
Jakarta (01/05) — Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi PKS Meitri Citra Wardani menegaskan pentingnya pengelolaan limbah residu bauksit secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Hal ini disampaikannya kepada wartawan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara bersama sejumlah perusahaan tambang bauksit, Selasa (30/4/2025).
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini menaruh perhatian serius terhadap isu lingkungan dalam sektor pertambangan mengingat dampaknya berkaitan langsung dengan kesehatan masyarakat, pembangunan daerah, dan keberlanjutan lingkungan.
Dalam RDP tersebut, Meitri menyatakan dukungannya terhadap potensi pemanfaatan limbah residu bauksit untuk pembangunan infrastruktur daerah, dengan catatan harus tetap menjunjung tinggi keselamatan lingkungan dan kesehatan warga sekitar.
“Misalnya berdasarkan paparan salah satu perusahaan tambang, yakni PT Well Harvest Winning (WHW), total residu bauksit yang dihasilkan mencapai ±19,5 juta meter kubik dan mencakup lahan seluas 128 hektare di Ketapang, Kalimantan Barat. Namun sayangnya, residu ini masih dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), kendati memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai material konstruksi atau penimbunan jalan,” ungkap Meitri.
Laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM tahun 2021 mencatat bahwa residu bauksit mengandung silika, oksida besi, dan alumina, yakni senyawa yang dapat dimanfaatkan dalam produksi semen, paving block, dan bahan bangunan lain.
Meitri mengungkapkan, Pemerintah Daerah Ketapang bahkan telah mengajukan permohonan resmi agar residu ini dapat digunakan untuk rehabilitasi jalan sepanjang 100 km. Namun, rencana ini terganjal oleh klasifikasi limbah B3 sebagaimana diatur dalam PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Mengubah klasifikasi limbah bukan proses yang sederhana karena menyangkut ketentuan teknis dan kewenangan eksekutif yang juga memerlukan persetujuan legislatif. Selain itu, perubahan tersebut juga harus berbasis kajian ilmiah yang kuat serta partisipasi publik yang luas,” jelas Meitri.
Untuk itu, Meitri mendorong adanya kolaborasi lintas sektor antara industri, pemerintah daerah, kementerian teknis, serta lembaga riset atau perguruan tinggi.
“Tujuannya adalah untuk mengembangkan pengolahan residu agar aman dimanfaatkan, sekaligus menghasilkan validasi ilmiah sebagai dasar perubahan status limbah dari B3 menjadi non-B3,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anggota DPR Dapil Jawa Timur VIII ini juga menyoroti risiko kesehatan dan lingkungan dari limbah smelter bauksit yang tidak dikelola dengan baik.
“Sejumlah laporan menunjukkan bahwa pembuangan residu bauksit secara sembarangan dapat mencemari tanah dan air dengan logam berat seperti arsenik, kromium, dan vanadium,” ujarnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa paparan arsenik dalam jangka panjang melalui air minum dapat menyebabkan kanker kulit, paru-paru, dan kandung kemih. Hal ini mempertegas pentingnya pengawasan terhadap pengelolaan limbah bauksit, terutama di kawasan industri besar seperti Ketapang.
“Sebesar apa pun manfaat ekonomi dari hilirisasi, kita tidak boleh menutup mata terhadap risiko jangka panjang. Hilirisasi harus adil secara ekologis,” tegas Meitri.
Meitri juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat dalam sistem pengawasan dan pengaduan terhadap dampak lingkungan industri pertambangan.
“Keterlibatan warga dalam fungsi pengawasan pemerintah terhadap aktivitas perusahaan tambang lewat sistem pengaduan publik yang langsung terhubung ke otoritas seperti Deputi Gakkum KLH harus dioptimalkan untuk memastikan aktivitas tambang yang dilakukan betul-betul terawasi secara komprehensif, utamanya untuk memastikan limbahnya terkelola secara akuntabel oleh para perusahaan tambang ini,” pungkasnya.