
Jakarta (24/05) — Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), drh. Slamet, menyoroti serius fenomena krisis kelangkaan kelapa bulat yang menyebabkan harga melonjak tajam di pasar domestik.
Menurutnya, kebijakan ekspor kelapa yang tidak diimbangi dengan pengendalian pasokan dalam negeri telah menyengsarakan pedagang dan masyarakat.
“Saat ini pedagang menjerit karena kesulitan mendapatkan kelapa. Akibatnya harga di pasar menjadi mahal, bahkan mencapai Rp25.000 per butir. Ini sangat memberatkan masyarakat,” ujar drh. Slamet di Jakarta, Jumat (23/5).
Lebih lanjut, Slamet menegaskan bahwa dampak dari ekspor kelapa bulat tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga industri kecil menengah (IKM) berbasis kelapa.
Pasalnya, bahan baku turunan seperti tempurung dan sabut kelapa kini juga mulai sulit didapatkan karena kelapa dikirim dalam bentuk gelondongan.
“Kita bukan hanya kehilangan kelapa, tapi juga kehilangan potensi nilai tambah dari produk turunannya seperti arang, sabut, dan minyak kelapa. Ini jelas merugikan industri pengolahan lokal,” tambahnya.
Untuk itu, Slamet meminta pemerintah agar mulai mengatur tata niaga kelapa termasuk menjejaki penerapan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) bagi kelapa.
Menurutnya, kebutuhan dalam negeri harus menjadi prioritas sebelum pemerintah mengizinkan ekspor besar-besaran.
“Kebijakan harus berpihak pada kepentingan nasional, bukan hanya mikir ekspor dan ekonomi semata. Negara harus hadir untuk melindungi pasar dan industri dalam negeri,” tegasnya.
Selain DMO, Slamet juga mendorong adanya insentif bagi hilirisasi produk kelapa, pembangunan sistem informasi harga dan pasokan nasional, serta keterlibatan BUMN dalam menyerap kelapa rakyat guna menjaga stabilitas harga.
Ia juga menyinggung ketimpangan regulasi pajak yang membuat industri dalam negeri kalah saing dibanding eksportir.
“Saat ini eksportir tidak dikenakan pajak, sementara industri yang beli dari petani dikenakan PPh 22. Ini harus dievaluasi,” tutupnya.