
Jakarta (29/04) — Ancaman kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap sejumlah komoditas ekspor, termasuk produk udang Indonesia, mendapat perhatian serius dari Anggota Komisi IV DPR RI Dapil Maluku, Saadiah Uluputty.
Menurutnya, kebijakan yang dikenal luas sebagai ‘tarif Trump’ akan berdampak langsung terhadap pelaku usaha dan nelayan, khususnya di wilayah timur Indonesia seperti Maluku yang tengah berjuang membangun kekuatan ekspor perikanannya.
“Wilayah Maluku memiliki potensi ekspor udang yang sangat besar, terutama dari Laut Aru dan sekitarnya. Namun ancaman tarif dari AS bisa menjadi pukulan telak bagi para pelaku usaha kecil dan menengah yang baru tumbuh. Kami menerima laporan bahwa beberapa eksportir mulai mengalami tekanan dan penurunan volume pengiriman,” ujar Saadiah dalam keterangannya di Jakarta.
Komisi IV, lanjut Saadiah, terus memantau perkembangan ini dan telah membangun komunikasi aktif dengan KKP serta asosiasi pelaku usaha untuk mengantisipasi dampaknya.
Ia menegaskan bahwa masa penundaan tarif selama tiga bulan dari pihak AS harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membuka akses pasar alternatif ke Jepang, Timur Tengah, dan negara-negara ASEAN.
“Diversifikasi pasar menjadi strategi utama. Tapi agar bisa bersaing, kualitas dan traceability produk juga harus ditingkatkan,” tegas Wakil Rakyat Maluku ini.
Dalam konteks Maluku, Saadiah menilai pemerintah pusat perlu memberikan afirmasi lebih besar, termasuk percepatan pembangunan pelabuhan ekspor perikanan di Ambon serta penguatan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) di daerah penghasil. Menurut data KKP per April 2025, hanya dua dari sebelas kabupaten/kota di Maluku yang memiliki fasilitas penyimpanan layak ekspor.
Ia juga menyoroti pentingnya penguatan pasar domestik agar dapat menyerap kelebihan produksi akibat hambatan ekspor.
“Gerakan Makan Ikan dan e-katalog pemerintah harus dimanfaatkan untuk menyalurkan udang ke dalam belanja sosial dan instansi negara,” tuturnya.
Terkait kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), Politisi PKS ini menyayangkan lambatnya implementasi di lapangan. Padahal, skema ini penting untuk memenuhi persyaratan pasar global terkait keberlanjutan dan ketertelusuran produk.
Ia mengingatkan bahwa tanpa kesiapan infrastruktur, nelayan dan pelaku usaha di Maluku bisa tertinggal dan justru terbebani regulasi baru.
“Kami di Komisi IV akan terus memperjuangkan agar daerah kepulauan seperti Maluku tidak diperlakukan sama rata dengan daerah daratan. Kebutuhan kami berbeda, infrastrukturnya pun berbeda. Maka, afirmasi dan keberpihakan harus menjadi prinsip utama dalam membangun kemandirian ekonomi maritim di timur Indonesia,” pungkas Saadiah Uluputty.