
Oleh : Dr. Hj. Kurniasih Mufidayati, M. Si. (Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS)
Rencana pemerintah melalui Kementerian Kesehatan untuk mengijinkan dokter umum melakukan operasi cesar mendapat perhatian masyarakat khususnya tenaga medis.
Menurut Menteri Kesehatan, rencana pemberian ijin ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penanganan kelahiran yang membutuhkan tindakan operasi cesar sementara tidak tersedia atau sangat sedikit dokter obstetri dan ginekologi atau dokter kandungan di rumah sakit di daerah tersebut. Daerah-daerah yang masih sangat sedikit atau belum tersedia dokter kandungan adalah seperti di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).
Rencana pemberian ijin ini dilakukan dalam rangka menekan angka kematian ibu (AKI) melahirkan dan angka kematian bayi (AKB) saat dilahirkan yang masih tinggi terutama di daerah 3T.
Seperti diketahui Indonesia dengan banyak daerah 3T masih menghadapi AKI dan AKB yang cukup tinggi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, AKI di Indonesia pada tahun 2020 masih sekitar 189 per 100 ribukelahiran hidup.
AKI ini ditargetkan menurun pada tahun 2024 menjadi 183 per 100 ribu kelahiran hidup. Beberapa faktor yang menjadi penyebab utama AKI tinggi di daerah 3T antara lain keterlambatan dalam pengambilan keputusan, keterlambatan akses ke pelayanan kesehatan, dan keterlambatan mendapatkan pelayanan di fasilitas kesehatan. Penyebab langsung kematian ibu juga meliputi perdarahan, preeklampsi, dan infeksi.
Melihat Lagi Aturan Medis Operasi Cesar oleh Dokter Umum
Upaya mengurangi resiko kematian ibu melahirkan akibat keterlambatan penanganan tentu saja langkah yang sangat baik. Namun pemberian ijin melakukan tindakan operasi cesar kepada bukan dokter spesialis kandungan tentu saja harus memperhatikan kaidah medis dan aturan di bidang kedokteran.
UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah memberi aturan tentang pendelegasian tenaga kesehatan yang mengatur bahwa dokter hanya boleh mendelegasikan tindakan medis kepada tenaga kesehatan lain sesuai kompetensi dan supervisi.
Pemberian pendelegasian juga tidak berarti pelimpahan tanggungjawab kepada tenaga kesehatan, namun merupakan pelaksanaan tugas di bawah pengawasan dokter yang berkompeten.
Artinya pendelegasian untuk melakukan tindakan tetap harus berbasiskan kompetensi dan dilakukan supervisi terhadap tindakan yang dilakukan.
Pendelegasian untuk melakukan tindakan medis dari dokter juga hanya dilakukan dalam keadaan darurat. Artinya pendelegasian tindakan ini bukanlah Norma kebijakan, tapi sebuah pengecualian dalam kondisi tertentu.
Kode Etik Kodekteran Indonesia pada Pasal 7 juga menyatakan bahwa dokter wajib bekerja sesuai standar profesi dan tidak boleh melakukan tindakan di luar kemampuannya. Sehingga tenaga medis yang akan melakukan tindakan memang harus dipastikan sudah memiliki keahlian dan kemampuan pada bisa tersebut.
Kondisi yang dialami Indonesia saat ini adalah kurangnya dokter spesialis termasuk dalam bidang obstetri dan ginekologi (Obgyn) yang banyak dibutuhkan untuk membantu proses kelahiran yang memerlukan tindakan khusus.
Maka dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut, upaya yang harus dilakukan adalah menambah jumlah dokter spesialis dan meningkatkan persebaran dokter Obgyn tersebut terutama untuk memenuhi kebutuhan di daerah 3T dan yang memiliki angka AKI tinggi.
Kalaupun saat ini upaya pemenuhan ini masih berjalan lambat, maka membolehkan dokter umum di daerah 3T dan angka AKI tinggi untuk melakukan tindakan medis seperti operasi cesar yang biasa dilakukan oleh dokter spesialis Obgyn, sifatnya hanya sementara karena keadaan darurat.
Pemerintah tetap harus berusaha mengupayakan peningkatan jumlah dan persebaran dokter spesialis terutama kepada daerah 3T. Hal ini sesuai dengan amanat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang pada pasal 27 dan 28 menyebutkan Pemerintah wajib menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang merata, termasuk di daerah 3T.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Kesehatan juga menegaskan hak masyarakat untuk mendapat layanan kesehatan berkualitas, termasuk akses ke dokter spesialis.
Pemerintah perlu mengevaluasi dulu bagaimana kondisi jumlah dan persebaran dokter spesialis khususnya untuk Obgyn saat ini di Indonesia. Mungkin saja ada wilayah-wilayah yang jumlah dokter spsialis nya cukup banyak bahkan berlebih, sementara ada daerah lain yang memang sangat kekurangan dokter spesialis.
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana insentif yang diberikan kepada dokter, khususnya dokter spesialis yang akan ditugaskan di daerah 3T. Jika tidak ada insentif yang layak bahkan bersifat khusus, maka sulitnya juga untuk mendorong dokter spesialis untuk ditugaskan di daerah yang masih kekurangan dokter spesialis dan lebih memilih bertugas di perkotaan atau kota kabupaten yang relatif sudah banyak tersedia dokter spesialis seperti.
Selain insentif, perlu juga diperhatikan fasilitas yang mendukung untuk tugasnya sebagai dokter spesialis di daerah tersebut, termasuk misalnya kendaraan untuk mendukung mobilitasnya di daerah yang memang masih sulit. Demikian pula juga dengan jaminan keamanan bagi dokter yang ditugaskan di daerah 3T ini.
