Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Aleg PKS Habib Idrus: RUU Pengelolaan Ruang Udara Fondasi Pertahanan Indonesia di Era Drone dan Satelit Komersial

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (23/05) — Anggota DPR RI Fraksi PKS, Habib Idrus Salim Aljufri, menegaskan urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Ruang Udara sebagai fondasi legal dan operasional untuk menjaga kedaulatan nasional, keamanan penerbangan, serta perlindungan kepentingan sipil dan komersial di wilayah udara Indonesia.

Dalam rapat Pansus yang digelar pada Selasa (6/5), Habib Idrus menyatakan bahwa Indonesia berada dalam ‘zona risiko tinggi’ apabila tidak segera mengatur ulang tata kelola ruang udaranya secara komprehensif.

“Ruang udara Indonesia membentang di atas lebih dari 17.000 pulau dan menjadi salah satu jalur penerbangan internasional tersibuk di dunia. Tapi kita belum punya undang-undang yang secara khusus mengatur siapa yang bertanggung jawab, siapa yang mengawasi, dan bagaimana pertahanan serta pengelolaan teknologinya dilakukan secara utuh,” tegas habib Idrus.

“Ruang udara Indonesia yang mencapai 7.789.000 km² lebih luas dari wilayah perairan kita. Namun, selama ini pengelolaannya belum optimal, terutama dalam aspek pertahanan dan pengawasan,” ujar Habib Idrus saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus RUU Pengelolaan Ruang Udara di Jakarta, Selasa (06/05/2025).

Politisi dari Dapil Banten III ini menyoroti ketergantungan Indonesia pada sistem navigasi laut seperti Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) tanpa dukungan sistem pengawasan udara yang memadai.

Ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologi, seperti drone nirawak yang sulit terdeteksi radar, dapat menjadi ancaman serius jika tidak diantisipasi dengan sistem pertahanan udara yang canggih.

Habib Idrus memaparkan bahwa saat ini pengelolaan ruang udara masih tersebar di beberapa lembaga, seperti Kementerian Perhubungan, TNI AU, BMKG, dan AirNav.

Akibatnya terjadi fragmentasi kewenangan yang memperlambat respons terhadap ancaman keamanan dan perkembangan teknologi.

“Kita bicara soal drone, satelit LEO (Low Earth Orbit), hingga balon udara pengintai—semuanya makin aktif melintasi ruang udara dunia. Tanpa payung hukum yang kuat, kita akan selalu reaktif, bukan antisipatif,” jelasnya.

Data dari ICAO (International Civil Aviation Organization) tahun 2023 menunjukkan bahwa Indonesia mengelola lebih dari 1 juta traffic udara sipil per tahun, namun masih terdapat kekosongan hukum dalam pemanfaatan ruang udara di luar navigasi penerbangan sipil.

“Bayangkan jika teknologi drone nirawak yang tidak terdeteksi radar semakin berkembang. Tanpa sistem pengawasan dan pertahanan ruang udara yang canggih, kita akan tertinggal,” tegasnya.

Habib Idrus juga menekankan perlunya pendekatan komprehensif dalam pengelolaan ruang udara, mencakup aspek pertahanan, teknologi, yurisdiksi, dan koordinasi lintas sektor. Ia mengapresiasi kolaborasi antara elemen sipil dan militer dalam upaya ini.

“Kolaborasi semua elemen, baik sipil maupun militer, sangat penting untuk memastikan ruang udara kita aman dan termanfaatkan secara optimal,” ungkapnya.

Dalam konteks yurisdiksi, Habib Idrus mempertanyakan otoritas utama dalam menjamin keamanan ruang udara dan membuka wacana pembentukan badan khusus yang fokus mengelola dan mengoordinasikan seluruh aspek pengelolaan ruang udara secara terpadu.

“Kita harus pastikan siapa yang punya kewenangan utama. Jangan sampai tumpang tindih atau terjadi kekosongan kebijakan yang berpotensi membahayakan keamanan negara,” pungkasnya.