Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Komisi II FPKS Ateng Sutisna Pertanyakan Urgensi dan Evaluasi Serius Terhadap Pemekaran Daerah

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Jakarta (14/05) — Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Ateng Sutisna menyoroti usulan terbaru terkait enam daerah istimewa dan lima daerah khusus yang diajukan kepada pemerintah.

Ia mempertanyakan urgensi dari usulan tersebut, sekaligus meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meninjau kembali pendekatan pemekaran wilayah yang selama ini dilakukan.

“Pertanyaan mendasarnya: mengapa harus didorong menjadi daerah istimewa atau daerah khusus, bukan melalui mekanisme pemekaran konvensional seperti Daerah Otonomi Baru (DOB)? Apakah betul usulan ini didasarkan atas kebutuhan mendesak atau hanya karena tekanan politik tertentu?” ungkap Ateng.

Menurutnya, jumlah DOB yang mencapai ratusan merupakan angka terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Ini bukan sekadar angka, tetapi menunjukkan adanya ketidakpuasan yang lebih dalam dari masyarakat terhadap kondisi pemerintahan daerah saat ini.

“Apakah Kemendagri tidak melihat bahwa maraknya usulan ini bisa menjadi indikator kegagalan tata kelola daerah yang ada, bukan sekadar memenuhi alasan administratif seperti luas wilayah atau jumlah penduduk?” tambahnya.

Anggota DPR – RI dari Fraksi PKS tersebut juga menyoroti lemahnya evaluasi pascapemekaran yang dilakukan Kemendagri. Ia mencontohkan beberapa DOB seperti Kabupaten Kepulauan Anambas, Pulau Morotai, dan Buton Tengah yang justru mengalami penurunan kapasitas fiskal dan makin tergantung pada pemerintah pusat.

“Kita bisa lihat data yang menunjukkan bahwa PAD mereka hanya menyumbang 1–2 persen dari total APBD, sementara sisanya bergantung pada DAU atau DAK. Bahkan beberapa daerah sempat mengalami krisis keuangan hingga layanan dasar terhenti. Artinya, DOB ini bukannya menjadi solusi pembangunan, tapi justru beban baru,” tegasnya.

Berdasarkan evaluasi Kemendagri sendiri, sekitar 78 persen DOB yang terbentuk dalam periode 1999–2009 belum mampu mandiri.

Ateng mendesak agar Kemendagri menyampaikan secara terbuka mekanisme monitoring dan evaluasi DOB yang telah menerima alokasi anggaran dari pusat.

“Kita perlu tahu, apakah dana itu benar-benar digunakan untuk percepatan pembangunan? Dan jika tidak, apa sanksi atau langkah koreksi yang dilakukan? Jangan sampai pembentukan DOB hanya jadi proyek politik jangka pendek yang melupakan esensi otonomi,” pungkasnya.