasional dan global.
Ia meyakini, jika hak cipta sudah terjamin, musisi muda Maluku Utara akan semakin berani berinovasi, membentuk label rekaman kecil, atau memasarkan karya mereka lewat platform streaming.
“Bayangkan, lagu tradisional Ternate yang dikemas ulang dengan sentuhan modern bisa viral di YouTube, diputar di kafe-kafe kota besar, bahkan masuk playlist internasional. Saat itulah, insentif ekonomi kreatif benar-benar terasa, dan arus dana royalti akan kembali ke tangan kreator lokal,” tuturnya.
Lebih jauh, Al-Qassam Kasuba mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menggelar festival musik tahunan sebagai ajang promosi dan edukasi hak cipta.
Festival ini dapat melibatkan label lokal, pelaku UMKM yang menjual produk kreatif ala Maluku Utara, hingga perwakilan pemerintah daerah. Ia menegaskan bahwa semangat gotong-royong harus ditanamkan sejak hulu, agar setiap langkah proteksi hak cipta menjadi pijakan kokoh untuk membangun ekonomi kreatif partisipatif.
“Ketika sebuah lagu tercipta, tidak cukup hanya mematenkannya, tetapi kita juga harus memastikan masyarakat—baik penikmat musik maupun calon investor—memahami nilai ekonomi di balik setiap nada dan lirik,” kata Al-Qassam Kasuba.
Di mata Al-Qassam Kasuba, masa depan industri musik dan ekonomi kreatif Maluku Utara sangat cerah jika sinergi antara kebijakan hak cipta dan pengembangan kreativitas lokal terus diperkuat.
Ia siap memfasilitasi dialog di DPR RI, merumuskan anggaran dukungan, serta menghubungkan musisi dan pelaku UMKM dengan program pembinaan industri kreatif nasional.
“Saya optimis, jika modal utama kita adalah budaya dan kreativitas, jangan biarkan karya kita terenggut oleh ketidakpastian hukum. Mari bersama-sama membangun Maluku Utara sebagai kiblat musik dan ekonomi kreatif yang berdaya saing, partisipatif, dan berkelanjutan,” tutupnya.