Hal yang harus diperhatikan juga dalam mendelegasikan tindakan kepada tenaga medis yang bukan spesialisasinya adalah resiko terhadap tindakan yang dilakukan.
Kesalahan dalam melakukan tindakan tersebut beresiko tenaga medis diangap melakukan malpraktek yang bisa berimplikasi pada hukum pidana karena dianggap melakukan kelalaian. Apalagi KUHP menyebutkan bahwa termasuk yang bisa dikenakan pidana adalah tindakan di luar kompetensi.
Belum lagi jika dokter atau tenaga medis yang menerima delegasi tersebut yang melakukan kesalahan atau tindakan medis yang tidak sesuai, cenderung akan menjadi pihak yang disalahkan, meskipun dia hanya meneima pendelegasian untuk melakukan tindakan medis.
Maka, membolehkan (pemberian delegasi) kepada dokter umum untuk melakukan operasi cesar tetap harus melalui supervisi serta tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tersebut jika memang ada keraguan untuk melakukannya serta kompetensi yang tidak mendukung.
Hanya Sementara, Jangan Menjadi Kebijakan Permanen
Memberikan pendelegasian kepada dokter umum untuk melakukan operasi cesar seperti yang disebutkan oleh Menteri Kesehatan memang diperlukan untuk menekan AKI yang masih banyak terjadi di daerah 3T akibat minimnya tenaga dokter spesialis.
Namun hal yang perlu diingat bahwa pendelegasian ini hanya bersifat sementara dan tidak dijadikan sebuah kebijakan. Pendelegasian ini harus merupaka sebuah pengecualian karena kondisi tertentu dan bukan menjadi sebuah norma kebijakan.
Artinya, pemerintah tetap harus mengupayakan penyediaan tenaga spesialis ini serta pendistribusian tenaga medis ke daerah 3T. Dengan kata lain, kebijakan utamanya adalah tetap meningkatkan jumlah tenaga spesialis dan pendistribusiannya dengan pioritas pada daerah dengan kasus AKI yang tinggi terutama yang terjadi dalam proses persalinan.
Sementara dalam proses delegasi tersebut, maka dokter umum yang memang dibolehkan, dibatasi hanya padaa daerah yang memang membutuhkkan, pada kondisi yang darurat, serta dibekali dengan pelatihan dan peningkatan kompetensi untuk bisa melakukan tindakan cesar. Pemerintah perlu menyiapkan pelatihan dan peningkatan kompetensi tersebut sertra rambu-rambu yang ketat tentang kondisi yang membolehkan dokter umum melalukan tindakan cesar.
Untuk itu diperlukan terobosan dan inovasi kebijakan dalam rangka meningkatkan persebaran tenaga dokter spesialis Obgyn ini. Bagian dari kebijakan tersebut adalah penyediaan sarana dan fasilitas penunjang bagi dokter spesialis ini dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam melakukan tindakan medis yang diperlukan seperti Operasi Cesar.
Kebijakan ini juga mencakup pemberian insentif yang menarik bagi dokter spesialis yang bersedia ditempatkan di daerah 3T atau daerah denan tinggi kasus AKI.
Jika pemerintah memberikan insentif yang menarik bagi ASN yang mau ditempatkan di IKN, maka dokter spesialis khususnya Obgyn yang mau ditugaskan di daerah tinggi kasus AKI lebih layak lagi diberikan insentif yang menarik.
Kembali pada kebijakan untuk membolehkan dokter umum melakukan operasi cesar untuk menolong persalinan, maka ini tidak boleh dijadikan kebijakan permanen, Jika ini memang disebut sebuah kebijakan, maka harus bersifat sementara sambil terus melakukan upaya peningkatan jumlah dokter spesialis Obgyn dan persebarannya.
Saat ini berdasarkan data KKI 2023, jumlah dokter spesialis Obgyn di Indonesia sebanyak 6050 orang atau menjadi yang terbanyak kedua setelah spesialis penyakit dalam.
Rasio ideal dokter spesialis Obgynyang dianjurkan oleh Bappenas adalah 0,28 dokter spesialis per 1.000 penduduk. Dengan kata lain, idealnya ada 28 dokter kandungan untuk setiap 100.000 penduduk
Dari sisi persebarannya, data Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menunjukkan bahwa sebarannya masih terkonsentrasi di propinsi atau kota besar seperti di Jakarta, Jawa Barat (Bandung), Surabaya, Semarang, Banten. Daerah di luar Jawa yang cukup banyak adalah di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Bali.
Sementara Provinsi dengan jumlah dokter spesialis Obgyn yang sedikit adalah di Bangka Belitung, Gorontalo, Maluku Utara. Berdasarkan data tersebut, maka selain terus mendorong peningkatan jumlah dokter Obgyn termasuk dengan menyediakan beasiswa khusus, juga dengan mendorong persebaran dokter spesialis kandungan ini di daerah yang masih kekurangan.
Penyediaan beasiswa khusus bisa dilakukan oleh pemerintah maupun kerjasama dengan swasta/lembaga non pemerintah dan kerjasama luar negeri. Sementara upaya mendorong persebaran dilakukan dengan memberikan insentif yang menarik, penyediaan fasilitas dan kebijakan yang bersifat afirmatif. Dengan kata lain, pemerintah perlu memperbaiki pola rekrutmen dan insentif dokter spesialis di daerah 3T khususnya untuk spesialis Obgyn.