Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Tolak Wacana Perpanjangan Usia Pensiun ASN, Ateng Sutisna: Nikmati Hidup, Beri Ruang bagi Generasi Muda

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (02/06) — Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Ateng Sutisna menyebut wacana perpanjangan usia pensiun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang belakangan kembali mencuat dalam perdebatan kebijakan kepegawaian nasional tidaklah tepat.

Menurutnya, wacana ini justru berisiko memperburuk ketimpangan struktural, menghambat regenerasi birokrasi, dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan ASN.

“Saya kurang sepakat dengan wacana memperpanjang usia pensiun ASN. Negara ini bukan milik pribadi. Jika Anda pemilik perusahaan, silakan bekerja sampai kapan pun. Tapi ASN bekerja untuk negara. Ada siklus yang harus dihormati,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pensiun adalah fase yang wajar dalam siklus pengabdian seorang abdi negara—bukan hanya sebagai hak untuk beristirahat, tetapi juga bentuk penghormatan atas dedikasi dan kesempatan untuk berkarya dalam ruang sosial lainnya.

“Jangan anggap pensiun sebagai kehilangan, tapi sebagai penghormatan. Kesempatan untuk menikmati hidup setelah bekerja keras,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ateng mengutip data BPJS Kesehatan (2023) yang menunjukkan bahwa beban klaim kesehatan ASN usia di atas 60 tahun mencapai 2,3 kali lipat dibandingkan kelompok usia 40–55 tahun.

Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa memperpanjang usia pensiun justru akan meningkatkan beban negara, baik dari sisi produktivitas maupun pembiayaan kesehatan.

Selain itu, ia menyoroti tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia, khususnya pada kelompok usia muda.

“Tingkat pengangguran lulusan S1 dan S2 usia 20–30 tahun mencapai 12,3%. Jika usia pensiun diperpanjang, ruang masuk ASN akan makin sempit, dan talenta muda akan kehilangan kesempatan berkarya,” jelasnya

Menurutnya, justru ASN muda saat ini banyak yang menempati posisi pekerjaan teknis-operasional, sementara posisi strategis didominasi oleh senior. Ketimpangan ini menciptakan demotivasi dan bahkan potensi brain drain dalam birokrasi.

Ia juga mengingatkan bahwa rasio ASN terhadap penduduk Indonesia telah mencapai 1:127, melewati batas ideal internasional (PBB) sebesar 1:100.

“Yang kita butuhkan saat ini adalah efisiensi, digitalisasi, dan regenerasi birokrasi, bukan memperpanjang masa aktif ASN yang sudah waktunya pensiun,” tegasnya.

Ateng juga menyoroti bahwa wacana ini tidak berpihak pada nasib tenaga honorer dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) yang jumlahnya masih sangat besar dan banyak belum diangkat menjadi ASN karena keterbatasan fiskal negara.

“Kalau masa pensiun diperpanjang, maka ruang bagi tenaga honorer dan P3K untuk diangkat sebagai ASN akan makin sempit. Padahal mereka sudah lama mengabdi dan kini sedang menanti kepastian status. Ini sangat tidak adil,” ujarnya.

Sebagai pembanding, Ateng menyinggung negara-negara seperti Jepang dan Singapura yang justru memberikan insentif pensiun dini untuk mempercepat inovasi dan reformasi birokrasi.

Ia juga mengutip pandangan IMF dan OECD yang merekomendasikan batas usia pensiun maksimal 60–65 tahun di negara berkembang demi menjaga keberlanjutan fiskal dan dinamika tenaga kerja.

“Mari kita ubah cara pandang : pensiun bukan kehilangan posisi, tapi peluang untuk hidup dengan lebih bermakna. Nikmati apa yang sudah didapatkan dan hasil kerja keras selama ini,” pungkasnya.