
Kazakhstan (24/04) — Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI melakukan kunjungan kehormatan ke kantor Muftiyat Kazakhstan dalam rangka mempererat kerja sama bilateral di bidang kebudayaan dan pendidikan Islam, serta menyampaikan aspirasi Komisi VIII DPR RI dan umat Islam di Indonesia terkait panjangnya antrean berhaji.
Kunjungan ini turut didampingi oleh Duta Besar RI untuk Kazakhstan, Fadjroel Rachman, dan menjadi bagian dari agenda Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan dan haji.
Pertemuan pada 22 April 2025 di kantor Muftiyat Kazakstan di Astana itu berlangsung dengan hangat dan penuh semangat ukhuwah Islamiyah, Hidayat Nur Wahid diterima langsung oleh Grand Mufti Kazakhstan (Naurizbay Haji Taganuly) didampingi okeh Wakil Mufti Mufti.
Dialog berlangsung sangat akrab dan hangat dengan berbahasa Arab, karena baik Mufti maupun wakilnya, sama seperti HNW, alumni pendidikan tinggi di Timur Tengah. Grand Mufti menyambut baik berbagai usulan dan inisiatif kerja sama yang disampaikan oleh HNW.
Salah satu isu strategis yang dibahas adalah terkait kuota haji Kazakhstan yang mencapai 10.000 jemaah, namun menurut Mufti Kazakstan, selama ini kuota tersebut belum terserap habis, tahun lalu hanya terpakai 5000 kuota saja, bahkan tahun ini berpotensi hanya terpakai sekitar 4.500, artinya ada 5000an lebih kuota haji yang tidak terpakai.
Dalam kesempatan tersebut, Hidayat menyampaikan usulan agar sisa kuota haji Kazakstan yang belum terpakai dapat dihibahkan atau dimanfaatkan oleh calon jemaah haji dari Indonesia yang saat ini menghadapi antrean panjang antara 28 hingga 49 tahun.
“Kami mengusulkan agar sisa kuota haji Kazakhstan yang belum dimanfaatkan itu bisa diberikan kepada calon jemaah haji Indonesia. Ini akan sangat membantu umat Islam di Indonesia yang begitu antusias untuk berhaji, tapi harus menunggu puluhan tahun karena panjangnya daftar tunggu,” ujar HNW yang sejak tahun 2016 sudah mengusulkan pentingnya Indonesia melakukan loby ke OKI, Saudi Arabia maupun negara-negara yang kuota hajinya tidak terpakai habis, agar bisa dihibahkan ke jemaah haji Indonesia.
Selain untuk memperpendek masa tunggu/antrean, dan kuota yang ada tidak menjadi ‘mubadzir’ karena tidak terpakai, juga agar kasus calon jemaah haji Indonesia yang tahun 2016 ditahan di Philipina karena berhaji dengan mempergunakan paspor Philipina, supaya tidak terulang lagi.
Menurutnya, langkah ini merupakan salah satu bentuk nyata diplomasi parlemen sesuai fungsinya, untuk mencari solusi dan memperjuangkan aspirasi konstituen yg bisa berlaku lintas negara dengan mengedepankan solidaritas dan kerjasama saling bantu sesama umat Muslim berbasiskan pada prinsip ukhuwah Islamiyah.
untuk itu HNW pun mengapresiasi respons positif dari pihak Muftiy Kazakhstan terhadap usulan tersebut.
“Alhamdulillah, pihak Grand Mufti memahami dan merespons dengan sangat baik usulan terkait kuota haji Kazakstan yang tidak terserap itu. Maka penting pihak pemerintah Indonesia untuk menindaklanjuti pintu yang sudah dibuka ini, dengan mengkomunikasikan ke pihak Saudi Arabia yang juga tentunya lebih sepakat bila semua kuota bisa terpakai habis, karena menurut Mufti, persetujuan dari Saudi Arabia diperlukan agar niat baik ini bisa dilaksanakan. Atau bahkan Pemerintah bisa mengusulkan agar OKI membahas ulang soal kuota haji termasuk pemanfaatan kuota yang tidak terserap ini, agar bisa ada solusinya. Mengingat sudah sangat lamanya ketentuan kuota haji ini diputuskan, sementara banyak sekali perkembangan bahkan di Saudi Arabia (Mekah dan ArMuzNa), juga dengan adanya kasus tidak terserapnya kuota di suatu negara, sementara negara lain terjadi antrean yang sangat panjang, dengan misalnya diizinkannya kerjasama bilateral antar negara OKI dan lainnya, seperti antara Indonesia dengan Kazakstan, untuk memaksimalkan penyerapan kuota haji tersebut,” imbuh HNW.
Selain persoalan haji, pertemuan juga membahas peluang kerja sama pendidikan Islam, pertukaran pelajar, dan penguatan dakwah moderat di kawasan Asia Tengah dan Asia Tenggara.
Kunjungan ini menjadi salah satu bentuk nyata dari upaya diplomasi parlemen Indonesia yang mengedepankan kemaslahatan konstituen, umat dan kepentingan nasional, serta mempererat hubungan dengan dunia internasional termasuk dunia Islam, sesuai konteksnya.